"سَوَابِقُ الْهِمَمِ لَا تُخْرِقُ أَسْوَارَ الْأَقْدَارِ."
"Keinginan-keinginan kuat (himmah) tidak akan dapat menembus benteng-benteng takdir."
Penjelasan
Kalam hikmah ini adalah kelanjutan dari pembahasan tentang takdir dan usaha manusia. Setelah di kalam kedua Imam Ibnu Atha'illah menjelaskan tentang penempatan kita dalam asbab atau tajrid, di kalam ketiga ini beliau memperdalam pemahaman kita tentang batasan dari usaha dan keinginan manusia di hadapan ketetapan takdir Allah.
Kata himmah di sini memiliki makna yang sangat kaya: bisa berarti cita-cita yang luhur, kemauan yang kuat, ambisi yang membara, atau bahkan upaya yang maksimal. Sedangkan aswar al-aqdar (benteng-benteng takdir) merujuk pada ketetapan-ketetapan Allah yang telah ditentukan-Nya sejak zaman azali, meliputi segala sesuatu yang akan terjadi, baik kebaikan maupun keburukan, kesuksesan maupun kegagalan, kehidupan maupun kematian.
Pesan utama kalam ini adalah bahwa sekalipun seseorang memiliki keinginan yang sangat kuat (himmah) dan telah mengerahkan segala upaya maksimal, pada akhirnya, hasil dan ketetapan akhir berada di tangan Allah SWT. Keinginan dan usaha manusia tidak akan mampu mengubah atau "menembus" apa yang telah Allah takdirkan.
Ini bukan berarti kita dilarang berusaha atau memiliki himmah. Justru Islam mendorong kita untuk berusaha dan memiliki cita-cita yang tinggi. Namun, kalam ini mengajarkan kita tentang sikap hati yang benar dalam menghadapi hasil dari usaha tersebut. Kita harus berusaha sekuat tenaga, tetapi hati harus tetap bersandar pada takdir Allah dan ridha terhadap apa pun hasilnya.
Jika seseorang memiliki himmah yang sangat kuat dan berusaha mati-matian namun tidak mencapai apa yang diinginkannya, kalam ini mengajarkan agar ia tidak putus asa atau menyalahkan diri sendiri secara berlebihan. Sebaliknya, ia harus menyadari bahwa ada takdir Allah yang sedang berlaku. Ini menumbuhkan sikap tawakal yang sejati dan ridha terhadap ketetapan Allah.
Ayat Al-Qur'an yang Relevan
Surah Ar-Ra'd (13): Ayat 38
وَلِكُلِّ أَجَلٍ كِتَابٌ
Terjemah:
"Setiap sesuatu ada ketentuannya (waktu dan batasannya)."
Relevansi:
Ayat ini secara singkat namun padat menegaskan bahwa segala sesuatu di alam semesta ini, termasuk peristiwa, nasib, dan takdir manusia, telah memiliki batasan dan ketentuan yang telah dituliskan oleh Allah. Ini sejalan dengan konsep "benteng-benteng takdir" yang tidak dapat ditembus oleh himmah manusia. Keinginan sekuat apapun tidak akan bisa mempercepat atau menunda ajal (waktu) yang telah ditetapkan.
Surah Al-Qamar (54): Ayat 49
إِنَّا كُلَّ شَيْءٍ خَلَقْنَاهُ بِقَدَرٍ
Terjemah:
"Sungguh, Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran (ketetapan)."
Relevansi:
Ayat ini secara eksplisit menyatakan bahwa segala sesuatu diciptakan dengan kadar atau ukuran yang telah ditentukan oleh Allah. Ini adalah fondasi dari konsep takdir. Usaha dan keinginan manusia berada dalam kerangka takdir ini. Kita berusaha dalam batas-batas yang telah Allah tetapkan, dan hasilnya pun adalah bagian dari ukuran tersebut.
Hadis yang Sejalan
Hadis Riwayat Muslim:
Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda:
"الْمُؤْمِنُ الْقَوِيُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ وَفِي كُلٍّ خَيْرٌ احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلَا تَعْجَزْ وَإِنْ أَصَابَكَ شَيْءٌ فَلَا تَقُلْ لَوْ أَنِّي فَعَلْتُ كَذَا لَكَانَ كَذَا وَكَذَا وَلَكِنْ قُلْ قَدَرُ اللَّهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ."
