إِرَادَتُكَ التَّجْرِيدَ مَعَ إِقَامَةِ اللَّهِ إِيَّاكَ فِي الأَسْبَابِ مِنَ الشَّهْوَةِ الْخَفِيَّةِ. وَإِرَادَتُكَ الأَسْبَاب
مَعَ إِقَامَةِ اللَّهِ إِيَّاكَ فِي التَّجْرِيدِ انْحِطَاطٌ عَنِ هِمَّةِ الْعَالِيَةِ
Terjemah:
"Keinginanmu untuk bebas dari sebab-akibat (tajrid) padahal Allah menempatkanmu dalam sebab-akibat (asbab) adalah termasuk syahwat tersembunyi. Dan keinginanmu untuk berada dalam sebab-akibat (asbab) padahal Allah menempatkanmu dalam tajrid adalah kemunduran dari cita-cita yang luhur."
Penjelasan:
Kalam hikmah kedua ini membahas tentang penempatan diri seorang hamba oleh Allah SWT, baik dalam posisi asbab (terikat dengan sebab-akibat, melakukan usaha lahiriah) maupun tajrid (bebas dari sebab-akibat, fokus sepenuhnya pada ibadah dan kepasrahan batiniah tanpa perlu usaha lahiriah yang banyak). Imam Ibnu Atha'illah ingin menegaskan bahwa seorang salik (penempuh jalan spiritual) harus menerima dan ridha dengan apa yang telah Allah tetapkan baginya.
* Asbab (sebab-akibat): Merujuk pada kehidupan duniawi yang mengharuskan kita untuk bekerja, berusaha, berinteraksi sosial, dan melakukan segala bentuk aktivitas yang terikat pada hukum sebab-akibat. Sebagian besar manusia berada dalam posisi ini.
* Tajrid (bebas dari sebab-akibat): Merujuk pada kondisi di mana seorang hamba dibebaskan dari keharusan untuk bekerja atau berusaha keras secara lahiriah karena Allah telah menjamin rezekinya atau menempatkannya dalam posisi untuk fokus total pada ibadah, dzikir, dan tafakur. Ini adalah anugerah khusus bagi sebagian kecil hamba-Nya.
Pesan utama dari kalam hikmah ini adalah bahwa kita tidak boleh memaksakan kehendak kita sendiri dalam memilih antara asbab dan tajrid, melainkan harus menerima dan beradaptasi dengan posisi yang Allah tempatkan untuk kita.
* Jika Allah menempatkan kita dalam asbab (misalnya, sebagai pekerja, pengusaha, pelajar), lalu kita ingin sepenuhnya fokus beribadah di masjid tanpa bekerja, ini adalah syahwat tersembunyi. Mengapa? Karena itu adalah keinginan egois yang tidak selaras dengan takdir Allah dan bisa jadi bentuk kemalasan yang dibungkus ibadah.
* Jika Allah menempatkan kita dalam tajrid (misalnya, seseorang yang Allah berikan rezeki tanpa harus bekerja keras, atau seorang ulama yang fokus mengajarkan ilmu), lalu ia malah sibuk mengejar harta duniawi secara berlebihan, ini adalah kemunduran dari cita-cita luhur. Ia menyia-nyiakan anugerah Allah berupa kesempatan untuk lebih dekat dengan-Nya.
Kalam ini mengajarkan pentingnya ridha pada ketetapan Allah dan memahami hikmah di balik setiap penempatan kita dalam hidup.
Ayat Al-Qur'an yang Relevan:
Surah Al-Isra' (17): Ayat 84
قُلْ كُلٌّ يَعْمَلُ عَلَىٰ شَاكِلَتِهِ ۖ فَرَبُّكُمْ أَعْلَمُ بِمَنْ هُوَ أَهْدَىٰ سَبِيلًا
Terjemah:
"Katakanlah (Muhammad), 'Setiap orang berbuat menurut pembawaannya masing-masing.' Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya."
Relevansi:
Ayat ini dapat diinterpretasikan bahwa setiap individu memiliki 'pembawaan' atau takdir serta jalan hidup yang telah Allah tetapkan. Ada yang dibentuk untuk berada di jalan asbab dengan segala usahanya, ada pula yang dibentuk untuk tajrid dengan fokus pada spiritualitas. Kita harus menerima 'pembawaan' atau posisi yang Allah berikan kepada kita, karena Dialah yang Maha Tahu mana jalan terbaik bagi kita.
