وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِّمَّن دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ

Tampilkan postingan dengan label Kajian Hukum. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kajian Hukum. Tampilkan semua postingan

30 Juli 2025

Hukum Ternak Babi dalam Islam: Pandangan Ulama dan Implikasinya



Dalam Islam, babi adalah hewan yang diharamkan secara mutlak. Keharaman ini tidak hanya terbatas pada konsumsinya, tetapi juga meluas ke berbagai aspek yang berkaitan dengannya, termasuk ternak dan segala bentuk interaksi dengannya. Berikut adalah penjelasan mengenai hukum ternak babi menurut para ulama, implikasinya bagi para pekerja, serta hukum penghasilannya.

Dalil Keharaman Babi

Keharaman babi dijelaskan secara tegas dalam Al-Qur'an dan diperkuat oleh Hadits Nabi Muhammad SAW. Beberapa ayat Al-Qur'an yang menjadi dasar hukumnya antara lain:

 * QS. Al-Baqarah (2): 173: "Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan (hewan) yang disembelih dengan (menyebut nama) selain Allah. Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang."

 * QS. Al-Ma'idah (5): 3: "Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah..."

 * QS. An-Nahl (16): 115: "Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan (hewan) yang disembelih dengan (menyebut nama) selain Allah. Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang."

Ayat-ayat ini dengan jelas menyatakan keharaman daging babi, namun para ulama sepakat bahwa keharaman ini meliputi seluruh bagian babi, termasuk kulit, tulang, lemak, dan bahkan rambutnya, karena dianggap najis secara keseluruhan.

Hukum Ternak Babi Menurut Pendapat Para Ulama

Mayoritas ulama dari berbagai mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali) sepakat bahwa beternak babi adalah haram. Dasar pelarangan ini adalah:
 * Diharamkannya Daging Babi: Jika memakan dagingnya saja haram, maka segala aktivitas yang mengarah pada penyediaan atau produksi babi, termasuk beternak, juga menjadi haram. Ini didasarkan pada kaidah fikih: "Segala sesuatu yang mengantar kepada yang haram, maka hukumnya haram."

 * Najisnya Babi: Babi termasuk hewan yang najis mughallazhah (najis berat). Berinteraksi langsung dengan babi dalam aktivitas ternak akan selalu melibatkan sentuhan dengan najisnya, yang menuntut proses pensucian khusus. Meskipun najis bisa disucikan, namun secara syariat, memelihara hewan najis untuk tujuan komersial atau selain kepentingan darurat (misalnya penelitian yang disetujui ulama) tidak dibenarkan.

 * Tidak Ada Manfaat Syar'i: Tujuan utama beternak adalah mengambil manfaat dari hewan tersebut, baik untuk dimakan, diperjualbelikan, atau dimanfaatkan bagian tubuhnya. Karena babi diharamkan untuk dikonsumsi dan bagian tubuhnya dianggap najis, maka tidak ada manfaat syar'i yang bisa diambil dari aktivitas beternak babi.

Para ulama juga menyandarkan pada hadits tentang pelarangan penjualan khamr, bangkai, babi, dan berhala. Dari Jabir bin Abdullah RA, bahwa ia mendengar Rasulullah SAW bersabda pada tahun penaklukan Mekah: "Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya mengharamkan jual beli khamr, bangkai, babi dan berhala." (HR. Bukhari dan Muslim). Meskipun hadits ini berbicara tentang jual beli, namun implikasinya adalah bahwa memelihara atau memproduksinya untuk tujuan jual beli juga haram.

Hukum Penghasilan (Gaji) Bagi Pekerja Ternak Babi

Karena aktivitas beternak babi dihukumi haram, maka secara otomatis penghasilan yang didapat dari pekerjaan tersebut juga dihukumi haram. Ini karena gaji atau upah tersebut berasal dari transaksi atau pekerjaan yang tidak sesuai dengan syariat Islam.

 * Prinsip Umum: Dalam Islam, penghasilan harus diperoleh dari sumber yang halal dan melalui cara yang halal pula. Pekerjaan yang haram akan menghasilkan penghasilan yang haram.

