وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِّمَّن دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ

01 Agustus 2025

Rebo Wekasan: Tradisi dan Tinjauan Agama



Rebo Wekasan, sebuah tradisi yang masih lestari di beberapa daerah di Indonesia, khususnya di Jawa, seringkali menjadi topik perbincangan, baik dari sudut pandang budaya maupun agama. Tradisi ini dilakukan pada hari Rabu terakhir di bulan Safar, bulan kedua dalam kalender Hijriah. Masyarakat yang melaksanakannya meyakini bahwa pada hari tersebut, Allah menurunkan ribuan bala atau bencana ke dunia. Oleh karena itu, mereka melakukan serangkaian amalan untuk menolak bala tersebut. Artikel ini akan mengupas tuntas mengenai Rebo Wekasan, mulai dari asal-usulnya, amalan yang dilakukan, hingga pandangan para ulama dan kitab-kitab yang menjadi rujukannya.

Asal-Usul Tradisi Rebo Wekasan

Rebo Wekasan tidak dapat ditemukan secara eksplisit dalam Al-Qur'an maupun Hadits. Tradisi ini dipercaya berasal dari para ulama dan kiai terdahulu yang berdakwah di Nusantara. Mereka melihat kondisi masyarakat yang masih dipenuhi dengan kepercayaan animisme dan dinamisme, sehingga mereka menciptakan sebuah amalan yang disesuaikan dengan ajaran Islam untuk menolak bala, namun tetap selaras dengan kearifan lokal. Tradisi ini kemudian berkembang dan diwariskan secara turun-temurun.

Salah satu versi yang paling populer mengenai asal-usul Rebo Wekasan adalah kisah dari seorang ulama besar, Syekh Abdul Hamid Kendal, yang menafsirkan sebuah hadis tentang bulan Safar. Dalam tafsirnya, beliau mengemukakan bahwa pada hari Rabu terakhir di bulan Safar, Allah menurunkan bala yang jumlahnya sangat banyak. Namun, tafsir ini kemudian banyak disalahpahami oleh sebagian masyarakat, yang menganggap bahwa Rebo Wekasan adalah hari sial.

Amalan Rebo Wekasan

Amalan yang dilakukan saat Rebo Wekasan sangat beragam, tergantung dari daerah dan keyakinan masing-masing. Namun, pada umumnya, amalan tersebut bertujuan untuk memohon perlindungan kepada Allah dari segala macam bala dan bencana. Beberapa amalan yang umum dilakukan, antara lain:

  1. Shalat Tolak Bala: Shalat ini bukanlah shalat yang diwajibkan, melainkan shalat sunnah yang dilakukan dengan niat khusus untuk menolak bala. Jumlah rakaatnya bervariasi, ada yang 2 rakaat, 4 rakaat, bahkan lebih. Setelah shalat, biasanya dilanjutkan dengan berdoa dan membaca ayat-ayat suci Al-Qur'an.

  2. Berdoa dan Berdzikir: Masyarakat yang melaksanakannya akan memperbanyak doa dan dzikir, terutama membaca doa-doa yang diyakini dapat menolak bala.

  3. Membaca Doa Sapu Jagat: Doa sapu jagat, yaitu "", seringkali dibaca berulang-ulang.

  4. Mandi atau Mencuci Diri: Di beberapa tempat, ada tradisi untuk mandi atau mencuci diri dengan air yang telah diberi ramuan khusus, seperti air kembang tujuh rupa, yang diyakini dapat membersihkan diri dari segala bala.

  5. Sedekah dan Silaturahmi: Masyarakat juga dianjurkan untuk memperbanyak sedekah dan menjalin silaturahmi, karena dua amalan ini diyakini dapat menolak bala.

Apakah Ada Pada Zaman Nabi?

Secara eksplisit, tidak ada hadits yang menjelaskan mengenai Rebo Wekasan. Nabi Muhammad SAW tidak pernah mengajarkan atau menganjurkan amalan khusus pada hari Rabu terakhir di bulan Safar. Bahkan, ada hadits yang justru menolak kepercayaan terhadap hari sial.

Hadits tersebut berbunyi: 

لَا عَدْوَى وَلَا طِيَرَةَ وَلَا هَامَةَ وَلَا صَفَرَ

"Tidak ada penyakit menular (dengan sendirinya), tidak ada ramalan nasib, tidak ada (anggapan) burung hantu (sebagai pertanda buruk) dan tidak ada (anggapan) kesialan bulan Safar." (HR. Bukhari dan Muslim).