Surah Al-Qasas (28): Ayat 77
وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ ۖ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا ۖ وَأَحْسِن كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ ۖ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ ۖ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ
Terjemah:
"Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan."
Relevansi:
Ayat ini dengan indah menyeimbangkan antara asbab (mencari bagian dari kenikmatan duniawi) dan tajrid (mencari kebahagiaan akhirat). Ia menegaskan bahwa seorang Muslim tidak boleh sepenuhnya meninggalkan dunia (yang termasuk dalam kategori asbab) jika Allah menempatkannya di sana, tetapi juga tidak boleh melupakan tujuan akhirat. Ini menunjukkan pentingnya menyeimbangkan kehidupan dunia dan akhirat sesuai dengan posisi yang Allah berikan.
Hadis yang Sejalan:
Hadis Riwayat Tirmidzi dan Ibnu Majah:
Dari Anas bin Malik RA, seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah SAW, "Apakah aku ikat untaku lalu aku bertawakal, atau aku lepas lalu aku bertawakal?" Rasulullah SAW menjawab, "Ikatlah untamu, kemudian bertawakallah."
Relevansi:
Hadis ini adalah contoh paling jelas tentang pentingnya melakukan asbab (usaha lahiriah) sebelum bertawakal. Ini menunjukkan bahwa Allah menghendaki kita untuk berusaha sesuai dengan kemampuan kita (mengikat unta), dan setelah itu barulah kita menyerahkan hasilnya kepada-Nya (bertawakal). Ini menolak gagasan tajrid yang salah, di mana seseorang mengabaikan sebab-akibat padahal ia mampu untuk berusaha.
Pengalaman Para Anbiya, Ulama, dan Auliya:
1. Para Anbiya (Nabi-Nabi):
* Nabi Muhammad SAW: Beliau adalah contoh sempurna. Meskipun seorang Nabi dan Kekasih Allah, beliau tetap menjalankan asbab. Beliau berdagang, berperang, menggembala kambing, dan memimpin umat. Beliau tidak menunggu rezeki turun dari langit tanpa usaha. Ini menunjukkan bahwa asbab adalah jalan yang mulia jika dijalankan dengan niat yang benar.
* Nabi Daud AS: Beliau adalah seorang raja sekaligus nabi, namun tetap mencari nafkah dengan membuat baju besi. Ini adalah bentuk asbab yang tidak mengurangi kemuliaan kenabiannya, justru menunjukkan keteladanan.
* Nabi Musa AS: Beliau bekerja menggembalakan kambing untuk Nabi Syu'aib AS selama bertahun-tahun. Ini juga merupakan bentuk asbab yang dijalani oleh seorang nabi.
2. Para Ulama:
* Imam Abu Hanifah: Beliau adalah seorang ulama besar sekaligus seorang pedagang kain yang sukses. Beliau tidak meninggalkan perdagangannya demi ilmu atau ibadah, melainkan menjalankan keduanya dengan seimbang, menunjukkan penerapan asbab dalam kehidupan seorang ulama.
* Imam Malik: Beliau dikenal sebagai ulama yang sangat fokus pada ilmu dan pengajaran di Madinah. Beliau tidak mencari nafkah dari berdagang atau bertani, karena Allah telah menempatkannya dalam tajrid dengan mencukupkan rezekinya melalui cara lain (misalnya warisan atau hadiah). Beliau tidak mencari asbab yang tidak diperlukan.
3. Para Auliya (Wali-Wali Allah):
* Syekh Abdul Qadir Al-Jailani: Meskipun beliau adalah seorang wali besar yang sangat tinggi maqamnya, beliau tetap mengajar, memberikan fatwa, dan membimbing umat. Ini adalah bentuk asbab dalam dakwah dan pendidikan. Beliau tidak lari dari tanggung jawab sosialnya.
* Beberapa wali yang dikenal dengan tajrid-nya: Ada beberapa wali yang Allah karuniai rezeki tanpa perlu bekerja keras, sehingga mereka bisa sepenuhnya fokus pada dzikir, ibadah, dan merenung. Namun, ini adalah anugerah khusus dari Allah dan bukan sesuatu yang bisa dicari atau dipaksakan oleh semua orang. Mereka yang berada di posisi ini tidak lantas mencari-cari pekerjaan duniawi jika hal itu mengganggu fokus spiritual mereka.