 * Implikasi: Jika seorang Muslim bekerja di peternakan babi, maka ia secara langsung terlibat dalam aktivitas yang diharamkan. Penghasilan yang ia terima dari pekerjaan tersebut, meskipun mungkin digunakan untuk kebutuhan sehari-hari, tetap dikategorikan sebagai penghasilan yang tidak berkah dan wajib untuk dihindari.

 * Nasihat Ulama: Para ulama akan menasihati Muslim yang bekerja di sektor ini untuk segera mencari pekerjaan lain yang halal. Jika terpaksa karena belum menemukan pekerjaan lain, mereka harus berusaha keras mencari alternatif, bertaubat, dan memperbanyak istighfar. Sebagian ulama juga menyarankan agar penghasilan dari pekerjaan haram tersebut tidak dimakan secara langsung, melainkan disalurkan untuk kepentingan umum atau fakir miskin dengan niat membersihkan harta, tanpa berharap pahala dari penyaluran tersebut.

Kesimpulan

Berdasarkan dalil-dalil Al-Qur'an dan Hadits, serta ijma' (konsensus) sebagian besar ulama, hukum ternak babi adalah haram. Konsekuensinya, bekerja di peternakan babi bagi seorang Muslim juga haram, dan penghasilan yang didapatkan dari pekerjaan tersebut adalah penghasilan yang haram. Umat Islam dianjurkan untuk menjauhi segala bentuk transaksi dan pekerjaan yang berkaitan dengan babi demi menjaga kesucian harta dan keberkahan hidup.

Share:

Bagaimana Hukum Rokok ?



Rokok adalah gulungan tembakau yang dibungkus kertas atau daun, yang biasa dihisap dengan membakar salah satu ujungnya. Praktik merokok ini telah menjadi bagian dari kebudayaan di berbagai belahan dunia, namun membawa dampak kesehatan yang serius.

Apakah Ada Rokok di Zaman Nabi?

Tidak ada rokok di zaman Nabi Muhammad SAW. Tembakau, bahan dasar rokok, berasal dari benua Amerika dan baru diperkenalkan ke dunia Barat (Eropa) setelah kedatangan Christopher Columbus pada akhir abad ke-15. Dari Eropa, tembakau kemudian menyebar ke berbagai belahan dunia, termasuk dunia Islam, jauh setelah masa kenabian. Oleh karena itu, tidak ada pembahasan eksplisit mengenai rokok dalam Al-Qur'an dan Hadits.

Kapan Mulai Ada Rokok?

Sejarah penggunaan tembakau dimulai ribuan tahun yang lalu, sekitar 4.000 tahun sebelum Masehi, di Amerika Selatan. Pada awalnya, tembakau digunakan dalam ritual spiritual dan pengobatan, baik dengan cara dihisap maupun dikunyah.
Tembakau baru diperkenalkan ke Eropa pada abad ke-16 oleh penjelajah Eropa. Kemudian, pada abad ke-17, tembakau dibawa ke Indonesia oleh penjajah Portugis dan Belanda. Inovasi pembuatan rokok modern, yaitu tembakau yang dilinting dengan kertas, mulai berkembang pada abad ke-19. Di Indonesia sendiri, rokok kretek mulai dikembangkan sekitar tahun 1870 oleh Haji Djamhari di Kudus.

Dampak Rokok Bagi Kesehatan

Rokok mengandung ribuan zat kimia berbahaya, di antaranya nikotin, tar, dan karbon monoksida, yang sangat merugikan kesehatan. Dampak negatif rokok terbagi menjadi:

 * Dampak pada Perokok Aktif:

   * Penyakit Paru-paru: Kanker paru-paru, emfisema (kerusakan kantung udara paru-paru), bronkitis kronis (peradangan permanen saluran pernapasan), PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronis), TBC, dan pneumonia. Rokok menyebabkan perubahan struktur dan fungsi saluran napas serta jaringan paru-paru.

   * Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah: Penyakit jantung koroner, stroke, tekanan darah tinggi, dan aterosklerosis (pengerasan pembuluh darah). Nikotin dapat mengganggu irama jantung dan menyebabkan penyempitan pembuluh darah. Karbon monoksida mengurangi pasokan oksigen ke jantung.

