وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِّمَّن دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ

Tampilkan postingan dengan label Artikel. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Artikel. Tampilkan semua postingan

11 Agustus 2025

Tadabbur Surat Al-Hujurat ayat 12 (1) : Larangan Berprasangka Buruk



​Prasangka buruk, atau dalam bahasa Arab disebut dhonn atau su'udzon, adalah penyakit hati yang seringkali kita anggap remeh. Padahal, Allah SWT secara tegas memperingatkan kita untuk menjauhinya. Dalam surat Al-Hujurat ayat 12, prasangka buruk diletakkan di awal larangan sebelum ghibah dan tajassus, menunjukkan betapa berbahayanya penyakit ini:

​يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا ٱجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِّنَ ٱلظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ ٱلظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَٱتَّقُوا ٱللَّهَ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ تَوَّابٌ رَّحِيمٌ
​"Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka (kecurigaan), karena sebagian prasangka itu adalah dosa. Dan janganlah kalian mencari-cari kesalahan orang lain, dan janganlah sebagian kalian menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kalian memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kalian merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang."
​Ayat di atas dimulai dengan kalimat "jauhilah kebanyakan dari prasangka (kecurigaan)" karena prasangka buruk adalah akar dari segala keburukan sosial. Ia menjadi benih yang menumbuhkan kebencian, kecurigaan, dan permusuhan. Prasangka buruk adalah asumsi negatif yang kita buat tentang orang lain tanpa adanya bukti yang kuat atau fakta yang jelas.
​Mengapa prasangka buruk sangat berbahaya?

Menyebabkan Dosa: Allah SWT dengan jelas menyatakan bahwa "sebagian prasangka itu adalah dosa." Artinya, tidak semua prasangka adalah dosa, tetapi kebanyakan prasangka yang muncul dari kecurigaan dan pikiran negatif adalah dosa.

Merusak Hubungan Sosial: Prasangka buruk dapat merusak hubungan persaudaraan. Ketika kita berprasangka buruk pada seseorang, kita akan mulai menjauhinya, bersikap dingin, atau bahkan membicarakannya di belakang.

​Memicu Perbuatan Maksiat Lainnya: Prasangka buruk adalah pintu gerbang menuju tajassus (mencari-cari kesalahan) dan ghibah (menggunjing). Prasangka memicu rasa penasaran untuk membenarkan prasangka tersebut, yang kemudian mendorong seseorang untuk mencari-cari aib. Setelah aib ditemukan (baik benar atau tidak), ia akan cenderung membicarakannya.

Contoh Prasangka Buruk dalam Kehidupan Sehari-hari :
- ​Seseorang melihat HP temannya dikunci dan disandi, kemudian dia mengira bahwa teman yang HP-nya dikunci tersebut berisi konten-konten yang tak pantas atau bahkan dia berprasangka temannya sedang selingkuh, padahal yang sebenarnya adalah temannya sedang melindungi datanya yang penting jangan sampai hilang atau rusak karena menyangkut dengan pekerjaan sehari-hari.

- ​Seorang ibu melihat anaknya pulang terlambat. Ia langsung berprasangka buruk bahwa anaknya pergi ke tempat yang tidak baik, padahal mungkin saja anaknya sedang membantu seorang teman yang sedang dalam kesulitan.

​- Ketika melihat tetangga yang sering pulang larut malam, kita langsung berprasangka bahwa ia melakukan pekerjaan yang tidak benar, padahal bisa jadi ia adalah seorang pekerja keras yang harus lembur setiap hari.
​Rasulullah SAW memperingatkan umatnya tentang bahaya prasangka buruk.
​Dari Abu Hurairah r.a., Rasulullah SAW bersabda, 

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: "إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ، فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيثِ، وَلَا تَجَسَّسُوا،
 وَلَا تَحَسَّسُوا، وَلَا تَنَافَسُوا، وَلَا تَدَابَرُوا، وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا." (رواه البخاري ومسلم)
"Jauhilah oleh kalian berprasangka buruk, karena sesungguhnya prasangka buruk itu adalah ucapan yang paling dusta. Dan janganlah kalian mencari-cari aib orang lain, jangan memata-matai, jangan saling mendengki, jangan saling membelakangi, dan jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara." (HR. Bukhari dan Muslim)

​Hadits ini mengibaratkan prasangka buruk sebagai "ucapan yang paling dusta" karena prasangka buruk adalah asumsi yang seringkali tidak benar. Dengan menjauhi prasangka buruk, kita dapat menjaga hati kita dari kedengkian dan permusuhan, serta mempererat tali persaudaraan.

​Para ulama memberikan nasihat berharga mengenai cara menghindari prasangka buruk:
​Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan bahwa "dhonn" (prasangka) adalah dugaan yang tidak didasari bukti. Beliau menegaskan bahwa seorang mukmin harus selalu berprasangka baik (husnuzhon) kepada saudaranya selama tidak ada bukti yang jelas dan kuat.

Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumiddin menyebutkan bahwa prasangka buruk adalah pintu utama dari penyakit hati. Beliau menganjurkan agar kita selalu berusaha mencari alasan baik (uzur) atas perbuatan orang lain, karena hal tersebut dapat membersihkan hati dan menjaga hubungan baik.

​Penutup
​Prasangka buruk adalah penyakit hati yang merusak. Ia tidak hanya merusak hubungan kita dengan orang lain, tetapi juga merusak hubungan kita dengan Allah SWT. Dengan menjauhi prasangka buruk, kita menunjukkan ketaatan kita kepada Allah dan Rasul-Nya.
​Mulailah dengan melatih diri untuk selalu berprasangka baik (husnuzhon) kepada setiap orang. Ketika muncul pikiran negatif tentang seseorang, segeralah beristighfar dan mencoba mencari alasan baik atas perbuatannya. Dengan begitu, hati kita akan menjadi lebih tenang, damai, dan penuh dengan kasih sayang.

​Semoga Allah SWT membersihkan hati kita dari segala penyakit dan menjadikan kita hamba-Nya yang senantiasa berprasangka baik. Aamiin.

Share:

07 Agustus 2025

Merayakan Hari Kemerdekaan: Antara Ekspresi Syukur dan Kufur Nikmat

Setiap tanggal 17 Agustus, seluruh rakyat Indonesia larut dalam euforia perayaan Hari Kemerdekaan. Bendera Merah Putih berkibar di setiap sudut pelosok negeri, lantunan lagu kebangsaan bergema, dan beragam lomba diadakan untuk memeriahkan momen bersejarah ini. Namun, di balik semarak perayaan tersebut, muncul pertanyaan mendalam: apakah semua ekspresi ini benar-benar wujud rasa syukur atas kemerdekaan, atau justru ada yang terjebak dalam kufur nikmat?

Kemerdekaan adalah nikmat tak ternilai harganya. Sebuah hasil dari perjuangan para pahlawan yang mengorbankan jiwa dan raga demi membebaskan bangsa dari belenggu penjajahan. Ekspresi syukur yang sejati seharusnya tidak hanya terbatas pada euforia sesaat, tetapi juga tercermin dalam sikap, perbuatan, dan tanggung jawab kita sebagai warga negara.

Ekspresi rasa syukur yang sejati diantaranya adalah sebagai berikut :

  1. Mengenang Jasa Pahlawan: Rasa syukur yang paling mendasar adalah dengan tidak melupakan sejarah. Menghargai perjuangan pahlawan bukan hanya dengan mendo’akan dan mengheningkan cipta, melainkan dengan meneladani semangat mereka. Semangat pantang menyerah, rela berkorban, dan cinta tanah air harus terus dihidupkan dalam diri kita.
  2. Menjaga Persatuan dan Kesatuan: Kemerdekaan diraih berkat persatuan dari berbagai suku, agama, dan golongan. Merayakan kemerdekaan adalah dengan terus merawat kebhinekaan. Menghindari perpecahan, intoleransi, dan konflik adalah wujud nyata dari rasa syukur kita atas persatuan yang telah diwariskan.
  3. Mengisi Kemerdekaan dengan Prestasi: Para pahlawan telah membebaskan kita dari penjajahan fisik. Tugas kita sekarang adalah membebaskan bangsa dari kebodohan, kemiskinan, dan keterbelakangan. Bekerja keras, belajar dengan tekun, berinovasi, dan berkontribusi positif bagi bangsa adalah cara terbaik untuk mengisi kemerdekaan. Ini adalah bentuk syukur yang paling produktif.
  4. Menjunjung Tinggi Nilai-Nilai Pancasila: Pancasila adalah fondasi negara kita. Mengamalkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, seperti gotong royong, keadilan sosial, dan musyawarah, adalah wujud nyata dari penghormatan terhadap pondasi kemerdekaan itu sendiri.

Sayangnya, di sisi lain, kita juga sering melihat perayaan yang justru menjauhkan kita dari hakikat syukur. Inilah yang bisa kita seartikan sebagai kufur nikmat, yaitu mengingkari atau tidak mensyukuri nikmat yang telah diberikan.

