وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِّمَّن دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ

Tampilkan postingan dengan label Kajian Al Hikam. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kajian Al Hikam. Tampilkan semua postingan

02 Agustus 2025

Kalam #3 : Kajian Kitab Al-Hikam


"سَوَابِقُ الْهِمَمِ لَا تُخْرِقُ أَسْوَارَ الْأَقْدَارِ."


"Keinginan-keinginan kuat (himmah) tidak akan dapat menembus benteng-benteng takdir."

Penjelasan

Kalam hikmah ini adalah kelanjutan dari pembahasan tentang takdir dan usaha manusia. Setelah di kalam kedua Imam Ibnu Atha'illah menjelaskan tentang penempatan kita dalam asbab atau tajrid, di kalam ketiga ini beliau memperdalam pemahaman kita tentang batasan dari usaha dan keinginan manusia di hadapan ketetapan takdir Allah.

Kata himmah di sini memiliki makna yang sangat kaya: bisa berarti cita-cita yang luhur, kemauan yang kuat, ambisi yang membara, atau bahkan upaya yang maksimal. Sedangkan aswar al-aqdar (benteng-benteng takdir) merujuk pada ketetapan-ketetapan Allah yang telah ditentukan-Nya sejak zaman azali, meliputi segala sesuatu yang akan terjadi, baik kebaikan maupun keburukan, kesuksesan maupun kegagalan, kehidupan maupun kematian.

Pesan utama kalam ini adalah bahwa sekalipun seseorang memiliki keinginan yang sangat kuat (himmah) dan telah mengerahkan segala upaya maksimal, pada akhirnya, hasil dan ketetapan akhir berada di tangan Allah SWT. Keinginan dan usaha manusia tidak akan mampu mengubah atau "menembus" apa yang telah Allah takdirkan.

Ini bukan berarti kita dilarang berusaha atau memiliki himmah. Justru Islam mendorong kita untuk berusaha dan memiliki cita-cita yang tinggi. Namun, kalam ini mengajarkan kita tentang sikap hati yang benar dalam menghadapi hasil dari usaha tersebut. Kita harus berusaha sekuat tenaga, tetapi hati harus tetap bersandar pada takdir Allah dan ridha terhadap apa pun hasilnya.

Jika seseorang memiliki himmah yang sangat kuat dan berusaha mati-matian namun tidak mencapai apa yang diinginkannya, kalam ini mengajarkan agar ia tidak putus asa atau menyalahkan diri sendiri secara berlebihan. Sebaliknya, ia harus menyadari bahwa ada takdir Allah yang sedang berlaku. Ini menumbuhkan sikap tawakal yang sejati dan ridha terhadap ketetapan Allah.

Ayat Al-Qur'an yang Relevan

Surah Ar-Ra'd (13): Ayat 38

وَلِكُلِّ أَجَلٍ كِتَابٌ

Terjemah:

"Setiap sesuatu ada ketentuannya (waktu dan batasannya)."

Relevansi:

Ayat ini secara singkat namun padat menegaskan bahwa segala sesuatu di alam semesta ini, termasuk peristiwa, nasib, dan takdir manusia, telah memiliki batasan dan ketentuan yang telah dituliskan oleh Allah. Ini sejalan dengan konsep "benteng-benteng takdir" yang tidak dapat ditembus oleh himmah manusia. Keinginan sekuat apapun tidak akan bisa mempercepat atau menunda ajal (waktu) yang telah ditetapkan.

Surah Al-Qamar (54): Ayat 49

إِنَّا كُلَّ شَيْءٍ خَلَقْنَاهُ بِقَدَرٍ

Terjemah:

"Sungguh, Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran (ketetapan)."

Relevansi:

Ayat ini secara eksplisit menyatakan bahwa segala sesuatu diciptakan dengan kadar atau ukuran yang telah ditentukan oleh Allah. Ini adalah fondasi dari konsep takdir. Usaha dan keinginan manusia berada dalam kerangka takdir ini. Kita berusaha dalam batas-batas yang telah Allah tetapkan, dan hasilnya pun adalah bagian dari ukuran tersebut.

Hadis yang Sejalan

Hadis Riwayat Muslim:

Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda:

"الْمُؤْمِنُ الْقَوِيُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ وَفِي كُلٍّ خَيْرٌ احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلَا تَعْجَزْ وَإِنْ أَصَابَكَ شَيْءٌ فَلَا تَقُلْ لَوْ أَنِّي فَعَلْتُ كَذَا لَكَانَ كَذَا وَكَذَا وَلَكِنْ قُلْ قَدَرُ اللَّهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ."