   * Kanker Lain: Kanker mulut, bibir, kerongkongan, laring, esofagus, pankreas, ginjal, kandung kemih, dan leukemia. Tar dalam rokok dapat merusak sel-sel dan menyebabkan pertumbuhan sel ganas.

   * Masalah Penglihatan: Glaucoma, katarak, dan degenerasi makula terkait usia, yang dapat menyebabkan kebutaan permanen.

   * Masalah pada Sistem Saraf Pusat: Nikotin bersifat adiktif dan dapat menyebabkan ketergantungan serta memengaruhi suasana hati.

   * Gangguan Reproduksi: Impotensi pada pria, penurunan kualitas sperma, dan masalah kesuburan. Pada wanita hamil, merokok dapat menyebabkan bayi lahir dengan berat badan rendah (BBLR) dan risiko keguguran.

   * Dampak Lain: Kerusakan gigi dan gusi, penuaan dini pada kulit, melemahnya sistem kekebalan tubuh, dan peningkatan risiko diabetes.

 * Dampak pada Perokok Pasif:

   Asap rokok yang dihirup oleh orang di sekitar perokok (perokok pasif) bahkan lebih berbahaya dibandingkan asap yang dihisap langsung oleh perokok aktif. Data menunjukkan bahwa sekitar 1,2 juta kematian di seluruh dunia setiap tahun disebabkan oleh paparan asap rokok pasif, termasuk penyakit jantung, kanker paru-paru, dan infeksi saluran pernapasan bawah. Anak-anak dan bayi sangat rentan terhadap dampak perokok pasif.

Apakah Ada Manfaat Rokok?

Secara medis dan ilmiah, tidak ada manfaat rokok bagi kesehatan. Klaim seperti merokok dapat menghilangkan stres, meningkatkan fokus, atau memberikan kenikmatan adalah efek sementara yang disebabkan oleh nikotin yang memicu pelepasan hormon dopamin di otak. Namun, efek ini bersifat adiktif dan justru membuat perokok ketergantungan. Dalam jangka panjang, rokok justru meningkatkan risiko gangguan mood seperti depresi dan kecemasan. Beberapa klaim yang pernah beredar mengenai manfaat rokok (misalnya untuk kolitis ulserativa atau Parkinson) telah dibantah oleh penelitian lebih lanjut atau disertai dengan risiko kesehatan lain yang jauh lebih besar.

Bagaimana Pendapat Para Ulama Tentang Hukum Rokok?

Meskipun rokok tidak ada di zaman Nabi SAW, para ulama melakukan ijtihad (penalaran hukum) dengan merujuk pada prinsip-prinsip syariat Islam. Ada beberapa pandangan di kalangan ulama mengenai hukum rokok, namun mayoritas ulama kontemporer cenderung mengharamkannya:

 * Haram: Ini adalah pendapat mayoritas ulama kontemporer dan menjadi pandangan dominan di banyak lembaga fatwa Islam, termasuk Majelis Ulama Indonesia (MUI).

   * Alasan:
     * Membahayakan Kesehatan (Dharar): Dalil utama adalah kaidah fikih "لا ضرر ولا ضرار" (Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh membahayakan orang lain). Rokok terbukti secara ilmiah membahayakan kesehatan perokok aktif dan perokok pasif, menyebabkan berbagai penyakit mematikan. Allah SWT berfirman: "...dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan..." (QS. Al-Baqarah: 195).

     * Pemborosan Harta (Tabdzir): Merokok dianggap sebagai pemborosan harta pada sesuatu yang tidak memberikan manfaat, bahkan mudarat. Allah SWT berfirman: "...dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan..." (QS. Al-Isra': 26-27).

     * Memabukkan atau Membiuskan (Iskaar): Meskipun rokok tidak memabukkan seperti khamr, nikotin memiliki efek candu yang serupa dengan sifat membius, menyebabkan ketergantungan dan hilangnya kontrol diri dalam arti tertentu.

     * Mempunyai Bau Tidak Sedap: Asap rokok dapat mengganggu orang lain, terutama di tempat ibadah atau perkumpulan.
 * Makruh: Beberapa ulama terdahulu dan sebagian kecil ulama kontemporer berpendapat hukumnya makruh (dianjurkan untuk ditinggalkan).

