وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِّمَّن دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ

29 Juli 2025

Biografi Imam Abu Hanifah

Imam Abu Hanifah: Sang Pelopor Mazhab Hanafi dan Ulama Entrepreneur

​Imam Abu Hanifah, yang memiliki nama lengkap Nu'man bin Tsabit bin Zuwatha, adalah salah satu ulama besar dalam sejarah Islam yang dikenal sebagai pendiri mazhab Hanafi, salah satu dari empat mazhab fikih Sunni terbesar. Beliau hidup di masa transisi dari kekhalifahan Umayyah ke Abbasiyah, dan memberikan kontribusi yang sangat signifikan dalam pengembangan ilmu fikih.

Masa Kecil dan Remaja: Antara Pasar dan Majelis Ilmu

​Imam Abu Hanifah lahir di Kufah, Irak, pada tahun 80 Hijriah (sekitar 699 Masehi). Keluarganya berasal dari Persia (sekarang Afghanistan), dengan kakeknya, Zuwatha (atau Marzuban), yang telah memeluk Islam pada masa Umar bin Khattab dan kemudian bermigrasi ke Kufah. Ayah beliau, Tsabit bin Zuwatha, adalah seorang pedagang sutra yang sukses di Kufah.

​Sejak kecil, Abu Hanifah sudah dibiasakan dengan dunia perniagaan, membantu ayahnya berjualan sutra di pasar. Beliau dikenal sebagai pribadi yang cerdas dan tekun. Meskipun aktif dalam berdagang, hati beliau selalu terpaut pada masjid dan majelis ilmu. Kecerdasannya ini menarik perhatian ulama tabi'in terkemuka, Amir bin Syurahbil asy-Sya'bi. Suatu hari, asy-Sya'bi bertanya kepada Abu Hanifah muda tentang tujuannya, dan Abu Hanifah menjawab bahwa ia akan ke pasar. Asy-Sya'bi kemudian menasihatinya untuk lebih fokus menuntut ilmu agama, karena melihat potensi besar dalam dirinya.

​Nasihat asy-Sya'bi sangat membekas di hati Abu Hanifah. Sejak saat itu, meskipun tidak sepenuhnya meninggalkan dunia perniagaan, beliau memprioritaskan waktunya untuk menuntut ilmu. Beliau tetap menjalankan bisnisnya, namun hanya menyita sebagian kecil dari waktunya. Hal ini menjadikan beliau dikenal sebagai "ulama entrepreneur," sosok yang mampu menggabungkan kesuksesan duniawi dengan kedalaman ilmu agama.

Perjalanan Menjadi Ulama Besar: Rihlah Intelektual yang Mendalam

​Perjalanan intelektual Imam Abu Hanifah sangatlah luas dan mendalam. Beliau belajar dari sekitar 4.000 guru, termasuk para sahabat Nabi Muhammad SAW (meskipun jumlahnya tidak banyak, sekitar tujuh sahabat) dan banyak tabi'in (disebutkan sembilan puluh tiga tabi'in), serta tabi'ut tabi'in. Ini tidak mengherankan mengingat beliau hidup hingga usia 70 tahun dan menunaikan haji sebanyak 55 kali, yang menjadi kesempatan baginya untuk bertemu dan berdiskusi dengan para ulama dari berbagai penjuru dunia.

​Salah satu guru yang sangat memengaruhi Imam Abu Hanifah adalah Hammad bin Abi Sulaiman. Beliau belajar fikih dan hadis dari Hammad selama kurang lebih 20 tahun, hingga kemudian mengambil alih posisi gurunya setelah Hammad meninggal dunia. Selain itu, beliau juga belajar ilmu dari ulama terkenal di Mekah dan Madinah, seperti Atha' bin Abi Rabah.