Terjemah:

"Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada mukmin yang lemah, dan pada keduanya ada kebaikan. Bersungguh-sungguhlah dalam meraih apa yang bermanfaat bagimu, mohonlah pertolongan kepada Allah, dan janganlah merasa lemah. Jika sesuatu menimpamu, janganlah engkau berkata, 'Seandainya aku berbuat demikian, pasti akan terjadi demikian dan demikian.' Tetapi katakanlah, 'Ini adalah takdir Allah, dan apa yang Dia kehendaki pasti Dia lakukan.' Karena sesungguhnya (kata) 'seandainya' itu membuka pintu bagi perbuatan setan."

Relevansi

Hadis ini adalah penjelas sempurna dari kalam hikmah ketiga. Rasulullah SAW mendorong kita untuk memiliki himmah (bersungguh-sungguh dalam meraih apa yang bermanfaat) dan berusaha (mohon pertolongan kepada Allah dan jangan lemah). Namun, beliau juga mengajarkan tentang sikap setelah hasil, terutama jika tidak sesuai harapan: jangan menyesali "seandainya" (yang menunjukkan ketidakridhaan terhadap takdir), melainkan katakan "Ini adalah takdir Allah, dan apa yang Dia kehendaki pasti Dia lakukan." Ini menunjukkan bahwa himmah memang penting, tetapi ia tidak akan mampu menembus atau mengubah takdir. Ridha terhadap takdir adalah puncak kekuatan seorang mukmin.

Pengalaman Para Anbiya, Ulama, dan Auliya

1. Para Anbiya (Nabi-Nabi):

 * Nabi Nuh AS: Beliau berdakwah selama 950 tahun dengan himmah dan kesabaran luar biasa. Beliau membangun bahtera sesuai perintah Allah. Namun, pada akhirnya, hanya sedikit yang beriman, dan bahkan putranya sendiri termasuk yang ingkar. Himmah beliau tidak dapat mengubah takdir orang-orang yang telah Allah tetapkan untuk tidak beriman. Beliau tetap ridha dengan ketetapan Allah.

 * Nabi Ibrahim AS: Beliau memiliki himmah yang kuat untuk berdakwah kepada kaumnya dan menghancurkan berhala. Namun, kaumnya tetap membakar beliau. Takdir Allah adalah menyelamatkan beliau dari api. Ini menunjukkan bahwa meskipun himmah beliau untuk mengubah kaumnya tidak terwujud sepenuhnya, takdir Allah-lah yang menentukan keselamatan dirinya.

 * Nabi Muhammad SAW: Beliau memiliki himmah yang tak terhingga untuk membimbing seluruh umat manusia menuju Islam. Beliau berjuang, berkorban, menghadapi berbagai rintangan. Namun, takdir Allah menetapkan bahwa tidak semua orang akan beriman. Paman beliau, Abu Thalib, misalnya, tidak beriman hingga akhir hayatnya, meskipun Nabi SAW sangat menginginkannya. Ayat Al-Qur'an menegaskan: "Sungguh, engkau (Muhammad) tidak dapat memberi petunjuk kepada orang yang engkau kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang Dia kehendaki." (QS. Al-Qasas: 56). Ini adalah contoh nyata bahwa himmah Nabi tidak menembus benteng takdir hidayah.

2. Para Ulama:

 * Imam Ahmad bin Hanbal: Beliau memiliki himmah yang kuat dalam mempertahankan akidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah ketika terjadi fitnah Khalqul Qur'an (Al-Qur'an itu makhluk). Beliau dihukum cambuk dan dipenjara. Meskipun himmah beliau sangat tinggi, takdir Allah adalah beliau harus melewati penderitaan itu. Namun, pada akhirnya, kebenaran yang beliau perjuangkan tetap menang. Beliau ridha dengan ujian tersebut sebagai bagian dari takdir Allah.

 * Imam Syafi'i: Beliau memiliki himmah yang besar dalam menuntut ilmu dan menyebarkannya. Beliau melakukan perjalanan jauh, belajar dari banyak guru. Namun, takdir Allah menetapkan usia beliau yang relatif singkat. Meskipun demikian, himmah beliau dalam menyusun mazhab dan menyebarkan ilmu tetap menghasilkan manfaat luar biasa yang abadi hingga kini. Beliau menerima takdir ajalnya dengan ridha.

3. Para Auliya (Wali-Wali Allah)

 * Banyak Auliya yang memiliki himmah besar dalam berdakwah, mendidik umat, atau mencapai maqam spiritual tertentu. Mereka berusaha keras, beribadah tiada henti, dan berjuang melawan hawa nafsu. Namun, hasil dari dakwah mereka, jumlah murid, atau tingkat karamah yang Allah berikan, semuanya adalah bagian dari takdir. Seorang wali mungkin memiliki himmah untuk membawa semua orang di lingkungannya beriman, tetapi takdir Allah mungkin hanya menetapkan sebagian kecil yang mendapatkan hidayah melalui dirinya. Mereka tetap tawakal dan ridha, memahami bahwa himmah adalah ikhtiar, sementara takdir adalah ketentuan.