   * Alasan: Mereka menganggap bahaya rokok relatif kecil atau belum ada bukti ilmiah yang sekuat sekarang pada masa mereka. Mereka berpegang pada kaidah "hukum asal sesuatu adalah mubah (boleh) sampai ada dalil yang mengharamkan". Namun, dengan bukti medis yang semakin kuat, pandangan ini semakin ditinggalkan.

 * Mubah (Boleh): Ini adalah pandangan yang sangat jarang dipegang oleh ulama dan umumnya merupakan pendapat yang sudah tidak relevan lagi mengingat perkembangan ilmu pengetahuan tentang bahaya rokok.

Pendapat Ulama Kontemporer:
Mayoritas ulama kontemporer dari berbagai mazhab dan lembaga fatwa (seperti MUI di Indonesia, ulama-ulama dari Al-Azhar, fatwa Majelis Fiqih Sedunia) cenderung sepakat bahwa rokok hukumnya haram. Mereka mendasarkan fatwa ini pada bukti medis yang tak terbantahkan mengenai dampak buruk rokok terhadap kesehatan.

Contoh Fatwa MUI:
MUI pada tahun 2009 mengeluarkan fatwa yang mengharamkan rokok di tempat umum, bagi anak-anak dan wanita hamil. Meskipun fatwa ini tidak secara mutlak mengharamkan rokok bagi semua, namun sudah menjadi langkah besar untuk melindungi masyarakat dari bahaya rokok. Banyak ulama di Indonesia juga secara personal mengeluarkan fatwa haram mutlak berdasarkan dalil-dalil di atas.

Data Pengaruh Negatif Rokok Terhadap Kesehatan di Indonesia
Indonesia memiliki salah satu prevalensi perokok tertinggi di dunia. Data menunjukkan bahwa:

 * Penyakit Kritis: Rokok adalah faktor risiko utama untuk berbagai penyakit kronis dan mematikan di Indonesia, seperti kanker (terutama kanker paru-paru dan nasofaring), penyakit jantung koroner, stroke, PPOK, dan diabetes

 * Kematian Dini: Jutaan orang Indonesia meninggal setiap tahun akibat penyakit yang berhubungan dengan merokok. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan bahwa tembakau membunuh lebih dari 8 juta orang setiap tahun secara global.

 * Beban Ekonomi: Merokok juga membebani sistem kesehatan negara dengan biaya pengobatan yang tinggi untuk penyakit terkait rokok. Selain itu, hilangnya produktivitas akibat sakit dan kematian dini perokok juga merupakan kerugian ekonomi.

 * Perokok Pasif: Tingginya jumlah perokok aktif di Indonesia juga berarti banyak penduduk yang menjadi perokok pasif, terutama wanita dan anak-anak di rumah, yang meningkatkan risiko mereka terhadap berbagai penyakit.

Kesimpulan

Rokok adalah produk yang mengandung zat-zat adiktif dan sangat berbahaya bagi kesehatan, baik bagi perokok aktif maupun pasif. Ia tidak memiliki manfaat medis yang terbukti. Keberadaannya baru muncul jauh setelah zaman Nabi Muhammad SAW.
Melihat banyaknya dalil dari Al-Qur'an dan Hadits yang melarang segala sesuatu yang membahayakan diri dan orang lain, serta memboroskan harta, mayoritas ulama kontemporer telah sepakat bahwa hukum rokok adalah haram. Pendapat ini didukung kuat oleh data ilmiah dan medis yang tak terbantahkan mengenai dampak negatif rokok terhadap kesehatan. Oleh karena itu, menjauhi rokok adalah pilihan yang bijak dan selaras dengan ajaran Islam untuk menjaga kesehatan diri, keluarga, dan masyarakat.