Terjemah:
"Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada mukmin yang lemah, dan pada keduanya ada kebaikan. Bersungguh-sungguhlah dalam meraih apa yang bermanfaat bagimu, mohonlah pertolongan kepada Allah, dan janganlah merasa lemah. Jika sesuatu menimpamu, janganlah engkau berkata, 'Seandainya aku berbuat demikian, pasti akan terjadi demikian dan demikian.' Tetapi katakanlah, 'Ini adalah takdir Allah, dan apa yang Dia kehendaki pasti Dia lakukan.' Karena sesungguhnya (kata) 'seandainya' itu membuka pintu bagi perbuatan setan."
Relevansi
Hadis ini adalah penjelas sempurna dari kalam hikmah ketiga. Rasulullah SAW mendorong kita untuk memiliki himmah (bersungguh-sungguh dalam meraih apa yang bermanfaat) dan berusaha (mohon pertolongan kepada Allah dan jangan lemah). Namun, beliau juga mengajarkan tentang sikap setelah hasil, terutama jika tidak sesuai harapan: jangan menyesali "seandainya" (yang menunjukkan ketidakridhaan terhadap takdir), melainkan katakan "Ini adalah takdir Allah, dan apa yang Dia kehendaki pasti Dia lakukan." Ini menunjukkan bahwa himmah memang penting, tetapi ia tidak akan mampu menembus atau mengubah takdir. Ridha terhadap takdir adalah puncak kekuatan seorang mukmin.
Pengalaman Para Anbiya, Ulama, dan Auliya
1. Para Anbiya (Nabi-Nabi):
* Nabi Nuh AS: Beliau berdakwah selama 950 tahun dengan himmah dan kesabaran luar biasa. Beliau membangun bahtera sesuai perintah Allah. Namun, pada akhirnya, hanya sedikit yang beriman, dan bahkan putranya sendiri termasuk yang ingkar. Himmah beliau tidak dapat mengubah takdir orang-orang yang telah Allah tetapkan untuk tidak beriman. Beliau tetap ridha dengan ketetapan Allah.
* Nabi Ibrahim AS: Beliau memiliki himmah yang kuat untuk berdakwah kepada kaumnya dan menghancurkan berhala. Namun, kaumnya tetap membakar beliau. Takdir Allah adalah menyelamatkan beliau dari api. Ini menunjukkan bahwa meskipun himmah beliau untuk mengubah kaumnya tidak terwujud sepenuhnya, takdir Allah-lah yang menentukan keselamatan dirinya.
* Nabi Muhammad SAW: Beliau memiliki himmah yang tak terhingga untuk membimbing seluruh umat manusia menuju Islam. Beliau berjuang, berkorban, menghadapi berbagai rintangan. Namun, takdir Allah menetapkan bahwa tidak semua orang akan beriman. Paman beliau, Abu Thalib, misalnya, tidak beriman hingga akhir hayatnya, meskipun Nabi SAW sangat menginginkannya. Ayat Al-Qur'an menegaskan: "Sungguh, engkau (Muhammad) tidak dapat memberi petunjuk kepada orang yang engkau kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang Dia kehendaki." (QS. Al-Qasas: 56). Ini adalah contoh nyata bahwa himmah Nabi tidak menembus benteng takdir hidayah.
2. Para Ulama:
* Imam Ahmad bin Hanbal: Beliau memiliki himmah yang kuat dalam mempertahankan akidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah ketika terjadi fitnah Khalqul Qur'an (Al-Qur'an itu makhluk). Beliau dihukum cambuk dan dipenjara. Meskipun himmah beliau sangat tinggi, takdir Allah adalah beliau harus melewati penderitaan itu. Namun, pada akhirnya, kebenaran yang beliau perjuangkan tetap menang. Beliau ridha dengan ujian tersebut sebagai bagian dari takdir Allah.
* Imam Syafi'i: Beliau memiliki himmah yang besar dalam menuntut ilmu dan menyebarkannya. Beliau melakukan perjalanan jauh, belajar dari banyak guru. Namun, takdir Allah menetapkan usia beliau yang relatif singkat. Meskipun demikian, himmah beliau dalam menyusun mazhab dan menyebarkan ilmu tetap menghasilkan manfaat luar biasa yang abadi hingga kini. Beliau menerima takdir ajalnya dengan ridha.