Aplikasi di Zaman Sekarang

Kalam hikmah ini sangat fundamental untuk membentuk mentalitas yang sehat dan spiritual di zaman sekarang:

 * Mengelola Harapan dan Ekspektasi: Di era yang serba kompetitif dan penuh tekanan, banyak orang memiliki himmah yang sangat tinggi untuk mencapai kesuksesan finansial, karier gemilang, atau tujuan pribadi lainnya. Namun, ketika harapan tidak tercapai, mereka mudah frustrasi, stres, bahkan depresi. Kalam ini mengajarkan kita untuk berusaha semaksimal mungkin, tetapi juga melepaskan diri dari keterikatan pada hasil. Sadari bahwa ada takdir Allah yang Maha Kuasa. Ini membantu kita mengelola ekspektasi dan menjaga kesehatan mental.

 * Mencegah Putus Asa atau Over-Optimisme yang Keliru: Himmah yang tidak memahami batas takdir bisa berujung pada putus asa ekstrem saat gagal, atau over-optimisme buta yang mengabaikan realitas. Kalam ini mengajarkan keseimbangan: berusaha keraslah seolah-olah segalanya bergantung padamu, tetapi bertawakallah seolah-olah segalanya bergantung pada Allah.

 * Meningkatkan Ridha dan Tawakal: Dalam menghadapi musibah, kegagalan bisnis, atau kondisi yang tidak sesuai keinginan, kalam ini mengingatkan kita untuk tidak meratapi "seandainya". Menerima bahwa ini adalah takdir Allah ("benteng takdir") akan menumbuhkan rasa ridha dan tawakal yang mendalam, yang merupakan puncak kekuatan batin seorang mukmin.

 * Fokus pada Proses, Bukan Hanya Hasil: Karena hasil akhir di tangan Allah, kalam ini mendorong kita untuk lebih fokus pada kualitas himmah dan usaha kita, yaitu niat yang tulus, kerja keras yang halal, dan ikhtiar yang maksimal. Kewajiban kita adalah berusaha, bukan menjamin hasil. Ini membebaskan kita dari beban mental yang berlebihan.

 * Memahami Batasan Manusia: Di zaman yang sangat menekankan empowerment dan "kamu bisa melakukan apa saja", kalam ini memberikan perspektif yang lebih realistis: ada batasan-batasan manusiawi di hadapan kekuasaan ilahi. Ini bukan untuk membuat kita pesimis, tetapi untuk membuat kita tawadhu' dan mengakui keagungan Allah. Kita adalah hamba, bukan penentu mutlak.

Kesimpulan

Kalam hikmah ketiga dari Kitab Al-Hikam, "Keinginan-keinginan kuat (himmah) tidak akan dapat menembus benteng-benteng takdir," adalah sebuah pengingat yang agung tentang batas-batas kemampuan manusia di hadapan kekuasaan Allah SWT. Ini bukan pesan untuk berpasrah diri tanpa usaha, melainkan sebuah seruan untuk memiliki himmah yang tinggi disertai dengan tawakal dan ridha yang sempurna.

Dari Al-Qur'an dan Hadis, kita diperintahkan untuk berusaha keras namun tetap menyerahkan hasilnya kepada Allah, serta ridha terhadap segala ketetapan-Nya. Pengalaman para Anbiya, Ulama, dan Auliya juga memperkuat pemahaman ini: mereka memiliki himmah luar biasa, berjuang tiada henti, namun tetap tunduk pada takdir ilahi, baik itu dalam hal hidayah, kemenangan, maupun ujian hidup.

Di era modern, di mana ekspektasi sering kali melampaui realitas, hikmah ini adalah penawar bagi jiwa yang gelisah. Ia membantu kita mengelola harapan, mencegah keputusasaan akibat kegagalan, dan menumbuhkan ketenangan batin yang sejati. Dengan memahami bahwa himmah kita adalah ikhtiar dan takdir adalah ketentuan, kita dapat menjalani hidup dengan semangat perjuangan yang membara, namun tetap dengan hati yang damai dan berserah diri sepenuhnya kepada Sang Pencipta.