​Awalnya, Abu Hanifah memiliki ketertarikan pada berbagai disiplin ilmu seperti qira'at (ilmu membaca Al-Qur'an), hadis, nahwu (tata bahasa Arab), sastra, sya'ir, dan ilmu kalam (teologi). Beliau bahkan menjadi salah satu tokoh terpandang dalam ilmu kalam, mampu membungkam golongan Khawarij dengan pemikirannya yang tajam. Namun, akhirnya beliau menekuni ilmu fikih secara lebih mendalam, terutama di Kufah yang merupakan pusat perhatian ulama fikih dengan pendekatan rasional. Beliau dikenal sebagai ahli ijtihad dan pelopor penggunaan akal pikiran (ra'yu) dalam berijtihad, tanpa meninggalkan nash Al-Qur'an dan Sunnah.

Karya-Karya dan Warisan Intelektual

​Meskipun Imam Abu Hanifah sendiri tidak banyak menulis kitab secara langsung dalam bentuk kodifikasi seperti mazhab-mazhab lainnya, ide, pandangan, dan fatwa-fatwanya didokumentasikan dan disebarluaskan oleh murid-muridnya yang brilian. Mazhab Hanafi dikenal dengan pendekatannya yang menekankan pada penggunaan akal (ra'yu), qiyas (analogi), dan istihsan (preferensi) dalam menarik hukum syariah, di samping berpegang teguh pada Al-Qur'an dan Sunnah.

​Beberapa karya yang dinisbatkan kepadanya atau yang merupakan hasil kumpulan dari ajaran-ajarannya melalui murid-muridnya antara lain:

  • Al-Fiqh al-Akbar: Sebuah kitab yang membahas tentang ilmu kalam atau akidah (tauhid). Kitab ini diriwayatkan dari Imam Abi Muthi' Al-Hakam bin Abdullah Bakhy.
  • Al-'Alim wal-Muta'allim: Sebuah dialog antara seorang ulama dan seorang penuntut ilmu yang membahas berbagai masalah akidah dan fikih.
  • Musnad Abu Hanifah: Kumpulan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Abu Hanifah, meskipun sebagian besar disusun oleh murid-muridnya.

​Adapun karya-karya yang menjadi fondasi utama mazhab Hanafi, yang dikenal sebagai "Zhahiru ar-Riwayah" dan memiliki kedudukan seperti Shahihain dalam bidang hadis, disusun oleh murid-murid utama beliau, terutama Imam Abu Yusuf dan Imam Muhammad bin al-Hasan al-Syaibani. Kitab-kitab tersebut antara lain:

  • Kitab al-Mabsuth
  • Kitab al-Jami'u al-Shaghir
  • Kitab al-Jami'u al-Kabir
  • Kitab al-Sairu al-Shaghir
  • Kitab al-Sairu al-Kabir
  • Kitab al-Ziyadat

​Murid-murid beliau, seperti Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan al-Syaibani, memainkan peran krusial dalam menyebarkan dan mengembangkan mazhab Hanafi. Abu Yusuf adalah Qadhi al-Qudhat (Hakim Agung) pertama pada masa Kekhalifahan Abbasiyah, yang menjadikan mazhab Hanafi sebagai mazhab resmi negara, sehingga memperluas penyebarannya ke berbagai wilayah Islam, termasuk Mesir, Lebanon, dan Suriah.

Wafat dan Warisan Abadi

​Imam Abu Hanifah wafat pada tahun 150 Hijriah (sekitar 767 Masehi) di Baghdad, setelah menjalani kehidupan yang penuh dengan ilmu dan pengabdian. Beliau dikabarkan meninggal di penjara karena menolak tawaran jabatan sebagai hakim agung dari Khalifah al-Mansur, sebagai bentuk independensi beliau dari kekuasaan.

​Warisan Imam Abu Hanifah sangatlah besar. Mazhab Hanafi yang beliau dirikan menjadi salah satu mazhab fikih yang paling banyak diikuti di dunia, terutama di wilayah Asia Tengah, Asia Selatan, Turki, dan sebagian Timur Tengah. Pemikiran beliau yang menekankan pada rasionalitas dan penalaran dalam berijtihad telah membuka jalan bagi pengembangan ilmu fikih yang lebih dinamis dan relevan dengan perubahan zaman. Beliau adalah teladan bagi seorang muslim yang tidak hanya menguasai ilmu agama, tetapi juga memiliki integritas, kemandirian, dan semangat berwirausaha.

Share:

Postingan Populer