  1. Perayaan yang Berlebihan dan Tidak Substantif: Berbagai macam lomba yang dilaksanakan hanya sebatas untuk bisa mentertawakan aksi orang lain dengan merendahkan nilai-nilai kemanusiaan, dan juga panggung-panggung hiburan yang menampilkan aurat yang terbuka yang tidak jarang juga dijadikan tempat pesta minuman keras, apalagi berujung tawuran adalah bagian dari ekspresi kufur nikmat.
  2. Merusak Fasilitas Umum dan Lingkungan: Perayaan yang mengganggu ketentraman warga yang bersumber dari suara yang terlalu keras semisal Sound Horeg yang seringkali juga merusak fasilitas umum, meninggalkan sampah berserakan atau bahkan menimbulkan kericuhan, jelas merupakan bentuk ketidakpedulian. Perilaku ini menunjukkan bahwa kita tidak menghargai apa yang telah dibangun dan dipertahankan dengan susah payah oleh para pendahulu.
  3. Tindak Intoleransi dan Diskriminasi: Ketika kita merayakan kemerdekaan, tetapi di saat yang sama masih ada sikap intoleransi, diskriminasi, dan merendahkan orang lain yang berbeda, maka kita telah mengingkari salah satu pilar utama kemerdekaan, yaitu persatuan dan kesatuan. Ini adalah bentuk kufur nikmat yang menghancurkan pondasi bangsa dari dalam.

Kesimpulan

Merayakan Hari Kemerdekaan adalah hak setiap warga negara, tetapi penting untuk selalu menempatkannya dalam konteks yang benar. Kemerdekaan adalah anugerah yang harus disyukuri, bukan sekadar dirayakan.

Mari jadikan setiap perayaan 17 Agustus sebagai momentum untuk kembali merenungkan, meneladani, dan berkomitmen untuk menjadi warga negara yang lebih baik. Jauhkan diri dari perayaan yang hanya berujung pada hura-hura tanpa makna. Mari kita tunjukkan rasa syukur kita yang sejati dengan terus menjaga, merawat, dan membangun Indonesia menjadi negara yang lebih maju, adil, dan sejahtera, sesuai dengan cita-cita para pahlawan bangsa. Karena sejatinya, kemerdekaan adalah tanggung jawab yang harus kita panggul demi membuat negara kita menjadi maju dan sejahtera, bukan sekadar pesta, bergembira dan tertawa-tawa.*

 

Share:

02 Agustus 2025

Kisah Nabi Sulaiman dan Ratu Saba' (Bilqis)


Burung Hudhud dan Surat Nabi Sulaiman

Kisah ini dimulai ketika Nabi Sulaiman AS, yang memiliki kekuasaan atas jin, manusia, dan hewan, sedang mengadakan inspeksi pasukannya. Ia menyadari ketidakhadiran burung hudhud. Nabi Sulaiman marah dan mengancam akan menghukum hudhud jika tidak ada alasan yang jelas atas ketidakhadirannya.

Tidak lama kemudian, hudhud kembali dan menyampaikan kabar luar biasa. Ia memberitahukan kepada Nabi Sulaiman tentang sebuah kerajaan di negeri Saba' yang dipimpin oleh seorang Ratu. Hudhud menjelaskan bahwa kerajaan tersebut sangat makmur, namun Ratu dan rakyatnya menyembah matahari, bukan Allah SWT. Mereka tidak bersujud kepada Allah yang Maha Mencipta.

Mendengar kabar ini, Nabi Sulaiman menulis sebuah surat yang berisi ajakan untuk menyembah Allah semata dan beriman kepada-Nya. Surat itu dimulai dengan 'Bismillahirrahmannirrahiim' (Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang) dan ditutup dengan seruan untuk tunduk dan datang menghadap Nabi Sulaiman sebagai seorang Muslim (orang yang berserah diri). Nabi Sulaiman kemudian memerintahkan hudhud untuk mengantarkan surat tersebut kepada Ratu Saba'.

Reaksi Ratu Saba' dan Para Pembesar Kerajaan

Hudhud berhasil menyampaikan surat itu. Ratu Saba' (Bilqis) membaca surat tersebut dan merasa terkejut. Ia mengumpulkan para pembesar dan penasihat kerajaan untuk bermusyawarah. Ratu Bilqis adalah seorang pemimpin yang bijaksana dan tidak gegabah dalam mengambil keputusan.

Ia membacakan surat itu di hadapan mereka dan meminta pendapat. Para pembesar kerajaan, yang merasa gagah dan kuat, menawarkan untuk berperang melawan Nabi Sulaiman. Mereka berkata, "Kami memiliki kekuatan dan keberanian untuk berperang, namun keputusan ada di tanganmu."

Namun, Ratu Bilqis menolak tawaran perang. Ia berpendapat bahwa raja-raja yang menaklukkan suatu negeri biasanya merusak dan menghinakan penduduknya. Ratu Bilqis memilih jalan lain, yaitu diplomasi. Ia memutuskan untuk mengirimkan hadiah yang sangat mewah kepada Nabi Sulaiman, dengan tujuan untuk menguji apakah Nabi Sulaiman seorang raja biasa yang tamak atau seorang Nabi yang utusan Allah.

Jawaban Nabi Sulaiman dan Tantangan Pemindahan Singgasana

Ketika utusan Ratu Saba' datang membawa hadiah-hadiah mewah, Nabi Sulaiman menolak dengan tegas. Ia berkata, "Apakah kalian hendak memberiku harta? Harta yang Allah berikan kepadaku jauh lebih baik dari apa yang kalian berikan. Justru kalian yang bergembira dengan hadiah kalian."

Nabi Sulaiman kemudian mengancam akan datang dengan pasukan yang tidak bisa mereka lawan, jika mereka tidak datang tunduk dan beriman. Setelah utusan itu kembali, Nabi Sulaiman ingin menunjukkan mukjizat dan kebesaran Allah. Ia berkata kepada para pembesar di sekitarnya, "Siapakah di antara kalian yang bisa memindahkan singgasana Ratu Bilqis ke hadapanku, sebelum mereka datang kepadaku sebagai orang yang tunduk?"

Seorang jin ifrit, yang terkenal kuat, menyanggupi untuk memindahkan singgasana itu sebelum Nabi Sulaiman berdiri dari tempat duduknya. Namun, seorang ulama yang memiliki ilmu dari kitab (ilmu Allah) bernama Ashif bin Barkhiya menyanggupi untuk memindahkannya hanya dalam sekejap mata. Sebagaimana firman Allah dalam surat An-Naml ayat 40, "...Aku akan membawanya kepadamu sebelum matamu berkedip."

Dengan izin Allah, Ashif bin Barkhiya berhasil memindahkan singgasana yang sangat besar dan berat itu dari istana Ratu Saba' di Yaman ke istana Nabi Sulaiman di Palestina dalam waktu yang sangat singkat. Ketika Nabi Sulaiman melihat singgasana itu berada di hadapannya, ia bersyukur kepada Allah dan berkata, "Ini adalah karunia Tuhanku, untuk mengujiku apakah aku bersyukur atau kufur."

Kedatangan Ratu Saba' dan Ujian Jembatan Kaca

Ratu Bilqis akhirnya datang ke istana Nabi Sulaiman. Setelah tiba, Nabi Sulaiman menyuruh orang-orangnya untuk mengubah sedikit bagian dari singgasana Ratu Bilqis. Ketika Ratu Bilqis melihat singgasana itu, ia ditanya, "Apakah singgasanamu seperti ini?" Ratu Bilqis menjawab dengan cerdas, "Seakan-akan itu adalah dia (singgasana saya)." Jawaban ini menunjukkan kecerdasan dan ketelitian Ratu Bilqis.

Ujian berikutnya adalah saat Ratu Bilqis hendak memasuki sebuah ruangan. Lantai ruangan tersebut terbuat dari kaca yang sangat bening, di bawahnya terdapat air yang dialiri ikan. Ratu Bilqis mengira itu adalah genangan air dan ia menyingsingkan roknya agar tidak basah. Nabi Sulaiman kemudian berkata, "Sesungguhnya ini adalah istana yang dilapisi kaca."

Ratu Bilqis merasa sangat kagum. Ia menyadari bahwa ia telah berhadapan dengan seorang Nabi yang memiliki kekuasaan luar biasa yang berasal dari Allah, bukan sekadar raja yang perkasa. Kejadian ini membuatnya tersadar bahwa segala kemegahan dan kekayaan yang dimilikinya tidak sebanding dengan kekuasaan Allah.

Keislaman Ratu Saba'

Pada akhirnya, Ratu Bilqis menyatakan keimanannya. Ia berkata, "Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah berbuat zalim terhadap diriku sendiri. Dan sekarang aku tunduk (menyerahkan diri) bersama Sulaiman kepada Allah, Tuhan semesta alam."

Dengan keislaman Ratu Bilqis, seluruh rakyatnya di kerajaan Saba' juga ikut memeluk Islam. Ini adalah kemenangan dakwah Nabi Sulaiman yang berhasil menyebarkan tauhid tanpa pertumpahan darah.