Share:

01 Agustus 2025

Kalam #2 : Kajian Kitab Al-Hikam


إِرَادَتُكَ التَّجْرِيدَ مَعَ إِقَامَةِ اللَّهِ إِيَّاكَ فِي الأَسْبَابِ مِنَ الشَّهْوَةِ الْخَفِيَّةِ. وَإِرَادَتُكَ الأَسْبَاب

 مَعَ إِقَامَةِ اللَّهِ إِيَّاكَ فِي التَّجْرِيدِ انْحِطَاطٌ عَنِ هِمَّةِ الْعَالِيَةِ



Terjemah:

"Keinginanmu untuk bebas dari sebab-akibat (tajrid) padahal Allah menempatkanmu dalam sebab-akibat (asbab) adalah termasuk syahwat tersembunyi. Dan keinginanmu untuk berada dalam sebab-akibat (asbab) padahal Allah menempatkanmu dalam tajrid adalah kemunduran dari cita-cita yang luhur."

Penjelasan:

Kalam hikmah kedua ini membahas tentang penempatan diri seorang hamba oleh Allah SWT, baik dalam posisi asbab (terikat dengan sebab-akibat, melakukan usaha lahiriah) maupun tajrid (bebas dari sebab-akibat, fokus sepenuhnya pada ibadah dan kepasrahan batiniah tanpa perlu usaha lahiriah yang banyak). Imam Ibnu Atha'illah ingin menegaskan bahwa seorang salik (penempuh jalan spiritual) harus menerima dan ridha dengan apa yang telah Allah tetapkan baginya.

 * Asbab (sebab-akibat): Merujuk pada kehidupan duniawi yang mengharuskan kita untuk bekerja, berusaha, berinteraksi sosial, dan melakukan segala bentuk aktivitas yang terikat pada hukum sebab-akibat. Sebagian besar manusia berada dalam posisi ini.

 * Tajrid (bebas dari sebab-akibat): Merujuk pada kondisi di mana seorang hamba dibebaskan dari keharusan untuk bekerja atau berusaha keras secara lahiriah karena Allah telah menjamin rezekinya atau menempatkannya dalam posisi untuk fokus total pada ibadah, dzikir, dan tafakur. Ini adalah anugerah khusus bagi sebagian kecil hamba-Nya.

Pesan utama dari kalam hikmah ini adalah bahwa kita tidak boleh memaksakan kehendak kita sendiri dalam memilih antara asbab dan tajrid, melainkan harus menerima dan beradaptasi dengan posisi yang Allah tempatkan untuk kita.

 * Jika Allah menempatkan kita dalam asbab (misalnya, sebagai pekerja, pengusaha, pelajar), lalu kita ingin sepenuhnya fokus beribadah di masjid tanpa bekerja, ini adalah syahwat tersembunyi. Mengapa? Karena itu adalah keinginan egois yang tidak selaras dengan takdir Allah dan bisa jadi bentuk kemalasan yang dibungkus ibadah.

 * Jika Allah menempatkan kita dalam tajrid (misalnya, seseorang yang Allah berikan rezeki tanpa harus bekerja keras, atau seorang ulama yang fokus mengajarkan ilmu), lalu ia malah sibuk mengejar harta duniawi secara berlebihan, ini adalah kemunduran dari cita-cita luhur. Ia menyia-nyiakan anugerah Allah berupa kesempatan untuk lebih dekat dengan-Nya.

Kalam ini mengajarkan pentingnya ridha pada ketetapan Allah dan memahami hikmah di balik setiap penempatan kita dalam hidup.

Ayat Al-Qur'an yang Relevan:

Surah Al-Isra' (17): Ayat 84

قُلْ كُلٌّ يَعْمَلُ عَلَىٰ شَاكِلَتِهِ ۖ فَرَبُّكُمْ أَعْلَمُ بِمَنْ هُوَ أَهْدَىٰ سَبِيلًا

Terjemah:

"Katakanlah (Muhammad), 'Setiap orang berbuat menurut pembawaannya masing-masing.' Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya."

Relevansi:

Ayat ini dapat diinterpretasikan bahwa setiap individu memiliki 'pembawaan' atau takdir serta jalan hidup yang telah Allah tetapkan. Ada yang dibentuk untuk berada di jalan asbab dengan segala usahanya, ada pula yang dibentuk untuk tajrid dengan fokus pada spiritualitas. Kita harus menerima 'pembawaan' atau posisi yang Allah berikan kepada kita, karena Dialah yang Maha Tahu mana jalan terbaik bagi kita.

Surah Al-Qasas (28): Ayat 77

وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ ۖ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا ۖ وَأَحْسِن كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ ۖ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ ۖ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ

Terjemah:

"Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan."

Relevansi:

Ayat ini dengan indah menyeimbangkan antara asbab (mencari bagian dari kenikmatan duniawi) dan tajrid (mencari kebahagiaan akhirat). Ia menegaskan bahwa seorang Muslim tidak boleh sepenuhnya meninggalkan dunia (yang termasuk dalam kategori asbab) jika Allah menempatkannya di sana, tetapi juga tidak boleh melupakan tujuan akhirat. Ini menunjukkan pentingnya menyeimbangkan kehidupan dunia dan akhirat sesuai dengan posisi yang Allah berikan.

