وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِّمَّن دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ

30 Juli 2025

Kalam #1 : Kajian Kitab Al Hikam



 Kalam Hikmah Pertama Kitab Al-Hikam:

"مِنْ عَلاَمَةِ الاِعْتِمَادِ عَلَى الْعَمَلِ نُقْصَانُ الرَّجَاءِ عِنْدَ وجود الزلل"


Terjemah:

"Di antara tanda bergantung pada amal perbuatan adalah kurangnya harapan (putus asa) ketika tergelincir (berbuat dosa/gagal)."

Penjelasan

Kalam hikmah ini adalah fondasi penting dalam memahami konsep tawakal dan keikhlasan dalam beribadah. Imam Ibnu Atha'illah ingin menyampaikan bahwa ketergantungan sejati seorang hamba seharusnya hanya kepada Allah SWT, bukan kepada amal perbuatan yang dilakukannya. Jika seseorang terlalu bergantung pada amalnya, maka ketika ia tergelincir, berbuat dosa, atau mengalami kegagalan, ia akan mudah putus asa. Ini menunjukkan bahwa harapannya bukan pada rahmat Allah, melainkan pada kesempurnaan amalnya sendiri. Padahal, amal kita, sekecil apa pun, tidak akan pernah mampu menandingi luasnya rahmat dan ampunan Allah.

Ayat Al-Qur'an yang Relevan

Surah Az-Zumar (39): Ayat 53

قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَىٰ أَنفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِن رَّحْمَةِ اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا ۚ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ

Terjemah:

"Katakanlah (Muhammad), 'Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri (berbuat dosa), janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sungguh, Dialah Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang.'"

Relevansi:

Ayat ini secara langsung menegaskan bahwa putus asa dari rahmat Allah adalah sesuatu yang terlarang, bahkan bagi mereka yang telah banyak berbuat dosa. Ini sangat sejalan dengan kalam hikmah pertama yang melarang ketergantungan pada amal dan menganjurkan untuk selalu berharap kepada rahmat Allah, terlepas dari segala kekurangan dan kegaguran kita.

Hadis yang Sejalan

Hadis Qudsi (Riwayat Muslim):

Dari Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Allah Ta'ala berfirman:

يَا ابْنَ آدَمَ إِنَّكَ مَا دَعَوْتَنِي وَرَجَوْتَنِي غَفَرْتُ لَكَ عَلَى مَا كَانَ مِنْكَ وَلَا أُبَالِي، يَا ابْنَ آدَمَ لَوْ بَلَغَتْ ذُنُوبُكَ عَنَانَ السَّمَاءِ ثُمَّ اسْتَغْفَرْتَنِي غَفَرْتُ لَكَ وَلَا أُبَالِي، يَا ابْنَ آدَمَ إِنَّكَ لَوْ أَتَيْتَنِي بِقُرَابِ الْأَرْضِ خَطَايَا ثُمَّ لَقِيتَنِي لَا تُشْرِكُ بِي شَيْئًا لَغَفَرْتُ لَكَ بِقُرَابِهَا."

Terjemah:

"Wahai anak Adam, sesungguhnya engkau selama berdoa kepada-Ku dan mengharap kepada-Ku, niscaya Aku akan mengampuni bagimu dosa-dosa yang ada padamu dan Aku tidak peduli. Wahai anak Adam, seandainya dosa-dosamu mencapai puncak langit, kemudian engkau memohon ampun kepada-Ku, niscaya Aku akan mengampunimu dan Aku tidak peduli. Wahai anak Adam, seandainya engkau datang kepada-Ku dengan membawa dosa sepenuh bumi, kemudian engkau bertemu dengan-Ku dalam keadaan tidak menyekutukan-Ku sedikit pun, niscaya Aku akan mengampunimu dosa sepenuh bumi itu."

Relevansi:

Hadis Qudsi ini sangat kuat dalam menekankan luasnya ampunan dan rahmat Allah. Ini menjadi penawar bagi siapa saja yang merasa putus asa karena dosa-dosanya. Hadis ini mengajarkan kita untuk senantiasa berharap kepada Allah dan tidak bergantung pada amal kita yang terbatas, melainkan pada kemurahan-Nya.

Pengalaman Para Anbiya, Ulama, dan Auliya

1. Para Anbiya (Nabi-Nabi)

 * Nabi Adam AS: Setelah tergelincir dari surga, Nabi Adam tidak putus asa. Beliau dan Hawa segera memohon ampun kepada Allah dengan penuh penyesalan, "Rabbana zhalamna anfusana wa in lam taghfir lana wa tarhamna lanakunanna minal khāsirīn." (QS. Al-A'raf: 23). Ini menunjukkan bahwa kesalahan tidak boleh menjadi alasan untuk putus asa, melainkan harus menjadi pemicu untuk kembali kepada Allah.

 * Nabi Yunus AS: Ketika ditelan ikan, Nabi Yunus tidak putus asa. Beliau menyadari kesalahannya dan berdoa dalam kegelapan, "La ilaha illa anta subhanaka inni kuntu minaz zhalimin." (QS. Al-Anbiya: 87). Doa ini adalah ekspresi tawakal dan harapan penuh pada rahmat Allah, meskipun dalam kondisi yang sangat sulit.

2. Para Ulama

 * Imam Abu Hanifah: Beliau dikenal sebagai pribadi yang sangat tawadhu' dan tidak pernah merasa cukup dengan ilmunya atau amalnya. Beliau selalu menekankan pentingnya takut kepada Allah namun juga tidak putus asa dari rahmat-Nya.