Pelajaran Berharga dari Kisah ini:

  • Hikmah dan Kebijaksanaan: Kisah ini mengajarkan pentingnya hikmah dan kebijaksanaan dalam mengambil keputusan, seperti yang ditunjukkan oleh Ratu Bilqis yang memilih jalan diplomasi daripada perang.

  • Kekuasaan Allah: Kisah ini menunjukkan kebesaran dan kekuasaan Allah yang tidak terbatas, di mana Nabi Sulaiman diberi mukjizat luar biasa yang tidak dapat ditandingi oleh manusia manapun.

  • Pentingnya Dakwah: Nabi Sulaiman tidak langsung menghancurkan Ratu Bilqis dan kerajaannya, melainkan memulai dengan dakwah melalui surat. Ini adalah contoh cara berdakwah yang santun dan bijaksana.

  • Keimanan yang Benar: Kisah ini mengingatkan kita bahwa segala kemegahan dunia tidak ada artinya di hadapan keimanan kepada Allah. Ratu Bilqis, meski memiliki kekuasaan dan kekayaan, pada akhirnya memilih keimanan yang sejati.

Sumber : Surat An-Naml
Share:

Kalam #3 : Kajian Kitab Al-Hikam


"سَوَابِقُ الْهِمَمِ لَا تُخْرِقُ أَسْوَارَ الْأَقْدَارِ."


"Keinginan-keinginan kuat (himmah) tidak akan dapat menembus benteng-benteng takdir."

Penjelasan

Kalam hikmah ini adalah kelanjutan dari pembahasan tentang takdir dan usaha manusia. Setelah di kalam kedua Imam Ibnu Atha'illah menjelaskan tentang penempatan kita dalam asbab atau tajrid, di kalam ketiga ini beliau memperdalam pemahaman kita tentang batasan dari usaha dan keinginan manusia di hadapan ketetapan takdir Allah.

Kata himmah di sini memiliki makna yang sangat kaya: bisa berarti cita-cita yang luhur, kemauan yang kuat, ambisi yang membara, atau bahkan upaya yang maksimal. Sedangkan aswar al-aqdar (benteng-benteng takdir) merujuk pada ketetapan-ketetapan Allah yang telah ditentukan-Nya sejak zaman azali, meliputi segala sesuatu yang akan terjadi, baik kebaikan maupun keburukan, kesuksesan maupun kegagalan, kehidupan maupun kematian.

Pesan utama kalam ini adalah bahwa sekalipun seseorang memiliki keinginan yang sangat kuat (himmah) dan telah mengerahkan segala upaya maksimal, pada akhirnya, hasil dan ketetapan akhir berada di tangan Allah SWT. Keinginan dan usaha manusia tidak akan mampu mengubah atau "menembus" apa yang telah Allah takdirkan.

Ini bukan berarti kita dilarang berusaha atau memiliki himmah. Justru Islam mendorong kita untuk berusaha dan memiliki cita-cita yang tinggi. Namun, kalam ini mengajarkan kita tentang sikap hati yang benar dalam menghadapi hasil dari usaha tersebut. Kita harus berusaha sekuat tenaga, tetapi hati harus tetap bersandar pada takdir Allah dan ridha terhadap apa pun hasilnya.

Jika seseorang memiliki himmah yang sangat kuat dan berusaha mati-matian namun tidak mencapai apa yang diinginkannya, kalam ini mengajarkan agar ia tidak putus asa atau menyalahkan diri sendiri secara berlebihan. Sebaliknya, ia harus menyadari bahwa ada takdir Allah yang sedang berlaku. Ini menumbuhkan sikap tawakal yang sejati dan ridha terhadap ketetapan Allah.

Ayat Al-Qur'an yang Relevan

Surah Ar-Ra'd (13): Ayat 38

وَلِكُلِّ أَجَلٍ كِتَابٌ

Terjemah:

"Setiap sesuatu ada ketentuannya (waktu dan batasannya)."

Relevansi:

Ayat ini secara singkat namun padat menegaskan bahwa segala sesuatu di alam semesta ini, termasuk peristiwa, nasib, dan takdir manusia, telah memiliki batasan dan ketentuan yang telah dituliskan oleh Allah. Ini sejalan dengan konsep "benteng-benteng takdir" yang tidak dapat ditembus oleh himmah manusia. Keinginan sekuat apapun tidak akan bisa mempercepat atau menunda ajal (waktu) yang telah ditetapkan.

Surah Al-Qamar (54): Ayat 49

إِنَّا كُلَّ شَيْءٍ خَلَقْنَاهُ بِقَدَرٍ

Terjemah:

"Sungguh, Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran (ketetapan)."

Relevansi:

Ayat ini secara eksplisit menyatakan bahwa segala sesuatu diciptakan dengan kadar atau ukuran yang telah ditentukan oleh Allah. Ini adalah fondasi dari konsep takdir. Usaha dan keinginan manusia berada dalam kerangka takdir ini. Kita berusaha dalam batas-batas yang telah Allah tetapkan, dan hasilnya pun adalah bagian dari ukuran tersebut.

Hadis yang Sejalan

Hadis Riwayat Muslim:

Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda:

"الْمُؤْمِنُ الْقَوِيُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ وَفِي كُلٍّ خَيْرٌ احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلَا تَعْجَزْ وَإِنْ أَصَابَكَ شَيْءٌ فَلَا تَقُلْ لَوْ أَنِّي فَعَلْتُ كَذَا لَكَانَ كَذَا وَكَذَا وَلَكِنْ قُلْ قَدَرُ اللَّهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ."

Terjemah:

"Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada mukmin yang lemah, dan pada keduanya ada kebaikan. Bersungguh-sungguhlah dalam meraih apa yang bermanfaat bagimu, mohonlah pertolongan kepada Allah, dan janganlah merasa lemah. Jika sesuatu menimpamu, janganlah engkau berkata, 'Seandainya aku berbuat demikian, pasti akan terjadi demikian dan demikian.' Tetapi katakanlah, 'Ini adalah takdir Allah, dan apa yang Dia kehendaki pasti Dia lakukan.' Karena sesungguhnya (kata) 'seandainya' itu membuka pintu bagi perbuatan setan."

Relevansi

Hadis ini adalah penjelas sempurna dari kalam hikmah ketiga. Rasulullah SAW mendorong kita untuk memiliki himmah (bersungguh-sungguh dalam meraih apa yang bermanfaat) dan berusaha (mohon pertolongan kepada Allah dan jangan lemah). Namun, beliau juga mengajarkan tentang sikap setelah hasil, terutama jika tidak sesuai harapan: jangan menyesali "seandainya" (yang menunjukkan ketidakridhaan terhadap takdir), melainkan katakan "Ini adalah takdir Allah, dan apa yang Dia kehendaki pasti Dia lakukan." Ini menunjukkan bahwa himmah memang penting, tetapi ia tidak akan mampu menembus atau mengubah takdir. Ridha terhadap takdir adalah puncak kekuatan seorang mukmin.

Pengalaman Para Anbiya, Ulama, dan Auliya

1. Para Anbiya (Nabi-Nabi):

 * Nabi Nuh AS: Beliau berdakwah selama 950 tahun dengan himmah dan kesabaran luar biasa. Beliau membangun bahtera sesuai perintah Allah. Namun, pada akhirnya, hanya sedikit yang beriman, dan bahkan putranya sendiri termasuk yang ingkar. Himmah beliau tidak dapat mengubah takdir orang-orang yang telah Allah tetapkan untuk tidak beriman. Beliau tetap ridha dengan ketetapan Allah.

 * Nabi Ibrahim AS: Beliau memiliki himmah yang kuat untuk berdakwah kepada kaumnya dan menghancurkan berhala. Namun, kaumnya tetap membakar beliau. Takdir Allah adalah menyelamatkan beliau dari api. Ini menunjukkan bahwa meskipun himmah beliau untuk mengubah kaumnya tidak terwujud sepenuhnya, takdir Allah-lah yang menentukan keselamatan dirinya.

 * Nabi Muhammad SAW: Beliau memiliki himmah yang tak terhingga untuk membimbing seluruh umat manusia menuju Islam. Beliau berjuang, berkorban, menghadapi berbagai rintangan. Namun, takdir Allah menetapkan bahwa tidak semua orang akan beriman. Paman beliau, Abu Thalib, misalnya, tidak beriman hingga akhir hayatnya, meskipun Nabi SAW sangat menginginkannya. Ayat Al-Qur'an menegaskan: "Sungguh, engkau (Muhammad) tidak dapat memberi petunjuk kepada orang yang engkau kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang Dia kehendaki." (QS. Al-Qasas: 56). Ini adalah contoh nyata bahwa himmah Nabi tidak menembus benteng takdir hidayah.

2. Para Ulama:

 * Imam Ahmad bin Hanbal: Beliau memiliki himmah yang kuat dalam mempertahankan akidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah ketika terjadi fitnah Khalqul Qur'an (Al-Qur'an itu makhluk). Beliau dihukum cambuk dan dipenjara. Meskipun himmah beliau sangat tinggi, takdir Allah adalah beliau harus melewati penderitaan itu. Namun, pada akhirnya, kebenaran yang beliau perjuangkan tetap menang. Beliau ridha dengan ujian tersebut sebagai bagian dari takdir Allah.