Hadis yang Sejalan:

Hadis Riwayat Tirmidzi dan Ibnu Majah:

Dari Anas bin Malik RA, seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah SAW, "Apakah aku ikat untaku lalu aku bertawakal, atau aku lepas lalu aku bertawakal?" Rasulullah SAW menjawab, "Ikatlah untamu, kemudian bertawakallah."

Relevansi:

Hadis ini adalah contoh paling jelas tentang pentingnya melakukan asbab (usaha lahiriah) sebelum bertawakal. Ini menunjukkan bahwa Allah menghendaki kita untuk berusaha sesuai dengan kemampuan kita (mengikat unta), dan setelah itu barulah kita menyerahkan hasilnya kepada-Nya (bertawakal). Ini menolak gagasan tajrid yang salah, di mana seseorang mengabaikan sebab-akibat padahal ia mampu untuk berusaha.

Pengalaman Para Anbiya, Ulama, dan Auliya:

1. Para Anbiya (Nabi-Nabi):

 * Nabi Muhammad SAW: Beliau adalah contoh sempurna. Meskipun seorang Nabi dan Kekasih Allah, beliau tetap menjalankan asbab. Beliau berdagang, berperang, menggembala kambing, dan memimpin umat. Beliau tidak menunggu rezeki turun dari langit tanpa usaha. Ini menunjukkan bahwa asbab adalah jalan yang mulia jika dijalankan dengan niat yang benar.

 * Nabi Daud AS: Beliau adalah seorang raja sekaligus nabi, namun tetap mencari nafkah dengan membuat baju besi. Ini adalah bentuk asbab yang tidak mengurangi kemuliaan kenabiannya, justru menunjukkan keteladanan.

 * Nabi Musa AS: Beliau bekerja menggembalakan kambing untuk Nabi Syu'aib AS selama bertahun-tahun. Ini juga merupakan bentuk asbab yang dijalani oleh seorang nabi.

2. Para Ulama:

 * Imam Abu Hanifah: Beliau adalah seorang ulama besar sekaligus seorang pedagang kain yang sukses. Beliau tidak meninggalkan perdagangannya demi ilmu atau ibadah, melainkan menjalankan keduanya dengan seimbang, menunjukkan penerapan asbab dalam kehidupan seorang ulama.

 * Imam Malik: Beliau dikenal sebagai ulama yang sangat fokus pada ilmu dan pengajaran di Madinah. Beliau tidak mencari nafkah dari berdagang atau bertani, karena Allah telah menempatkannya dalam tajrid dengan mencukupkan rezekinya melalui cara lain (misalnya warisan atau hadiah). Beliau tidak mencari asbab yang tidak diperlukan.

3. Para Auliya (Wali-Wali Allah):

 * Syekh Abdul Qadir Al-Jailani: Meskipun beliau adalah seorang wali besar yang sangat tinggi maqamnya, beliau tetap mengajar, memberikan fatwa, dan membimbing umat. Ini adalah bentuk asbab dalam dakwah dan pendidikan. Beliau tidak lari dari tanggung jawab sosialnya.

 * Beberapa wali yang dikenal dengan tajrid-nya: Ada beberapa wali yang Allah karuniai rezeki tanpa perlu bekerja keras, sehingga mereka bisa sepenuhnya fokus pada dzikir, ibadah, dan merenung. Namun, ini adalah anugerah khusus dari Allah dan bukan sesuatu yang bisa dicari atau dipaksakan oleh semua orang. Mereka yang berada di posisi ini tidak lantas mencari-cari pekerjaan duniawi jika hal itu mengganggu fokus spiritual mereka.

Aplikasi di Zaman Sekarang:

Kalam hikmah ini sangat relevan dan memberikan panduan penting dalam menghadapi tantangan kehidupan modern:

 * Menerima Peran Kita: Di zaman sekarang, banyak orang merasa tidak puas dengan pekerjaan atau posisi hidup mereka. Kalam ini mengajarkan kita untuk ridha dan ikhlas dengan takdir Allah. Jika kita ditempatkan sebagai pekerja keras, lakukanlah dengan sebaik-baiknya, niatkan sebagai ibadah, dan jangan mengharapkan hidup yang "santai" seperti para sufi yang tajrid jika Allah tidak menempatkan kita di sana.