Share:

Hukum Solat Berjama'ah



Shalat berjamaah merupakan salah satu syiar Islam yang memiliki keutamaan besar. Mengenai hukumnya, terdapat perbedaan pandangan di kalangan ulama, namun mayoritas sepakat akan keutamaannya. Mari kita telaah lebih lanjut:

1. Hukum Shalat Berjamaah Menurut Hadits

Banyak hadits Nabi Muhammad SAW yang menekankan pentingnya shalat berjamaah dan keutamaannya. Beberapa di antaranya adalah:
 * Keutamaan Pahala: Dari Abdullah bin Umar RA, Rasulullah SAW bersabda, "Shalat berjamaah lebih utama dua puluh tujuh derajat dibandingkan shalat sendirian." (HR. Bukhari dan Muslim). Hadits lain menyebutkan, "Manusia yang paling besar pahalanya dalam mengerjakan shalat adalah yang paling jauh jalannya, kemudian yang lebih jauh lagi. Orang yang menunggu pelaksanaan shalat, sehingga dia mengerjakannya bersama imam, adalah lebih besar pahalanya daripada orang yang mengerjakan shalat kemudian tidur." (HR. Muslim).

 * Perintah dan Ancaman: Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda, "Demi jiwaku yang berada di tangan-Nya, sungguh aku bertekad untuk menyuruh pengumpulan kayu bakar, kemudian aku suruh seseorang adzan untuk shalat dan seseorang untuk mengimami manusia, kemudian aku pergi kepada orang-orang yang tidak ikut shalat, kemudian aku bakar rumah mereka." (Muttafaq 'alaih). Hadits ini menunjukkan ketegasan Nabi terhadap orang yang meninggalkan jamaah tanpa udzur.

 * Tidak Sah Shalat Tanpa Udara Syar'i: Dari Ibnu Abbas RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Siapa yang mendengar azan tapi tidak mendatanginya, maka tidak ada lagi shalat untuknya, kecuali karena ada uzur." (HR Ibnu Majah, Ad-Daruquthuny, Ibnu Hibban dan Al-Hakim). Hadits ini sering dijadikan dalil oleh ulama yang berpendapat wajibnya shalat berjamaah.

 * Pandangan Sahabat Terhadap Orang yang Tidak Berjamaah: Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhu mengatakan, "Aku melihat bahwa kami (para sahabat) memandang orang yang tidak shalat berjamaah sebagai orang munafik, atau sedang sakit." (HR. Muslim). Ini menunjukkan betapa pentingnya shalat berjamaah di mata para sahabat.

2. Pendapat Para Ulama Mazhab

Perbedaan pendapat ulama mengenai hukum shalat berjamaah umumnya berkisar antara wajib ('ain/kifayah) atau sunnah muakkadah:

 * Mazhab Hanafi: Berpendapat shalat berjamaah hukumnya wajib (seperti sunnah muakkadah dalam mazhab lain) bagi laki-laki yang berakal, merdeka, dan mampu berjalan ke masjid. Namun, tidak wajib bagi perempuan, anak-anak, orang gila, hamba sahaya, atau orang sakit yang tidak mampu ke masjid.

 * Mazhab Maliki: Berpendapat shalat berjamaah hukumnya sunnah muakkadah (sangat dianjurkan). Mereka berpegang pada hadits-hadits keutamaan shalat berjamaah.

 * Mazhab Syafi'i: Berpendapat shalat berjamaah hukumnya fardhu kifayah bagi muslim laki-laki yang mukim (menetap). Artinya, jika sudah ada sebagian kaum muslimin yang melaksanakannya di masjid sebagai syiar agama, maka gugurlah kewajiban bagi yang lain. Namun, jika tidak ada yang melaksanakannya secara berjamaah di masjid, maka seluruhnya berdosa. Bagi laki-laki, melaksanakan shalat berjamaah di masjid lebih utama daripada di rumah atau di tempat lain.

 * Mazhab Hanbali: Berpendapat shalat berjamaah hukumnya wajib (fardhu 'ain) bagi laki-laki yang telah baligh dan tidak memiliki udzur syar'i. Mereka berpegang pada dalil-dalil keras dari hadits Nabi SAW tentang ancaman bagi yang meninggalkannya. Meskipun demikian, jika seseorang shalat sendirian, shalatnya tetap sah, namun ia berdosa karena meninggalkan kewajiban berjamaah.