 * Imam Syafi'i: Beliau memiliki himmah yang besar dalam menuntut ilmu dan menyebarkannya. Beliau melakukan perjalanan jauh, belajar dari banyak guru. Namun, takdir Allah menetapkan usia beliau yang relatif singkat. Meskipun demikian, himmah beliau dalam menyusun mazhab dan menyebarkan ilmu tetap menghasilkan manfaat luar biasa yang abadi hingga kini. Beliau menerima takdir ajalnya dengan ridha.

3. Para Auliya (Wali-Wali Allah)

 * Banyak Auliya yang memiliki himmah besar dalam berdakwah, mendidik umat, atau mencapai maqam spiritual tertentu. Mereka berusaha keras, beribadah tiada henti, dan berjuang melawan hawa nafsu. Namun, hasil dari dakwah mereka, jumlah murid, atau tingkat karamah yang Allah berikan, semuanya adalah bagian dari takdir. Seorang wali mungkin memiliki himmah untuk membawa semua orang di lingkungannya beriman, tetapi takdir Allah mungkin hanya menetapkan sebagian kecil yang mendapatkan hidayah melalui dirinya. Mereka tetap tawakal dan ridha, memahami bahwa himmah adalah ikhtiar, sementara takdir adalah ketentuan.

Aplikasi di Zaman Sekarang

Kalam hikmah ini sangat fundamental untuk membentuk mentalitas yang sehat dan spiritual di zaman sekarang:

 * Mengelola Harapan dan Ekspektasi: Di era yang serba kompetitif dan penuh tekanan, banyak orang memiliki himmah yang sangat tinggi untuk mencapai kesuksesan finansial, karier gemilang, atau tujuan pribadi lainnya. Namun, ketika harapan tidak tercapai, mereka mudah frustrasi, stres, bahkan depresi. Kalam ini mengajarkan kita untuk berusaha semaksimal mungkin, tetapi juga melepaskan diri dari keterikatan pada hasil. Sadari bahwa ada takdir Allah yang Maha Kuasa. Ini membantu kita mengelola ekspektasi dan menjaga kesehatan mental.

 * Mencegah Putus Asa atau Over-Optimisme yang Keliru: Himmah yang tidak memahami batas takdir bisa berujung pada putus asa ekstrem saat gagal, atau over-optimisme buta yang mengabaikan realitas. Kalam ini mengajarkan keseimbangan: berusaha keraslah seolah-olah segalanya bergantung padamu, tetapi bertawakallah seolah-olah segalanya bergantung pada Allah.

 * Meningkatkan Ridha dan Tawakal: Dalam menghadapi musibah, kegagalan bisnis, atau kondisi yang tidak sesuai keinginan, kalam ini mengingatkan kita untuk tidak meratapi "seandainya". Menerima bahwa ini adalah takdir Allah ("benteng takdir") akan menumbuhkan rasa ridha dan tawakal yang mendalam, yang merupakan puncak kekuatan batin seorang mukmin.

 * Fokus pada Proses, Bukan Hanya Hasil: Karena hasil akhir di tangan Allah, kalam ini mendorong kita untuk lebih fokus pada kualitas himmah dan usaha kita, yaitu niat yang tulus, kerja keras yang halal, dan ikhtiar yang maksimal. Kewajiban kita adalah berusaha, bukan menjamin hasil. Ini membebaskan kita dari beban mental yang berlebihan.

 * Memahami Batasan Manusia: Di zaman yang sangat menekankan empowerment dan "kamu bisa melakukan apa saja", kalam ini memberikan perspektif yang lebih realistis: ada batasan-batasan manusiawi di hadapan kekuasaan ilahi. Ini bukan untuk membuat kita pesimis, tetapi untuk membuat kita tawadhu' dan mengakui keagungan Allah. Kita adalah hamba, bukan penentu mutlak.

Kesimpulan

Kalam hikmah ketiga dari Kitab Al-Hikam, "Keinginan-keinginan kuat (himmah) tidak akan dapat menembus benteng-benteng takdir," adalah sebuah pengingat yang agung tentang batas-batas kemampuan manusia di hadapan kekuasaan Allah SWT. Ini bukan pesan untuk berpasrah diri tanpa usaha, melainkan sebuah seruan untuk memiliki himmah yang tinggi disertai dengan tawakal dan ridha yang sempurna.

Dari Al-Qur'an dan Hadis, kita diperintahkan untuk berusaha keras namun tetap menyerahkan hasilnya kepada Allah, serta ridha terhadap segala ketetapan-Nya. Pengalaman para Anbiya, Ulama, dan Auliya juga memperkuat pemahaman ini: mereka memiliki himmah luar biasa, berjuang tiada henti, namun tetap tunduk pada takdir ilahi, baik itu dalam hal hidayah, kemenangan, maupun ujian hidup.

Di era modern, di mana ekspektasi sering kali melampaui realitas, hikmah ini adalah penawar bagi jiwa yang gelisah. Ia membantu kita mengelola harapan, mencegah keputusasaan akibat kegagalan, dan menumbuhkan ketenangan batin yang sejati. Dengan memahami bahwa himmah kita adalah ikhtiar dan takdir adalah ketentuan, kita dapat menjalani hidup dengan semangat perjuangan yang membara, namun tetap dengan hati yang damai dan berserah diri sepenuhnya kepada Sang Pencipta.



Share:

01 Agustus 2025

Keutamaan Hari Jumat: Pintu Rahmat dan Amalan Berlipat Ganda



Hari Jumat adalah hari yang istimewa dalam Islam, bahkan dianggap sebagai "sayyidul ayyam" atau rajanya hari. Keistimewaan hari ini tidak hanya tercantum dalam Al-Qur'an dan hadis Nabi Muhammad ﷺ, tetapi juga diamini oleh para ulama. Jumat menjadi waktu yang penuh berkah, di mana setiap amalan baik dilipatgandakan pahalanya dan doa-doa lebih mudah dikabulkan.
Dalil Keutamaan Hari Jumat
Keutamaan hari Jumat telah ditegaskan dalam Al-Qur'an, terutama dalam Surah Al-Jumu'ah. Allah berfirman:

 يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَىٰ ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ
 إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

Terjemahan:
"Wahai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk melaksanakan salat pada hari Jumat, maka bersegeralah kamu mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui." (QS. Al-Jumu'ah: 9)
Ayat ini secara jelas memerintahkan umat Islam untuk meninggalkan aktivitas duniawi dan bergegas menuju masjid untuk menunaikan salat Jumat. Perintah ini menunjukkan betapa pentingnya ibadah pada hari tersebut.
Selain Al-Qur'an, banyak hadis yang juga menguatkan keistimewaan hari Jumat. Salah satunya adalah sabda Rasulullah ﷺ:
 خَيْرُ يَوْمٍ طَلَعَتْ فِيهِ الشَّمْسُ يَوْمُ الْجُمُعَةِ، فِيهِ خُلِقَ آدَمُ، وَفِيهِ أُدْخِلَ الْجَنَّةَ، وَفِيهِ أُخْرِجَ مِنْهَا، وَلَا تَقُومُ السَّاعَةُ إِلَّا فِي يَوْمِ الْجُمُعَةِ
 
Terjemahan:
"Sebaik-baik hari di mana matahari terbit di dalamnya adalah hari Jumat. Pada hari itu, Adam diciptakan, pada hari itu ia dimasukkan ke surga, dan pada hari itu pula ia dikeluarkan dari surga. Dan tidak akan terjadi hari kiamat kecuali pada hari Jumat." (HR. Muslim)
Hadis ini menunjukkan bahwa peristiwa-peristiwa besar dalam sejarah manusia, mulai dari penciptaan Adam hingga hari kiamat, terjadi pada hari Jumat. Hal ini menambah kemuliaan dan keagungan hari tersebut.
Amalan-Amalan yang Dianjurkan pada Hari Jumat
Para ulama sepakat bahwa ada beberapa amalan sunah yang sangat dianjurkan untuk dikerjakan pada hari Jumat. Amalan-amalan ini tidak hanya membersihkan diri secara fisik, tetapi juga secara spiritual.

1. Memperbanyak Selawat kepada Nabi Muhammad ﷺ
Berselawat pada hari Jumat memiliki keutamaan yang luar biasa. Rasulullah ﷺ bersabda:
 أَكْثِرُوا عَلَيَّ مِنَ الصَّلاَةِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ، فَإِنَّ صَلاَتَكُمْ مَعْرُوضَةٌ عَلَيَّ

Terjemahan:
"Perbanyaklah selawat kepadaku pada hari Jumat, karena sesungguhnya selawat kalian akan disampaikan kepadaku." (HR. Abu Daud)
Para ulama seperti Imam Syafi'i sangat menekankan amalan ini, menganjurkan umatnya untuk memperbanyak selawat, terutama pada malam dan siang hari Jumat.