 * Menghargai Kerja Keras (Asbab): Kalam ini memerangi mentalitas malas atau "instan" yang ingin kaya tanpa usaha. Ia menegaskan bahwa bagi kebanyakan kita, asbab adalah jalan yang Allah inginkan. Bekerja keras, mencari nafkah halal, dan berkontribusi kepada masyarakat adalah bagian dari ibadah. Jangan mencari kemalasan dengan dalih ingin fokus ibadah.

 * Menghindari Kehilangan Fokus (Tajrid): Sebaliknya, bagi mereka yang mungkin memiliki kelebihan rezeki atau waktu luang, atau yang Allah karuniai kemampuan untuk fokus pada ilmu dan spiritualitas (seperti para ulama atau guru agama), kalam ini mengingatkan untuk tidak menyia-nyiakan anugerah tersebut dengan terlalu larut dalam urusan duniawi yang tidak perlu. Jangan menurunkan cita-cita luhur (mendekat kepada Allah) demi hal-hal duniawi yang remeh.

 * Keseimbangan Hidup: Kalam ini mengajarkan pentingnya keseimbangan. Bagi sebagian besar orang, hidup adalah perpaduan antara asbab dan tajrid. Kita bekerja dan berusaha (asbab), tetapi juga harus meluangkan waktu untuk ibadah, dzikir, dan merenung (bagian dari tajrid). Jangan sampai salah satu mendominasi secara tidak proporsional sehingga merugikan yang lain, kecuali memang Allah menempatkan kita pada salah satu posisi secara ekstrem.

 * Memahami Qada dan Qadar: Memahami kalam ini membantu kita lebih menerima qada dan qadar (ketetapan Allah). Jika kita ditempatkan dalam kesulitan atau harus berjuang keras, itu adalah asbab kita. Jika kita diberi kemudahan, itu adalah anugerah tajrid sebagian. Keduanya adalah bentuk ujian dan jalan menuju Allah.

Kesimpulan:

Kalam hikmah kedua Kitab Al-Hikam, "Keinginanmu untuk bebas dari sebab-akibat (tajrid) padahal Allah menempatkanmu dalam sebab-akibat (asbab) adalah termasuk syahwat tersembunyi. Dan keinginanmu untuk berada dalam sebab-akibat (asbab) padahal Allah menempatkanmu dalam tajrid adalah kemunduran dari cita-cita yang luhur," adalah panduan esensial tentang ridha terhadap penempatan ilahi dan keseimbangan dalam beramal.

Ia mengajarkan kita untuk tidak memaksakan diri pada kondisi yang tidak Allah takdirkan, baik itu keinginan untuk meninggalkan usaha duniawi padahal kita ditempatkan untuk berusaha, maupun keinginan untuk kembali pada kesibukan duniawi padahal kita diberi kesempatan untuk fokus spiritual.

Melalui Al-Qur'an, Hadis, serta teladan para Anbiya, Ulama, dan Auliya, kita belajar bahwa keutamaan sejati terletak pada keselarasan hati dan tindakan dengan kehendak Allah. Di zaman yang serba menuntut ini, hikmah ini membantu kita menemukan ketenangan dalam menerima peran kita, bersemangat dalam usaha yang halal, dan menjaga fokus spiritual tanpa melampaui batas atau melalaikan tanggung jawab. Ini adalah kunci untuk menjalani hidup yang penuh makna dan keberkahan, sesuai dengan rencana terbaik dari Allah SWT.


Share:

30 Juli 2025

Kalam #1 : Kajian Kitab Al Hikam



 Kalam Hikmah Pertama Kitab Al-Hikam:

"مِنْ عَلاَمَةِ الاِعْتِمَادِ عَلَى الْعَمَلِ نُقْصَانُ الرَّجَاءِ عِنْدَ وجود الزلل"


Terjemah:

"Di antara tanda bergantung pada amal perbuatan adalah kurangnya harapan (putus asa) ketika tergelincir (berbuat dosa/gagal)."

Penjelasan

Kalam hikmah ini adalah fondasi penting dalam memahami konsep tawakal dan keikhlasan dalam beribadah. Imam Ibnu Atha'illah ingin menyampaikan bahwa ketergantungan sejati seorang hamba seharusnya hanya kepada Allah SWT, bukan kepada amal perbuatan yang dilakukannya. Jika seseorang terlalu bergantung pada amalnya, maka ketika ia tergelincir, berbuat dosa, atau mengalami kegagalan, ia akan mudah putus asa. Ini menunjukkan bahwa harapannya bukan pada rahmat Allah, melainkan pada kesempurnaan amalnya sendiri. Padahal, amal kita, sekecil apa pun, tidak akan pernah mampu menandingi luasnya rahmat dan ampunan Allah.