Hadits ini menunjukkan bahwa dalam Islam, tidak ada hari, bulan, atau waktu yang dianggap sial. Semua waktu adalah ciptaan Allah dan memiliki keberkahan. Oleh karena itu, mengkhususkan amalan tertentu pada hari Rebo Wekasan dengan anggapan bahwa hari tersebut adalah hari sial, bertentangan dengan ajaran Nabi SAW.

Pendapat Para Ulama 

Para ulama memiliki pandangan yang beragam mengenai Rebo Wekasan. Secara umum, mereka dapat dikelompokkan menjadi dua kubu:

  • Ulama yang Kontra: Kelompok ulama ini menganggap Rebo Wekasan sebagai bid'ah, yaitu sesuatu yang tidak ada dasar syar'inya dalam Islam. Mereka berpendapat bahwa mengkhususkan amalan pada hari tersebut dengan keyakinan untuk menolak bala adalah sebuah kesesatan, karena hal tersebut tidak diajarkan oleh Nabi SAW. Mereka juga khawatir, tradisi ini akan menjerumuskan masyarakat ke dalam syirik, jika amalan tersebut dilakukan dengan keyakinan yang keliru.

  • Ulama yang Pro: Kelompok ulama ini tidak secara eksplisit mendukung Rebo Wekasan sebagai tradisi yang harus diikuti. Namun, mereka melihat bahwa amalan yang dilakukan pada Rebo Wekasan, seperti shalat, berdoa, bersedekah, dan berdzikir, adalah amalan yang baik dan dianjurkan dalam Islam. Mereka berpendapat, selama amalan tersebut dilakukan dengan niat yang benar, yaitu memohon perlindungan kepada Allah, dan tidak didasari oleh keyakinan yang salah, maka hal tersebut sah-sah saja. Mereka juga beranggapan bahwa tradisi ini dapat menjadi sarana dakwah, untuk mengajak masyarakat agar lebih mendekatkan diri kepada Allah.

Kajian Kitab

  • Kitab yang Kontra: Banyak kitab-kitab fiqih dan hadits yang tidak menyebutkan secara spesifik mengenai Rebo Wekasan. Namun, secara umum, kitab-kitab tersebut menganjurkan umat Islam untuk menjauhi segala bentuk bid'ah dan khurafat (takhayul). Contohnya, Kitab Fathul Bari karya Ibnu Hajar al-Asqalani, yang menjelaskan tentang hadits-hadits Nabi, tidak menyebutkan amalan khusus pada Rebo Wekasan.

  • Kitab yang Pro: Kitab-kitab yang mendukung tradisi ini seringkali berasal dari ulama-ulama sufi yang berdakwah di Nusantara. Contohnya, Kitab An-Nawadir karya Syekh Abdul Hamid Kendal, yang menafsirkan bulan Safar sebagai bulan turunnya bala. Namun, kitab ini bukanlah kitab fiqih yang menjadi rujukan utama dalam hukum Islam.

Kesimpulan 

Rebo Wekasan adalah sebuah tradisi yang sarat akan nilai-nilai budaya dan religius. Meskipun tidak ada dasar syar'inya yang kuat dari Al-Qur'an dan Hadits, amalan yang dilakukan pada Rebo Wekasan, seperti shalat, berdoa, berdzikir, dan bersedekah, adalah amalan yang baik dan dianjurkan dalam Islam.

Namun, yang perlu digarisbawahi adalah niat dan keyakinan. Tradisi ini hendaknya tidak dilakukan dengan keyakinan bahwa Rebo Wekasan adalah hari sial, melainkan sebagai momentum untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah, memohon perlindungan dari segala macam musibah, dan memperbanyak amalan shalih. Kita harus selalu ingat bahwa segala sesuatu yang terjadi di dunia ini, baik dan buruk, adalah atas kehendak Allah.

Oleh karena itu, mari kita sikapi tradisi Rebo Wekasan dengan bijaksana. Ambil nilai-nilai positifnya, seperti memperbanyak ibadah dan bersedekah, dan hindari keyakinan-keyakinan yang bertentangan dengan ajaran Islam. Dengan demikian, tradisi Rebo Wekasan dapat menjadi sarana untuk mempererat tali silaturahmi, memperkuat iman, dan meningkatkan ketaatan kita kepada Allah SWT.

*Hasil generate dari Gemini ai

Baca juga :

Penjelasan Mengenai Rebo Wekasan

Share:

Postingan Populer