2. Membaca Surah Al-Kahfi
Membaca Surah Al-Kahfi pada hari Jumat merupakan amalan yang sangat dianjurkan. Rasulullah ﷺ bersabda:
 مَنْ قَرَأَ سُورَةَ الْكَهْفِ فِي يَوْمِ الْجُمُعَةِ، أَضَاءَ لَهُ مِنَ النُّورِ مَا بَيْنَ الْجُمُعَتَيْنِ

Terjemahan:
"Barang siapa membaca Surah Al-Kahfi pada hari Jumat, maka akan memancar cahaya baginya antara dua Jumat." (HR. Hakim)
Cahaya ini, menurut para ulama, bisa diartikan sebagai bimbingan spiritual atau perlindungan dari fitnah, khususnya fitnah Dajjal.

3. Mandi dan Berpakaian Bersih
Menjaga kebersihan fisik adalah sunah yang sangat ditekankan pada hari Jumat. Rasulullah ﷺ bersabda:
 غُسْلُ يَوْمِ الْجُمُعَةِ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُحْتَلِمٍ، وَيَسْتَاكُ، وَيَمَسُّ مِنَ الطِّيبِ مَا قَدَرَ عَلَيْهِ

Terjemahan:
"Mandi pada hari Jumat adalah wajib bagi setiap orang yang baligh, hendaknya ia bersiwak, dan memakai wangi-wangian jika ia memilikinya." (HR. Bukhari dan Muslim)
Selain mandi, dianjurkan juga untuk mengenakan pakaian terbaik dan bersih, serta memakai wangi-wangian saat hendak pergi ke masjid.

4. Menyegerakan Pergi ke Masjid dan Mendengarkan Khotbah
Datang lebih awal ke masjid untuk salat Jumat memiliki keutamaan yang besar. Rasulullah ﷺ memberikan perumpamaan pahala seperti bersedekah unta bagi yang datang paling awal, hingga bersedekah telur bagi yang datang di akhir.
 إِذَا كَانَ يَوْمُ الْجُمُعَةِ كَانَ عَلَى كُلِّ بَابٍ مِنْ أَبْوَابِ الْمَسْجِدِ مَلَائِكَةٌ يَكْتُبُونَ الْأَوَّلَ فَالْأَوَّلَ، فَإِذَا جَلَسَ الْإِمَامُ طَوَوْا الصُّحُفَ وَدَخَلُوا يَسْتَمِعُونَ الذِّكْرَ

Terjemahan:
"Jika tiba hari Jumat, maka di setiap pintu masjid ada malaikat yang mencatat orang yang datang pertama dan berikutnya. Jika imam sudah duduk (di mimbar), mereka melipat lembaran catatan dan masuk untuk mendengarkan khotbah." (HR. Bukhari dan Muslim)
Mendengarkan khotbah dengan seksama dan tidak berbicara adalah syarat sahnya salat Jumat dan merupakan adab yang penting.

Kesimpulan 
Hari Jumat adalah hari yang istimewa, hari penuh rahmat dan ampunan. Ia bukan hanya sekadar akhir pekan, tetapi juga waktu di mana kita dapat membersihkan diri, menguatkan iman, dan memohon ampunan dari Allah.
Mari kita jadikan setiap hari Jumat sebagai momen untuk lebih mendekatkan diri kepada-Nya. Penuhi hari Jumat kita dengan amalan-amalan sunah: perbanyak selawat, baca Surah Al-Kahfi, bersihkan diri, dan bersegeralah ke masjid.
Jangan sia-siakan kesempatan emas ini. Sesungguhnya, kebaikan yang kita tanam pada hari Jumat akan berbuah kebaikan yang tak terhingga. Jadikan Jumat sebagai pengingat, bahwa kehidupan ini adalah ladang amal, dan Jumat adalah hari panen yang paling subur. Semoga kita semua termasuk orang-orang yang senantiasa memanfaatkan setiap Jumat dengan sebaik-baiknya.

Share:

Kalam #2 : Kajian Kitab Al-Hikam


إِرَادَتُكَ التَّجْرِيدَ مَعَ إِقَامَةِ اللَّهِ إِيَّاكَ فِي الأَسْبَابِ مِنَ الشَّهْوَةِ الْخَفِيَّةِ. وَإِرَادَتُكَ الأَسْبَاب

 مَعَ إِقَامَةِ اللَّهِ إِيَّاكَ فِي التَّجْرِيدِ انْحِطَاطٌ عَنِ هِمَّةِ الْعَالِيَةِ



Terjemah:

"Keinginanmu untuk bebas dari sebab-akibat (tajrid) padahal Allah menempatkanmu dalam sebab-akibat (asbab) adalah termasuk syahwat tersembunyi. Dan keinginanmu untuk berada dalam sebab-akibat (asbab) padahal Allah menempatkanmu dalam tajrid adalah kemunduran dari cita-cita yang luhur."

Penjelasan:

Kalam hikmah kedua ini membahas tentang penempatan diri seorang hamba oleh Allah SWT, baik dalam posisi asbab (terikat dengan sebab-akibat, melakukan usaha lahiriah) maupun tajrid (bebas dari sebab-akibat, fokus sepenuhnya pada ibadah dan kepasrahan batiniah tanpa perlu usaha lahiriah yang banyak). Imam Ibnu Atha'illah ingin menegaskan bahwa seorang salik (penempuh jalan spiritual) harus menerima dan ridha dengan apa yang telah Allah tetapkan baginya.

 * Asbab (sebab-akibat): Merujuk pada kehidupan duniawi yang mengharuskan kita untuk bekerja, berusaha, berinteraksi sosial, dan melakukan segala bentuk aktivitas yang terikat pada hukum sebab-akibat. Sebagian besar manusia berada dalam posisi ini.

 * Tajrid (bebas dari sebab-akibat): Merujuk pada kondisi di mana seorang hamba dibebaskan dari keharusan untuk bekerja atau berusaha keras secara lahiriah karena Allah telah menjamin rezekinya atau menempatkannya dalam posisi untuk fokus total pada ibadah, dzikir, dan tafakur. Ini adalah anugerah khusus bagi sebagian kecil hamba-Nya.

Pesan utama dari kalam hikmah ini adalah bahwa kita tidak boleh memaksakan kehendak kita sendiri dalam memilih antara asbab dan tajrid, melainkan harus menerima dan beradaptasi dengan posisi yang Allah tempatkan untuk kita.

 * Jika Allah menempatkan kita dalam asbab (misalnya, sebagai pekerja, pengusaha, pelajar), lalu kita ingin sepenuhnya fokus beribadah di masjid tanpa bekerja, ini adalah syahwat tersembunyi. Mengapa? Karena itu adalah keinginan egois yang tidak selaras dengan takdir Allah dan bisa jadi bentuk kemalasan yang dibungkus ibadah.

 * Jika Allah menempatkan kita dalam tajrid (misalnya, seseorang yang Allah berikan rezeki tanpa harus bekerja keras, atau seorang ulama yang fokus mengajarkan ilmu), lalu ia malah sibuk mengejar harta duniawi secara berlebihan, ini adalah kemunduran dari cita-cita luhur. Ia menyia-nyiakan anugerah Allah berupa kesempatan untuk lebih dekat dengan-Nya.

Kalam ini mengajarkan pentingnya ridha pada ketetapan Allah dan memahami hikmah di balik setiap penempatan kita dalam hidup.

Ayat Al-Qur'an yang Relevan:

Surah Al-Isra' (17): Ayat 84

قُلْ كُلٌّ يَعْمَلُ عَلَىٰ شَاكِلَتِهِ ۖ فَرَبُّكُمْ أَعْلَمُ بِمَنْ هُوَ أَهْدَىٰ سَبِيلًا

Terjemah:

"Katakanlah (Muhammad), 'Setiap orang berbuat menurut pembawaannya masing-masing.' Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya."

Relevansi:

Ayat ini dapat diinterpretasikan bahwa setiap individu memiliki 'pembawaan' atau takdir serta jalan hidup yang telah Allah tetapkan. Ada yang dibentuk untuk berada di jalan asbab dengan segala usahanya, ada pula yang dibentuk untuk tajrid dengan fokus pada spiritualitas. Kita harus menerima 'pembawaan' atau posisi yang Allah berikan kepada kita, karena Dialah yang Maha Tahu mana jalan terbaik bagi kita.

Surah Al-Qasas (28): Ayat 77

وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ ۖ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا ۖ وَأَحْسِن كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ ۖ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ ۖ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ

Terjemah:

"Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan."

Relevansi:

Ayat ini dengan indah menyeimbangkan antara asbab (mencari bagian dari kenikmatan duniawi) dan tajrid (mencari kebahagiaan akhirat). Ia menegaskan bahwa seorang Muslim tidak boleh sepenuhnya meninggalkan dunia (yang termasuk dalam kategori asbab) jika Allah menempatkannya di sana, tetapi juga tidak boleh melupakan tujuan akhirat. Ini menunjukkan pentingnya menyeimbangkan kehidupan dunia dan akhirat sesuai dengan posisi yang Allah berikan.

Hadis yang Sejalan:

Hadis Riwayat Tirmidzi dan Ibnu Majah:

Dari Anas bin Malik RA, seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah SAW, "Apakah aku ikat untaku lalu aku bertawakal, atau aku lepas lalu aku bertawakal?" Rasulullah SAW menjawab, "Ikatlah untamu, kemudian bertawakallah."