Ayat Al-Qur'an yang Relevan

Surah Az-Zumar (39): Ayat 53

قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَىٰ أَنفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِن رَّحْمَةِ اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا ۚ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ

Terjemah:

"Katakanlah (Muhammad), 'Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri (berbuat dosa), janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sungguh, Dialah Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang.'"

Relevansi:

Ayat ini secara langsung menegaskan bahwa putus asa dari rahmat Allah adalah sesuatu yang terlarang, bahkan bagi mereka yang telah banyak berbuat dosa. Ini sangat sejalan dengan kalam hikmah pertama yang melarang ketergantungan pada amal dan menganjurkan untuk selalu berharap kepada rahmat Allah, terlepas dari segala kekurangan dan kegaguran kita.

Hadis yang Sejalan

Hadis Qudsi (Riwayat Muslim):

Dari Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Allah Ta'ala berfirman:

يَا ابْنَ آدَمَ إِنَّكَ مَا دَعَوْتَنِي وَرَجَوْتَنِي غَفَرْتُ لَكَ عَلَى مَا كَانَ مِنْكَ وَلَا أُبَالِي، يَا ابْنَ آدَمَ لَوْ بَلَغَتْ ذُنُوبُكَ عَنَانَ السَّمَاءِ ثُمَّ اسْتَغْفَرْتَنِي غَفَرْتُ لَكَ وَلَا أُبَالِي، يَا ابْنَ آدَمَ إِنَّكَ لَوْ أَتَيْتَنِي بِقُرَابِ الْأَرْضِ خَطَايَا ثُمَّ لَقِيتَنِي لَا تُشْرِكُ بِي شَيْئًا لَغَفَرْتُ لَكَ بِقُرَابِهَا."

Terjemah:

"Wahai anak Adam, sesungguhnya engkau selama berdoa kepada-Ku dan mengharap kepada-Ku, niscaya Aku akan mengampuni bagimu dosa-dosa yang ada padamu dan Aku tidak peduli. Wahai anak Adam, seandainya dosa-dosamu mencapai puncak langit, kemudian engkau memohon ampun kepada-Ku, niscaya Aku akan mengampunimu dan Aku tidak peduli. Wahai anak Adam, seandainya engkau datang kepada-Ku dengan membawa dosa sepenuh bumi, kemudian engkau bertemu dengan-Ku dalam keadaan tidak menyekutukan-Ku sedikit pun, niscaya Aku akan mengampunimu dosa sepenuh bumi itu."

Relevansi:

Hadis Qudsi ini sangat kuat dalam menekankan luasnya ampunan dan rahmat Allah. Ini menjadi penawar bagi siapa saja yang merasa putus asa karena dosa-dosanya. Hadis ini mengajarkan kita untuk senantiasa berharap kepada Allah dan tidak bergantung pada amal kita yang terbatas, melainkan pada kemurahan-Nya.

Pengalaman Para Anbiya, Ulama, dan Auliya

1. Para Anbiya (Nabi-Nabi)

 * Nabi Adam AS: Setelah tergelincir dari surga, Nabi Adam tidak putus asa. Beliau dan Hawa segera memohon ampun kepada Allah dengan penuh penyesalan, "Rabbana zhalamna anfusana wa in lam taghfir lana wa tarhamna lanakunanna minal khāsirīn." (QS. Al-A'raf: 23). Ini menunjukkan bahwa kesalahan tidak boleh menjadi alasan untuk putus asa, melainkan harus menjadi pemicu untuk kembali kepada Allah.

 * Nabi Yunus AS: Ketika ditelan ikan, Nabi Yunus tidak putus asa. Beliau menyadari kesalahannya dan berdoa dalam kegelapan, "La ilaha illa anta subhanaka inni kuntu minaz zhalimin." (QS. Al-Anbiya: 87). Doa ini adalah ekspresi tawakal dan harapan penuh pada rahmat Allah, meskipun dalam kondisi yang sangat sulit.

2. Para Ulama

 * Imam Abu Hanifah: Beliau dikenal sebagai pribadi yang sangat tawadhu' dan tidak pernah merasa cukup dengan ilmunya atau amalnya. Beliau selalu menekankan pentingnya takut kepada Allah namun juga tidak putus asa dari rahmat-Nya.

 * Imam Syafi'i: Dalam banyak doanya, Imam Syafi'i senantiasa merendahkan diri di hadapan Allah dan memohon ampunan-Nya, menyadari bahwa amal yang dilakukannya tidak seberapa dibandingkan dengan karunia Allah. Beliau tidak pernah bergantung pada kesempurnaan ilmunya, melainkan pada pertolongan Allah.