3. Para Auliya (Wali-Wali Allah)
* Banyak Auliya yang memiliki himmah besar dalam berdakwah, mendidik umat, atau mencapai maqam spiritual tertentu. Mereka berusaha keras, beribadah tiada henti, dan berjuang melawan hawa nafsu. Namun, hasil dari dakwah mereka, jumlah murid, atau tingkat karamah yang Allah berikan, semuanya adalah bagian dari takdir. Seorang wali mungkin memiliki himmah untuk membawa semua orang di lingkungannya beriman, tetapi takdir Allah mungkin hanya menetapkan sebagian kecil yang mendapatkan hidayah melalui dirinya. Mereka tetap tawakal dan ridha, memahami bahwa himmah adalah ikhtiar, sementara takdir adalah ketentuan.
Aplikasi di Zaman Sekarang
Kalam hikmah ini sangat fundamental untuk membentuk mentalitas yang sehat dan spiritual di zaman sekarang:
* Mengelola Harapan dan Ekspektasi: Di era yang serba kompetitif dan penuh tekanan, banyak orang memiliki himmah yang sangat tinggi untuk mencapai kesuksesan finansial, karier gemilang, atau tujuan pribadi lainnya. Namun, ketika harapan tidak tercapai, mereka mudah frustrasi, stres, bahkan depresi. Kalam ini mengajarkan kita untuk berusaha semaksimal mungkin, tetapi juga melepaskan diri dari keterikatan pada hasil. Sadari bahwa ada takdir Allah yang Maha Kuasa. Ini membantu kita mengelola ekspektasi dan menjaga kesehatan mental.
* Mencegah Putus Asa atau Over-Optimisme yang Keliru: Himmah yang tidak memahami batas takdir bisa berujung pada putus asa ekstrem saat gagal, atau over-optimisme buta yang mengabaikan realitas. Kalam ini mengajarkan keseimbangan: berusaha keraslah seolah-olah segalanya bergantung padamu, tetapi bertawakallah seolah-olah segalanya bergantung pada Allah.
* Meningkatkan Ridha dan Tawakal: Dalam menghadapi musibah, kegagalan bisnis, atau kondisi yang tidak sesuai keinginan, kalam ini mengingatkan kita untuk tidak meratapi "seandainya". Menerima bahwa ini adalah takdir Allah ("benteng takdir") akan menumbuhkan rasa ridha dan tawakal yang mendalam, yang merupakan puncak kekuatan batin seorang mukmin.
* Fokus pada Proses, Bukan Hanya Hasil: Karena hasil akhir di tangan Allah, kalam ini mendorong kita untuk lebih fokus pada kualitas himmah dan usaha kita, yaitu niat yang tulus, kerja keras yang halal, dan ikhtiar yang maksimal. Kewajiban kita adalah berusaha, bukan menjamin hasil. Ini membebaskan kita dari beban mental yang berlebihan.
* Memahami Batasan Manusia: Di zaman yang sangat menekankan empowerment dan "kamu bisa melakukan apa saja", kalam ini memberikan perspektif yang lebih realistis: ada batasan-batasan manusiawi di hadapan kekuasaan ilahi. Ini bukan untuk membuat kita pesimis, tetapi untuk membuat kita tawadhu' dan mengakui keagungan Allah. Kita adalah hamba, bukan penentu mutlak.
Kesimpulan
Kalam hikmah ketiga dari Kitab Al-Hikam, "Keinginan-keinginan kuat (himmah) tidak akan dapat menembus benteng-benteng takdir," adalah sebuah pengingat yang agung tentang batas-batas kemampuan manusia di hadapan kekuasaan Allah SWT. Ini bukan pesan untuk berpasrah diri tanpa usaha, melainkan sebuah seruan untuk memiliki himmah yang tinggi disertai dengan tawakal dan ridha yang sempurna.
Dari Al-Qur'an dan Hadis, kita diperintahkan untuk berusaha keras namun tetap menyerahkan hasilnya kepada Allah, serta ridha terhadap segala ketetapan-Nya. Pengalaman para Anbiya, Ulama, dan Auliya juga memperkuat pemahaman ini: mereka memiliki himmah luar biasa, berjuang tiada henti, namun tetap tunduk pada takdir ilahi, baik itu dalam hal hidayah, kemenangan, maupun ujian hidup.
Di era modern, di mana ekspektasi sering kali melampaui realitas, hikmah ini adalah penawar bagi jiwa yang gelisah. Ia membantu kita mengelola harapan, mencegah keputusasaan akibat kegagalan, dan menumbuhkan ketenangan batin yang sejati. Dengan memahami bahwa himmah kita adalah ikhtiar dan takdir adalah ketentuan, kita dapat menjalani hidup dengan semangat perjuangan yang membara, namun tetap dengan hati yang damai dan berserah diri sepenuhnya kepada Sang Pencipta.