Relevansi:

Hadis ini adalah contoh paling jelas tentang pentingnya melakukan asbab (usaha lahiriah) sebelum bertawakal. Ini menunjukkan bahwa Allah menghendaki kita untuk berusaha sesuai dengan kemampuan kita (mengikat unta), dan setelah itu barulah kita menyerahkan hasilnya kepada-Nya (bertawakal). Ini menolak gagasan tajrid yang salah, di mana seseorang mengabaikan sebab-akibat padahal ia mampu untuk berusaha.

Pengalaman Para Anbiya, Ulama, dan Auliya:

1. Para Anbiya (Nabi-Nabi):

 * Nabi Muhammad SAW: Beliau adalah contoh sempurna. Meskipun seorang Nabi dan Kekasih Allah, beliau tetap menjalankan asbab. Beliau berdagang, berperang, menggembala kambing, dan memimpin umat. Beliau tidak menunggu rezeki turun dari langit tanpa usaha. Ini menunjukkan bahwa asbab adalah jalan yang mulia jika dijalankan dengan niat yang benar.

 * Nabi Daud AS: Beliau adalah seorang raja sekaligus nabi, namun tetap mencari nafkah dengan membuat baju besi. Ini adalah bentuk asbab yang tidak mengurangi kemuliaan kenabiannya, justru menunjukkan keteladanan.

 * Nabi Musa AS: Beliau bekerja menggembalakan kambing untuk Nabi Syu'aib AS selama bertahun-tahun. Ini juga merupakan bentuk asbab yang dijalani oleh seorang nabi.

2. Para Ulama:

 * Imam Abu Hanifah: Beliau adalah seorang ulama besar sekaligus seorang pedagang kain yang sukses. Beliau tidak meninggalkan perdagangannya demi ilmu atau ibadah, melainkan menjalankan keduanya dengan seimbang, menunjukkan penerapan asbab dalam kehidupan seorang ulama.

 * Imam Malik: Beliau dikenal sebagai ulama yang sangat fokus pada ilmu dan pengajaran di Madinah. Beliau tidak mencari nafkah dari berdagang atau bertani, karena Allah telah menempatkannya dalam tajrid dengan mencukupkan rezekinya melalui cara lain (misalnya warisan atau hadiah). Beliau tidak mencari asbab yang tidak diperlukan.

3. Para Auliya (Wali-Wali Allah):

 * Syekh Abdul Qadir Al-Jailani: Meskipun beliau adalah seorang wali besar yang sangat tinggi maqamnya, beliau tetap mengajar, memberikan fatwa, dan membimbing umat. Ini adalah bentuk asbab dalam dakwah dan pendidikan. Beliau tidak lari dari tanggung jawab sosialnya.

 * Beberapa wali yang dikenal dengan tajrid-nya: Ada beberapa wali yang Allah karuniai rezeki tanpa perlu bekerja keras, sehingga mereka bisa sepenuhnya fokus pada dzikir, ibadah, dan merenung. Namun, ini adalah anugerah khusus dari Allah dan bukan sesuatu yang bisa dicari atau dipaksakan oleh semua orang. Mereka yang berada di posisi ini tidak lantas mencari-cari pekerjaan duniawi jika hal itu mengganggu fokus spiritual mereka.

Aplikasi di Zaman Sekarang:

Kalam hikmah ini sangat relevan dan memberikan panduan penting dalam menghadapi tantangan kehidupan modern:

 * Menerima Peran Kita: Di zaman sekarang, banyak orang merasa tidak puas dengan pekerjaan atau posisi hidup mereka. Kalam ini mengajarkan kita untuk ridha dan ikhlas dengan takdir Allah. Jika kita ditempatkan sebagai pekerja keras, lakukanlah dengan sebaik-baiknya, niatkan sebagai ibadah, dan jangan mengharapkan hidup yang "santai" seperti para sufi yang tajrid jika Allah tidak menempatkan kita di sana.

 * Menghargai Kerja Keras (Asbab): Kalam ini memerangi mentalitas malas atau "instan" yang ingin kaya tanpa usaha. Ia menegaskan bahwa bagi kebanyakan kita, asbab adalah jalan yang Allah inginkan. Bekerja keras, mencari nafkah halal, dan berkontribusi kepada masyarakat adalah bagian dari ibadah. Jangan mencari kemalasan dengan dalih ingin fokus ibadah.

 * Menghindari Kehilangan Fokus (Tajrid): Sebaliknya, bagi mereka yang mungkin memiliki kelebihan rezeki atau waktu luang, atau yang Allah karuniai kemampuan untuk fokus pada ilmu dan spiritualitas (seperti para ulama atau guru agama), kalam ini mengingatkan untuk tidak menyia-nyiakan anugerah tersebut dengan terlalu larut dalam urusan duniawi yang tidak perlu. Jangan menurunkan cita-cita luhur (mendekat kepada Allah) demi hal-hal duniawi yang remeh.

 * Keseimbangan Hidup: Kalam ini mengajarkan pentingnya keseimbangan. Bagi sebagian besar orang, hidup adalah perpaduan antara asbab dan tajrid. Kita bekerja dan berusaha (asbab), tetapi juga harus meluangkan waktu untuk ibadah, dzikir, dan merenung (bagian dari tajrid). Jangan sampai salah satu mendominasi secara tidak proporsional sehingga merugikan yang lain, kecuali memang Allah menempatkan kita pada salah satu posisi secara ekstrem.

 * Memahami Qada dan Qadar: Memahami kalam ini membantu kita lebih menerima qada dan qadar (ketetapan Allah). Jika kita ditempatkan dalam kesulitan atau harus berjuang keras, itu adalah asbab kita. Jika kita diberi kemudahan, itu adalah anugerah tajrid sebagian. Keduanya adalah bentuk ujian dan jalan menuju Allah.

Kesimpulan:

Kalam hikmah kedua Kitab Al-Hikam, "Keinginanmu untuk bebas dari sebab-akibat (tajrid) padahal Allah menempatkanmu dalam sebab-akibat (asbab) adalah termasuk syahwat tersembunyi. Dan keinginanmu untuk berada dalam sebab-akibat (asbab) padahal Allah menempatkanmu dalam tajrid adalah kemunduran dari cita-cita yang luhur," adalah panduan esensial tentang ridha terhadap penempatan ilahi dan keseimbangan dalam beramal.

Ia mengajarkan kita untuk tidak memaksakan diri pada kondisi yang tidak Allah takdirkan, baik itu keinginan untuk meninggalkan usaha duniawi padahal kita ditempatkan untuk berusaha, maupun keinginan untuk kembali pada kesibukan duniawi padahal kita diberi kesempatan untuk fokus spiritual.

Melalui Al-Qur'an, Hadis, serta teladan para Anbiya, Ulama, dan Auliya, kita belajar bahwa keutamaan sejati terletak pada keselarasan hati dan tindakan dengan kehendak Allah. Di zaman yang serba menuntut ini, hikmah ini membantu kita menemukan ketenangan dalam menerima peran kita, bersemangat dalam usaha yang halal, dan menjaga fokus spiritual tanpa melampaui batas atau melalaikan tanggung jawab. Ini adalah kunci untuk menjalani hidup yang penuh makna dan keberkahan, sesuai dengan rencana terbaik dari Allah SWT.


Share:

Indahnya Kejujuran, Buruknya Kebohongan

   اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ الَّذِيْ أَنْعَمَنَا بِنِعْمَةِ الْاِيْمَانِ وَالْاِسْلَامِ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلٰى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ خَيْرِ الْأَنَامِ، وَعَلٰى اٰلِهِ وَأَصْحَابِهِ الْكِرَامِ، أَشْهَدُ اَنْ لَا اِلٰهَ اِلَّا اللهُ الْمَلِكُ الْقُدُّوْسُ السَّلَامُ وَأَشْهَدُ اَنَّ سَيِّدَنَا وَحَبِيْبَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ صَاحِبُ الشَّرَفِ وَالْإِحْتِرَام، أَمَّا بَعْدُ: فَيَاعِبَادَ اللهِ، اِتَّقُوا اللّٰهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوْتُنَّ اِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ، قَالَ اللّٰهُ تَعَالَى فِي الْقُرْاٰنِ الْعَظِيْمِ. أَعُوْذُ بِاللّٰهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ إِنَّما يَفتَرِي الكَذِبَ الَّذينَ لا يُؤمِنونَ بِآياتِ اللَّـهِ وَأُولـئِكَ هُمُ الكاذِبون

Hadirin yang dirahmati Allah, Khatib mengajak jamaah sekalian dan diri khatib pribadi, agar kita senantiasa meningkatkan ketakwaan kepada Allah SWT, dengan sebenar-benarnya takwa. Takwa adalah kunci utama bagi keselamatan dunia dan akhirat, dan hanya dengan ketakwaan kita dapat memperoleh ridha Allah SWT. Semoga kita semua termasuk hamba-hamba yang senantiasa berada di jalan yang benar.