3. Para Auliya (Wali-Wali Allah)

 * Rabiah Al-Adawiyah: Beliau adalah contoh nyata seorang yang mencintai Allah dengan cinta yang tulus, tidak mengharapkan surga dan tidak takut neraka, melainkan hanya ingin meraih ridha Allah. Ketika berbuat dosa atau merasa kurang dalam ibadah, beliau segera kembali kepada Allah dengan penyesalan yang tulus dan harapan akan ampunan-Nya, tanpa sedikitpun putus asa.

 * Syekh Abdul Qadir Al-Jailani: Beliau mengajarkan murid-muridnya untuk senantiasa berdzikir dan beristighfar, serta tidak pernah putus asa dari rahmat Allah meskipun telah berbuat banyak dosa. Beliau menekankan bahwa pintu taubat Allah selalu terbuka lebar.

Aplikasi di Zaman Sekarang

Kalam hikmah ini sangat relevan dan penting untuk diterapkan di zaman sekarang yang penuh dengan tekanan, kompetisi, dan ekspektasi yang tinggi:

 * Menghindari Perfeksionisme yang Merusak: Banyak orang di zaman sekarang terjebak dalam lingkaran perfeksionisme, baik dalam pekerjaan, studi, maupun ibadah. Ketika gagal mencapai standar yang ditetapkan, mereka mudah stres, cemas, bahkan depresi. Kalam hikmah ini mengajarkan kita untuk tidak terlalu bergantung pada hasil (amal), melainkan pada proses dan niat yang tulus. Jika gagal, bangkit dan perbaiki, jangan putus asa.

 * Membangun Mentalitas "Growth Mindset" dalam Ibadah: Daripada merasa putus asa ketika sholat tidak khusyuk atau hafalan Al-Qur'an sering lupa, fokuslah pada upaya untuk terus memperbaiki dan mendekatkan diri kepada Allah. Sadari bahwa Allah melihat usaha kita, bukan hanya hasil yang sempurna. Ini menumbuhkan mentalitas berkembang dalam beribadah.

 * Mengatasi Kegagalan dan Keterpurukan: Dalam dunia yang serba cepat ini, kegagalan adalah hal yang lumrah. Baik itu kegagalan bisnis, putus cinta, atau kegagalan akademis. Jika kita terlalu bergantung pada hasil upaya kita, kegagalan akan mudah membuat kita putus asa. Kalam hikmah ini mengingatkan bahwa harapan sejati harus diletakkan pada Allah, Sang Pemilik segala takdir. Dengan begitu, kita bisa bangkit kembali dengan keyakinan bahwa Allah punya rencana yang lebih baik.

 * Menjauhi Sikap Riya' dan Ujub: Ketika seseorang terlalu bergantung pada amalnya, ada kecenderungan untuk memamerkan amal tersebut (riya') atau merasa bangga diri (ujub). Kalam hikmah ini mengingatkan kita untuk selalu merendahkan diri, karena kesempurnaan hanya milik Allah, dan amal kita hanyalah upaya kecil yang membutuhkan rahmat-Nya agar diterima.

 * Meningkatkan Rasa Syukur dan Tawakal: Dengan memahami bahwa amal kita tidak ada apa-apanya tanpa rahmat Allah, kita akan lebih bersyukur atas setiap kemudahan dalam beribadah dan setiap keberhasilan yang dicapai. Ini juga akan memperkuat tawakal kita, menyerahkan segala urusan kepada Allah setelah berusaha maksimal.

Kesimpulan

Kalam hikmah pertama dari Kitab Al-Hikam, "Di antara tanda bergantung pada amal perbuatan adalah kurangnya harapan (putus asa) ketika tergelincir," adalah pengingat fundamental bagi setiap Muslim. Ia mengajarkan kita untuk meletakkan harapan sepenuhnya hanya kepada Allah SWT, bukan kepada amal perbuatan kita yang terbatas dan rentan kesalahan.

Dari perspektif Al-Qur'an dan Hadis, kita diperintahkan untuk tidak pernah putus asa dari rahmat Allah yang Maha Luas. Pengalaman para Anbiya, Ulama, dan Auliya juga menunjukkan bagaimana mereka menghadapi kesalahan dan kegagalan dengan kembali kepada Allah, memohon ampunan-Nya, dan terus berharap pada karunia-Nya.

Di zaman sekarang, pemahaman ini krusial untuk membangun mentalitas yang resilient (tahan banting) dalam menghadapi tekanan hidup, mengatasi kegagalan tanpa putus asa, dan menjaga keikhlasan dalam beribadah. Dengan menginternalisasi hikmah ini, kita akan senantiasa merasa dekat dengan Allah, bersandar pada rahmat-Nya, dan tidak mudah menyerah di hadapan ujian dan cobaan. Ini adalah fondasi penting untuk mencapai ketenangan hati dan kebahagiaan sejati, baik di dunia maupun di akhirat.


Share:

Postingan Populer