3. Kisah Jamaah Nabi dan Sahabat

Kehidupan Nabi Muhammad SAW dan para sahabat adalah teladan nyata tentang pentingnya shalat berjamaah:

 * Nabi Selalu Berjamaah: Rasulullah SAW senantiasa melaksanakan shalat berjamaah, bahkan dalam kondisi sakit sekalipun. Ketika beliau sakit parah menjelang wafat, beliau tetap berusaha untuk hadir di masjid dan shalat berjamaah, bahkan sampai dipapah oleh para sahabat. Ini menunjukkan betapa besar perhatian beliau terhadap shalat berjamaah.

 * Kisah Ibnu Ummi Maktum: Seorang sahabat yang buta, Ibnu Ummi Maktum, pernah meminta izin kepada Nabi untuk tidak shalat berjamaah di masjid karena kondisinya dan tidak ada penuntun. Nabi SAW bertanya, "Apakah engkau mendengar azan?" Ibnu Ummi Maktum menjawab, "Ya." Nabi SAW bersabda, "Kalau begitu penuhilah seruan tersebut (hadiri jamaah shalat)." Kisah ini sering dijadikan dalil kuat bagi wajibnya shalat berjamaah bagi laki-laki.

 * Kasus Mu'adz bin Jabal: Mu'adz bin Jabal pernah mengimami shalat Isya setelah shalat bersama Nabi. Ia membaca surat yang panjang, sehingga ada makmum yang memisahkan diri dari jamaah dan shalat sendiri. Hal ini sampai ke telinga Nabi, dan Nabi menegur Mu'adz agar tidak memanjangkan bacaan shalatnya dan menyusahkan makmum. Kisah ini menunjukkan bahwa dalam kondisi tertentu, seperti imam terlalu memanjangkan bacaan yang memberatkan, makmum memiliki udzur untuk tidak melanjutkan berjamaah.

 * Abdurrahman bin Auf Menjadi Imam Nabi: Dalam suatu kesempatan, Rasulullah SAW terlambat datang ke masjid. Abdurrahman bin Auf pun maju mengimami shalat. Ketika Nabi tiba, beliau bergabung sebagai makmum. Ini adalah salah satu momen langka di mana seorang sahabat menjadi imam bagi Rasulullah, menunjukkan fleksibilitas dalam berjamaah dan keutamaan para sahabat.

4. Pendapat Para Ulama Kekinian (Kontemporer)

Ulama kontemporer umumnya tetap berpegang pada dalil-dalil klasik dan pendapat mazhab yang ada. Mayoritas ulama kekinian cenderung memperkuat pandangan bahwa shalat berjamaah adalah suatu keharusan bagi laki-laki muslim yang mampu, atau minimal sangat ditekankan (sunnah muakkadah) dengan pahala yang berlipat ganda.

 * Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi (dari kalangan ulama yang lebih menekankan pada wajibnya) menyatakan hukum shalat berjamaah adalah fardhu 'ain bagi pria yang telah terkena kewajiban shalat, kecuali ada halangan.

 * Syaikh Wahbah Az-Zuhaili dalam kitabnya Fiqhul Islam wa Adillatuhu menyatakan secara umum hukum shalat berjamaah adalah sunnah muakkadah, namun dengan penekanan yang sangat kuat.

 * Para ulama kontemporer juga menekankan aspek syiar Islam dan persatuan umat yang terkandung dalam shalat berjamaah. Mereka melihat bahwa shalat berjamaah di masjid adalah bentuk nyata dari kekuatan dan persatuan umat Islam.

Kesimpulan

Meskipun ada perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai status hukumnya (wajib 'ain, fardhu kifayah, atau sunnah muakkadah), semua sepakat bahwa shalat berjamaah memiliki keutamaan yang sangat besar dan sangat dianjurkan. Nabi Muhammad SAW dan para sahabat tidak pernah meninggalkannya kecuali karena udzur syar'i. Bagi seorang Muslim, khususnya laki-laki, berusaha keras untuk senantiasa melaksanakan shalat berjamaah di masjid adalah bentuk ketaatan dan kecintaan kepada agama, serta upaya meraih pahala berlipat ganda dari Allah SWT.

Share:

Postingan Populer