Pada kesempatan yang penuh berkah ini, khatib ingin mengajak kita semua untuk merenungi dan memahami salah satu perbuatan yang berujung kepada dosa, yaitu berbohong. Berbohong bukan hanya perbuatan tercela, tetapi juga dapat membawa keburukan yang luas, baik bagi individu maupun masyarakat.   Jamaah sekalian, Islam menempatkan kejujuran sebagai salah satu prinsip utama yang harus dijaga oleh setiap Muslim. Sebaliknya, kebohongan adalah salah satu ciri orang-orang munafik. Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW bersabda:

  آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلَاثٌ، إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ

Artinya, “Tanda-tanda orang munafik ada tiga: jika berbicara ia berdusta, jika berjanji ia ingkar, dan jika diberi amanah ia berkhianat.” (HR Bukhari dan Muslim).

Hadirin yang dirahmati Allah, Berbohong dapat dilakukan dalam berbagai bentuk, baik secara lisan, tulisan, maupun tindakan. Bahkan dalam masa sekarang ini, kita sering menyaksikan kebohongan tersebar luas melalui media sosial. Namun, apa pun bentuknya, berbohong tetaplah perbuatan yang tercela dan harus kita jauhi bersama. Rasulullah SAW pernah bersabda:

  مَا كَانَ خُلُقٌ أبغَضَ إلَى رَسُوْلِ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – مِنَ الكَذِبِ، ولَقَد كَانَ الرَّجُلُ يَكذِبُ عِندَ رَسُوْلِ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – الكَذْبَةَ، فما يزالُ فى نَفْسِهِ عَلَيه حَتَّى يَعَلَمَ أنَّه قَد أحدَثَ مِنْهَا تَوبَةً

Artinya, “Tidak ada akhlak yang lebih dibenci oleh Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- selain kebohongan. Sungguh, apabila seseorang berbohong di hadapan Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, maka hal itu akan terus membekas di hatinya (Rasulullah) hingga dia mengetahui bahwa orang tersebut telah bertobat darinya.” (HR Al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra).

Berbohong itu bertentangan dengan fitrah manusia yang sebenarnya diciptakan Allah untuk mencintai kebenaran. Ketika seseorang berbohong, dia merusak hati nuraninya sendiri. Selain itu, berbohong juga berdampak buruk pada fisik dan psikologi. Misalnya, saat berbohong, detak jantung bisa meningkat, muncul keringat dingin, atau merasa gugup. Reaksi ini menunjukkan bahwa kebohongan tidak sesuai dengan sistem alami tubuh kita. Lebih dari itu, berbohong dapat menimbulkan efek domino. Seseorang yang terbiasa berbohong akan sulit dipercaya oleh orang lain. Rasulullah SAW bersabda:

  إِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الْفُجُورِ، وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِي إِلَى النَّارِ، وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَكْذِبُ، وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ، حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ كَذَّابًا، وَعَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ، فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى الْبِرِّ، وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِي إِلَى الْجَنَّةِ، وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ، حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ صِدِّيقًا

Artinya, “Hati-hatilah kalian terhadap kebohongan, karena sesungguhnya kebohongan membawa kepada kejahatan, dan kejahatan membawa ke neraka. Seseorang yang terus-menerus berbohong dan berusaha untuk berbohong, akan dicatat di sisi Allah sebagai seorang pembohong. Sebaliknya, berpegang teguhlah pada kejujuran, karena sesungguhnya kejujuran membawa kepada kebajikan, dan kebajikan membawa ke surga. Seseorang yang selalu berkata jujur dan berusaha untuk jujur, akan dicatat di sisi Allah sebagai seorang yang sangat jujur.” (HR. Bukhari).

Syekh Ibnu Ruslan dalam Syarh Sunan Abi Dawud jilid 19 halaman 131 menjelaskan, kebiasaan berbohong ini tidak hanya membuat seseorang dikenal sebagai pembohong di dunia, tetapi juga di hadapan Allah dan para malaikat. Bahkan, jika ia berkata jujur setelah itu, orang-orang tetap sulit mempercayainya. Maka dari itu, sangat penting bagi kita untuk menghindari kebohongan sekecil apa pun, karena dampaknya sangat buruk, baik bagi diri sendiri apalagi bagi orang lain.

Hadirin yang dirahmati Allah, Selain merugikan diri sendiri, kebohongan juga dapat merusak hubungan sosial. Ketika seseorang berbohong untuk menutupi kesalahan, ia sebenarnya sedang menanam benih ketidakpercayaan di tengah-tengah masyarakat. Bahkan dalam banyak kasus, kebohongan bisa menjadi penyebab utama perpecahan dan konflik. Oleh karena itu, Allah SWT mengingatkan kita agar senantiasa menjaga kejujuran dalam segala hal:

  يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَقُوْلُوْا قَوْلًا سَدِيْدًاۙ ۝٧٠

Artinya, “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang benar.” (QS Al-Ahzab: 70).   Kejujuran adalah sifat yang mendekatkan kita kepada ridlo Allah SWT dan menjauhkan kita dari murka-Nya

Dalam hadits yang telah kami sampaikan di awal tadi Rasulullah menjelaskan keutamaan kejujuran. Orang yang selalu berkata jujur dan berusaha menjaga kejujurannya akan dicatat oleh Allah sebagai shiddîq, yakni seseorang yang memiliki derajat tinggi karena kejujurannya.   Kejujuran tidak hanya mencakup ucapan, tetapi juga niat dan tindakan. Dengan berlaku jujur, seseorang akan lebih mudah melakukan amal kebajikan yang murni, terbebas dari niat buruk, sehingga ia termasuk golongan orang yang beruntung. Pada akhirnya, kebajikan itu akan membawanya kepada rahmat Allah dan surga-Nya. Oleh karena itu, menjaga kejujuran adalah kunci utama untuk meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Namun, ada beberapa keadaan di mana Islam memberikan kelonggaran untuk tidak mengatakan kebenaran secara mutlak, selama itu bertujuan untuk kebaikan. Misalnya, dalam upaya mendamaikan dua pihak yang bertikai, menjaga keharmonisan rumah tangga, atau melindungi nyawa seseorang yang tidak bersalah. Rasulullah SAW bersabda:

  لَيْسَ الْكَذَّابُ الَّذِي يُصْلِحُ بَيْنَ النَّاسِ فَيَنْمِي خَيْرًا أَوْ يَقُولُ خَيْرًا

Artinya, “Tidak dianggap berdusta seseorang yang berkata untuk mendamaikan dua pihak yang berselisih, dia berkata sesuatu yang baik atau menyampaikan kebaikan.” (HR Bukhari dan Muslim).   Akan tetapi, kelonggaran ini harus dipahami dengan bijak dan tidak boleh disalahgunakan. Dalam keadaan normal, kejujuran tetaplah menjadi prioritas utama bagi setiap Muslim.

Hadirin yang dirahmati Allah, Marilah kita jadikan ini sebagai pengingat untuk senantiasa menjaga kejujuran dalam hidup kita. Mari kita hindari segala bentuk kebohongan, baik yang kecil maupun yang besar. Ingatlah bahwa setiap ucapan dan perbuatan kita akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah SWT.

Semoga Allah SWT memberikan kita kekuatan untuk selalu berkata benar dan menjauhkan kita dari sifat dusta.

  بَارَكَ اللّٰهُ لِيْ وَلَكُمْ فِيْ الْقُرْاٰنِ الْكَرِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَاِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الذِّكْرِ الْحَكِيْمِ. اَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا، وَاَسْتَغْفِرُ اللّٰهَ الْعَظِيْمَ لِيْ وَلَكُمْ، وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ مِنْ كُلِّ ذَنْبٍ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ اِنَّهٗ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ

Khutbah II

  اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللّٰهُ. أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللّٰهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ لَا نَبِيَّ بَعْدَهُ. اَللّٰهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ المُجَاهِدِيْنَ الطَّاهِرِيْنَ.  أَمَّا بَعْدُ، فَيَا آيُّهَا الحَاضِرُوْنَ، أُوْصِيْكُمْ وَإِيَّايَ بِتَقْوَى اللّٰهِ وَطَاعَتِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ. يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ، وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى    فَقَدْ قَالَ اللّٰهُ تَعَالَى فِي كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ أَعُوْذُ بِاللّٰهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ، بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ: وَالْعَصْرِ. إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ. إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْر    إِنَّ اللّٰهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا. اللّٰهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيمَ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيمَ، وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيمَ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيمَ، فِى الْعَالَمِينَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ     اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ. اَللّٰهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا الْغَلَاءَ وَالْوَبَاءَ وَالطَّاعُوْنَ وَالْاَمْرَاضَ وَالْفِتَنَ مَا لَا يَدْفَعُهُ غَيْرُكَ عَنْ بَلَدِنَا هٰذَا اِنْدُوْنِيْسِيَّا خَاصَّةً وَعَنْ سَائِرِ بِلَادِ الْمُسْلِمِيْنَ عَامَّةً يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ. رَبَّنَا اٰتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَ فِي الْاٰخِرَةِ حَسَنَةً وَ قِنَا عَذَابَ النَّارِ   عٍبَادَ اللّٰهِ، إِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُ بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتاءِ ذِي اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشاءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ، وَاذْكُرُوا اللّٰهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ، وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ، وَلَذِكْرُ اللّٰهِ أَكْبَرْ

Sumber : nuonline dengan sedikit editing



Share:

Rebo Wekasan: Tradisi dan Tinjauan Agama



Rebo Wekasan, sebuah tradisi yang masih lestari di beberapa daerah di Indonesia, khususnya di Jawa, seringkali menjadi topik perbincangan, baik dari sudut pandang budaya maupun agama. Tradisi ini dilakukan pada hari Rabu terakhir di bulan Safar, bulan kedua dalam kalender Hijriah. Masyarakat yang melaksanakannya meyakini bahwa pada hari tersebut, Allah menurunkan ribuan bala atau bencana ke dunia. Oleh karena itu, mereka melakukan serangkaian amalan untuk menolak bala tersebut. Artikel ini akan mengupas tuntas mengenai Rebo Wekasan, mulai dari asal-usulnya, amalan yang dilakukan, hingga pandangan para ulama dan kitab-kitab yang menjadi rujukannya.