 * Imam Syafi'i: Dalam banyak doanya, Imam Syafi'i senantiasa merendahkan diri di hadapan Allah dan memohon ampunan-Nya, menyadari bahwa amal yang dilakukannya tidak seberapa dibandingkan dengan karunia Allah. Beliau tidak pernah bergantung pada kesempurnaan ilmunya, melainkan pada pertolongan Allah.

3. Para Auliya (Wali-Wali Allah)

 * Rabiah Al-Adawiyah: Beliau adalah contoh nyata seorang yang mencintai Allah dengan cinta yang tulus, tidak mengharapkan surga dan tidak takut neraka, melainkan hanya ingin meraih ridha Allah. Ketika berbuat dosa atau merasa kurang dalam ibadah, beliau segera kembali kepada Allah dengan penyesalan yang tulus dan harapan akan ampunan-Nya, tanpa sedikitpun putus asa.

 * Syekh Abdul Qadir Al-Jailani: Beliau mengajarkan murid-muridnya untuk senantiasa berdzikir dan beristighfar, serta tidak pernah putus asa dari rahmat Allah meskipun telah berbuat banyak dosa. Beliau menekankan bahwa pintu taubat Allah selalu terbuka lebar.

Aplikasi di Zaman Sekarang

Kalam hikmah ini sangat relevan dan penting untuk diterapkan di zaman sekarang yang penuh dengan tekanan, kompetisi, dan ekspektasi yang tinggi:

 * Menghindari Perfeksionisme yang Merusak: Banyak orang di zaman sekarang terjebak dalam lingkaran perfeksionisme, baik dalam pekerjaan, studi, maupun ibadah. Ketika gagal mencapai standar yang ditetapkan, mereka mudah stres, cemas, bahkan depresi. Kalam hikmah ini mengajarkan kita untuk tidak terlalu bergantung pada hasil (amal), melainkan pada proses dan niat yang tulus. Jika gagal, bangkit dan perbaiki, jangan putus asa.

 * Membangun Mentalitas "Growth Mindset" dalam Ibadah: Daripada merasa putus asa ketika sholat tidak khusyuk atau hafalan Al-Qur'an sering lupa, fokuslah pada upaya untuk terus memperbaiki dan mendekatkan diri kepada Allah. Sadari bahwa Allah melihat usaha kita, bukan hanya hasil yang sempurna. Ini menumbuhkan mentalitas berkembang dalam beribadah.

 * Mengatasi Kegagalan dan Keterpurukan: Dalam dunia yang serba cepat ini, kegagalan adalah hal yang lumrah. Baik itu kegagalan bisnis, putus cinta, atau kegagalan akademis. Jika kita terlalu bergantung pada hasil upaya kita, kegagalan akan mudah membuat kita putus asa. Kalam hikmah ini mengingatkan bahwa harapan sejati harus diletakkan pada Allah, Sang Pemilik segala takdir. Dengan begitu, kita bisa bangkit kembali dengan keyakinan bahwa Allah punya rencana yang lebih baik.

 * Menjauhi Sikap Riya' dan Ujub: Ketika seseorang terlalu bergantung pada amalnya, ada kecenderungan untuk memamerkan amal tersebut (riya') atau merasa bangga diri (ujub). Kalam hikmah ini mengingatkan kita untuk selalu merendahkan diri, karena kesempurnaan hanya milik Allah, dan amal kita hanyalah upaya kecil yang membutuhkan rahmat-Nya agar diterima.

 * Meningkatkan Rasa Syukur dan Tawakal: Dengan memahami bahwa amal kita tidak ada apa-apanya tanpa rahmat Allah, kita akan lebih bersyukur atas setiap kemudahan dalam beribadah dan setiap keberhasilan yang dicapai. Ini juga akan memperkuat tawakal kita, menyerahkan segala urusan kepada Allah setelah berusaha maksimal.

Kesimpulan

Kalam hikmah pertama dari Kitab Al-Hikam, "Di antara tanda bergantung pada amal perbuatan adalah kurangnya harapan (putus asa) ketika tergelincir," adalah pengingat fundamental bagi setiap Muslim. Ia mengajarkan kita untuk meletakkan harapan sepenuhnya hanya kepada Allah SWT, bukan kepada amal perbuatan kita yang terbatas dan rentan kesalahan.

Dari perspektif Al-Qur'an dan Hadis, kita diperintahkan untuk tidak pernah putus asa dari rahmat Allah yang Maha Luas. Pengalaman para Anbiya, Ulama, dan Auliya juga menunjukkan bagaimana mereka menghadapi kesalahan dan kegagalan dengan kembali kepada Allah, memohon ampunan-Nya, dan terus berharap pada karunia-Nya.

Di zaman sekarang, pemahaman ini krusial untuk membangun mentalitas yang resilient (tahan banting) dalam menghadapi tekanan hidup, mengatasi kegagalan tanpa putus asa, dan menjaga keikhlasan dalam beribadah. Dengan menginternalisasi hikmah ini, kita akan senantiasa merasa dekat dengan Allah, bersandar pada rahmat-Nya, dan tidak mudah menyerah di hadapan ujian dan cobaan. Ini adalah fondasi penting untuk mencapai ketenangan hati dan kebahagiaan sejati, baik di dunia maupun di akhirat.


Share:

Postingan Populer