Aplikasi di Zaman Sekarang:
Kalam hikmah ini sangat relevan dan memberikan panduan penting dalam menghadapi tantangan kehidupan modern:
* Menerima Peran Kita: Di zaman sekarang, banyak orang merasa tidak puas dengan pekerjaan atau posisi hidup mereka. Kalam ini mengajarkan kita untuk ridha dan ikhlas dengan takdir Allah. Jika kita ditempatkan sebagai pekerja keras, lakukanlah dengan sebaik-baiknya, niatkan sebagai ibadah, dan jangan mengharapkan hidup yang "santai" seperti para sufi yang tajrid jika Allah tidak menempatkan kita di sana.
* Menghargai Kerja Keras (Asbab): Kalam ini memerangi mentalitas malas atau "instan" yang ingin kaya tanpa usaha. Ia menegaskan bahwa bagi kebanyakan kita, asbab adalah jalan yang Allah inginkan. Bekerja keras, mencari nafkah halal, dan berkontribusi kepada masyarakat adalah bagian dari ibadah. Jangan mencari kemalasan dengan dalih ingin fokus ibadah.
* Menghindari Kehilangan Fokus (Tajrid): Sebaliknya, bagi mereka yang mungkin memiliki kelebihan rezeki atau waktu luang, atau yang Allah karuniai kemampuan untuk fokus pada ilmu dan spiritualitas (seperti para ulama atau guru agama), kalam ini mengingatkan untuk tidak menyia-nyiakan anugerah tersebut dengan terlalu larut dalam urusan duniawi yang tidak perlu. Jangan menurunkan cita-cita luhur (mendekat kepada Allah) demi hal-hal duniawi yang remeh.
* Keseimbangan Hidup: Kalam ini mengajarkan pentingnya keseimbangan. Bagi sebagian besar orang, hidup adalah perpaduan antara asbab dan tajrid. Kita bekerja dan berusaha (asbab), tetapi juga harus meluangkan waktu untuk ibadah, dzikir, dan merenung (bagian dari tajrid). Jangan sampai salah satu mendominasi secara tidak proporsional sehingga merugikan yang lain, kecuali memang Allah menempatkan kita pada salah satu posisi secara ekstrem.
* Memahami Qada dan Qadar: Memahami kalam ini membantu kita lebih menerima qada dan qadar (ketetapan Allah). Jika kita ditempatkan dalam kesulitan atau harus berjuang keras, itu adalah asbab kita. Jika kita diberi kemudahan, itu adalah anugerah tajrid sebagian. Keduanya adalah bentuk ujian dan jalan menuju Allah.
Kesimpulan:
Kalam hikmah kedua Kitab Al-Hikam, "Keinginanmu untuk bebas dari sebab-akibat (tajrid) padahal Allah menempatkanmu dalam sebab-akibat (asbab) adalah termasuk syahwat tersembunyi. Dan keinginanmu untuk berada dalam sebab-akibat (asbab) padahal Allah menempatkanmu dalam tajrid adalah kemunduran dari cita-cita yang luhur," adalah panduan esensial tentang ridha terhadap penempatan ilahi dan keseimbangan dalam beramal.
Ia mengajarkan kita untuk tidak memaksakan diri pada kondisi yang tidak Allah takdirkan, baik itu keinginan untuk meninggalkan usaha duniawi padahal kita ditempatkan untuk berusaha, maupun keinginan untuk kembali pada kesibukan duniawi padahal kita diberi kesempatan untuk fokus spiritual.
Melalui Al-Qur'an, Hadis, serta teladan para Anbiya, Ulama, dan Auliya, kita belajar bahwa keutamaan sejati terletak pada keselarasan hati dan tindakan dengan kehendak Allah. Di zaman yang serba menuntut ini, hikmah ini membantu kita menemukan ketenangan dalam menerima peran kita, bersemangat dalam usaha yang halal, dan menjaga fokus spiritual tanpa melampaui batas atau melalaikan tanggung jawab. Ini adalah kunci untuk menjalani hidup yang penuh makna dan keberkahan, sesuai dengan rencana terbaik dari Allah SWT.