Asal-Usul Tradisi Rebo Wekasan

Rebo Wekasan tidak dapat ditemukan secara eksplisit dalam Al-Qur'an maupun Hadits. Tradisi ini dipercaya berasal dari para ulama dan kiai terdahulu yang berdakwah di Nusantara. Mereka melihat kondisi masyarakat yang masih dipenuhi dengan kepercayaan animisme dan dinamisme, sehingga mereka menciptakan sebuah amalan yang disesuaikan dengan ajaran Islam untuk menolak bala, namun tetap selaras dengan kearifan lokal. Tradisi ini kemudian berkembang dan diwariskan secara turun-temurun.

Salah satu versi yang paling populer mengenai asal-usul Rebo Wekasan adalah kisah dari seorang ulama besar, Syekh Abdul Hamid Kendal, yang menafsirkan sebuah hadis tentang bulan Safar. Dalam tafsirnya, beliau mengemukakan bahwa pada hari Rabu terakhir di bulan Safar, Allah menurunkan bala yang jumlahnya sangat banyak. Namun, tafsir ini kemudian banyak disalahpahami oleh sebagian masyarakat, yang menganggap bahwa Rebo Wekasan adalah hari sial.

Amalan Rebo Wekasan

Amalan yang dilakukan saat Rebo Wekasan sangat beragam, tergantung dari daerah dan keyakinan masing-masing. Namun, pada umumnya, amalan tersebut bertujuan untuk memohon perlindungan kepada Allah dari segala macam bala dan bencana. Beberapa amalan yang umum dilakukan, antara lain:

  1. Shalat Tolak Bala: Shalat ini bukanlah shalat yang diwajibkan, melainkan shalat sunnah yang dilakukan dengan niat khusus untuk menolak bala. Jumlah rakaatnya bervariasi, ada yang 2 rakaat, 4 rakaat, bahkan lebih. Setelah shalat, biasanya dilanjutkan dengan berdoa dan membaca ayat-ayat suci Al-Qur'an.

  2. Berdoa dan Berdzikir: Masyarakat yang melaksanakannya akan memperbanyak doa dan dzikir, terutama membaca doa-doa yang diyakini dapat menolak bala.

  3. Membaca Doa Sapu Jagat: Doa sapu jagat, yaitu "", seringkali dibaca berulang-ulang.

  4. Mandi atau Mencuci Diri: Di beberapa tempat, ada tradisi untuk mandi atau mencuci diri dengan air yang telah diberi ramuan khusus, seperti air kembang tujuh rupa, yang diyakini dapat membersihkan diri dari segala bala.

  5. Sedekah dan Silaturahmi: Masyarakat juga dianjurkan untuk memperbanyak sedekah dan menjalin silaturahmi, karena dua amalan ini diyakini dapat menolak bala.

Apakah Ada Pada Zaman Nabi?

Secara eksplisit, tidak ada hadits yang menjelaskan mengenai Rebo Wekasan. Nabi Muhammad SAW tidak pernah mengajarkan atau menganjurkan amalan khusus pada hari Rabu terakhir di bulan Safar. Bahkan, ada hadits yang justru menolak kepercayaan terhadap hari sial.

Hadits tersebut berbunyi: 

لَا عَدْوَى وَلَا طِيَرَةَ وَلَا هَامَةَ وَلَا صَفَرَ

"Tidak ada penyakit menular (dengan sendirinya), tidak ada ramalan nasib, tidak ada (anggapan) kesialan bulan Safar, dan tidak ada (anggapan) burung hantu (sebagai pertanda buruk)." (HR. Bukhari dan Muslim).

Hadits ini menunjukkan bahwa dalam Islam, tidak ada hari, bulan, atau waktu yang dianggap sial. Semua waktu adalah ciptaan Allah dan memiliki keberkahan. Oleh karena itu, mengkhususkan amalan tertentu pada hari Rebo Wekasan dengan anggapan bahwa hari tersebut adalah hari sial, bertentangan dengan ajaran Nabi SAW.

Pendapat Para Ulama 

Para ulama memiliki pandangan yang beragam mengenai Rebo Wekasan. Secara umum, mereka dapat dikelompokkan menjadi dua kubu:

  • Ulama yang Kontra: Kelompok ulama ini menganggap Rebo Wekasan sebagai bid'ah, yaitu sesuatu yang tidak ada dasar syar'inya dalam Islam. Mereka berpendapat bahwa mengkhususkan amalan pada hari tersebut dengan keyakinan untuk menolak bala adalah sebuah kesesatan, karena hal tersebut tidak diajarkan oleh Nabi SAW. Mereka juga khawatir, tradisi ini akan menjerumuskan masyarakat ke dalam syirik, jika amalan tersebut dilakukan dengan keyakinan yang keliru.

  • Ulama yang Pro: Kelompok ulama ini tidak secara eksplisit mendukung Rebo Wekasan sebagai tradisi yang harus diikuti. Namun, mereka melihat bahwa amalan yang dilakukan pada Rebo Wekasan, seperti shalat, berdoa, bersedekah, dan berdzikir, adalah amalan yang sangat baik dan dianjurkan dalam Islam. Mereka berpendapat, selama amalan tersebut dilakukan dengan niat yang benar, yaitu memohon perlindungan kepada Allah, dan tidak didasari oleh keyakinan yang salah, maka hal tersebut sah-sah saja. Mereka juga beranggapan bahwa tradisi ini dapat menjadi sarana dakwah, untuk mengajak masyarakat agar lebih mendekatkan diri kepada Allah.

Kajian Kitab

  • Kitab yang Kontra: Banyak kitab-kitab fiqih dan hadits yang tidak menyebutkan secara spesifik mengenai Rebo Wekasan. Namun, secara umum, kitab-kitab tersebut menganjurkan umat Islam untuk menjauhi segala bentuk bid'ah dan khurafat (takhayul). Contohnya, Kitab Fathul Bari karya Ibnu Hajar al-Asqalani, yang menjelaskan tentang hadits-hadits Nabi, tidak menyebutkan amalan khusus pada Rebo Wekasan.

  • Kitab yang Pro: Kitab-kitab yang mendukung tradisi ini seringkali berasal dari ulama-ulama sufi yang berdakwah di Nusantara. Contohnya, Kitab An-Nawadir karya Syekh Abdul Hamid Kendal, yang menafsirkan bulan Safar sebagai bulan turunnya bala. Namun, kitab ini bukanlah kitab fiqih yang menjadi rujukan utama dalam hukum Islam.

Kesimpulan 

Rebo Wekasan adalah sebuah tradisi yang sarat akan nilai-nilai budaya dan religius. Meskipun tidak ada dasar syar'inya yang kuat dari Al-Qur'an dan Hadits, amalan yang dilakukan pada Rebo Wekasan, seperti shalat, berdoa, berdzikir, dan bersedekah, adalah amalan yang sangat baik dan dianjurkan dalam Islam.

Namun, yang perlu digarisbawahi adalah niat dan keyakinan. Tradisi ini hendaknya tidak dilakukan dengan keyakinan bahwa Rebo Wekasan adalah hari sial, melainkan sebagai momentum untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah, memohon perlindungan dari segala macam musibah, dan memperbanyak amalan shalih. Kita harus selalu ingat bahwa segala sesuatu yang terjadi di dunia ini, baik dan buruk, adalah atas kehendak Allah.

Oleh karena itu, mari kita sikapi tradisi Rebo Wekasan dengan bijaksana. Ambil nilai-nilai positifnya, seperti memperbanyak ibadah dan bersedekah, dan hindari keyakinan-keyakinan yang bertentangan dengan ajaran Islam. Dengan demikian, tradisi Rebo Wekasan dapat menjadi sarana untuk mempererat tali silaturahmi, memperkuat iman, dan meningkatkan ketaatan kita kepada Allah SWT.

*Hasil generate dari Gemini ai

Baca juga :

Penjelasan Mengenai Rebo Wekasan

Share:

Postingan Populer