30 Juli 2025
Hukum Ternak Babi dalam Islam: Pandangan Ulama dan Implikasinya
Bagaimana Hukum Rokok ?
Hukum Solat Berjama'ah
Sabar : Kunci Menghadapi Cobaan Hidup
![]() |
Pak Sabar |
Hidup ini adalah serangkaian ujian dan cobaan. Suka dan duka silih berganti, kebahagiaan dan kesulitan datang silih berganti. Dalam menghadapi gejolak kehidupan ini, ada satu sikap mulia yang menjadi kunci utama untuk tetap tegar dan bahkan tumbuh lebih kuat: sabar. Sabar bukanlah pasif, menunggu tanpa berbuat apa-apa. Sebaliknya, sabar adalah ketahanan jiwa, keberanian untuk tetap berpegang pada keyakinan di tengah badai, dan kemampuan untuk melihat hikmah di balik setiap kesulitan.
Al-Qur'an dan Hadis banyak sekali menyebutkan keutamaan dan pentingnya sabar. Berikut beberapa di antaranya:
Al-Qur'an:
Allah SWT berfirman dalam Surah Al-Baqarah ayat 153:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ ۚ إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَArtinya: "Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar." Ayat ini secara tegas menunjukkan bahwa sabar adalah salah satu pilar utama bagi seorang mukmin untuk menghadapi tantangan hidup.
Dalam Surah Az-Zumar ayat 10, Allah SWT juga berfirman:
إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُم بِغَيْرِ حِسَابٍArtinya: "Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas." Ini menunjukkan betapa besarnya ganjaran bagi mereka yang sabar, bahkan pahala yang tak terhingga.
Dan masih banyak lagi ayat lain seperti dalam Surah Al-Anfal ayat 46, Surah Yunus ayat 109, dan Surah Al-Asr yang secara tidak langsung menekankan pentingnya kesabaran.
Hadis:
Rasulullah SAW bersabda: "Tidaklah seorang Muslim ditimpa suatu musibah, baik berupa kelelahan, penyakit, kesusahan, kesedihan, gangguan, hingga duri yang menusuknya, melainkan Allah akan menghapuskan dosa-dosanya dengan sebab itu." (HR. Bukhari dan Muslim). Hadis ini mengindikasikan bahwa cobaan adalah sarana penghapus dosa, dan dibutuhkan kesabaran untuk melihatnya demikian.
Rasulullah SAW juga bersabda: "Barangsiapa yang berusaha untuk sabar, maka Allah akan menjadikannya sabar. Dan tidaklah seseorang diberi suatu pemberian yang lebih baik dan lebih luas daripada kesabaran." (HR. Bukhari dan Muslim). Hadis ini menunjukkan bahwa sabar adalah sebuah anugerah, dan bisa diupayakan serta dilatih.
Manfaat Sabar bagi Kejiwaan
Kesabaran bukan hanya tentang pahala di akhirat, tetapi juga memberikan dampak positif yang signifikan pada kesehatan mental dan kejiwaan kita di dunia ini:
Mengurangi Stres dan Kecemasan: Ketika menghadapi masalah dengan sabar, kita cenderung tidak panik atau terburu-buru. Ini membantu menenangkan pikiran dan mengurangi tingkat stres serta kecemasan yang berlebihan.
Meningkatkan Resiliensi: Sabar membangun daya tahan mental. Kita belajar untuk bangkit kembali setelah jatuh, melihat kegagalan sebagai pelajaran, dan tidak mudah menyerah.
Mengembangkan Perspektif Positif: Dengan sabar, kita melatih diri untuk melihat sisi positif atau hikmah di balik setiap cobaan. Ini mengubah cara pandang kita dari yang negatif menjadi lebih konstruktif.
Meningkatkan Kualitas Hidup: Orang yang sabar cenderung lebih tenang, bahagia, dan mampu menikmati hidup tanpa terus-menerus terbebani oleh masalah. Mereka lebih mudah beradaptasi dengan perubahan.
Memperkuat Hubungan Sosial: Kesabaran dalam menghadapi perilaku orang lain, kritik, atau perselisihan dapat membantu menjaga dan bahkan memperkuat hubungan, baik dalam keluarga, pertemanan, maupun pekerjaan.
Mencapai Tujuan Jangka Panjang: Banyak tujuan besar dalam hidup membutuhkan proses dan waktu yang panjang. Kesabaran adalah kunci untuk tetap konsisten dan tidak mudah putus asa di tengah jalan.
Teladan Para Nabi dan Ulama dalam Kesabaran
Sejarah Islam penuh dengan kisah-kisah luar biasa tentang kesabaran para nabi dan ulama dalam menghadapi cobaan:
Nabi Ayub AS: Beliau adalah teladan utama kesabaran. Setelah kehilangan harta benda, keluarga, dan kesehatannya, Nabi Ayub tetap bersabar dan terus memohon kepada Allah, hingga akhirnya Allah mengembalikan semua yang hilang bahkan melipatgandakannya. Kisahnya menjadi simbol ketahanan yang tak tergoyahkan.
Nabi Muhammad SAW: Beliau menghadapi berbagai cobaan berat sepanjang hidupnya, mulai dari penolakan, penganiayaan, fitnah, hingga perang. Namun, beliau tetap teguh dalam dakwahnya, memaafkan musuh-musuhnya, dan tidak pernah goyah dalam keyakinannya. Kesabaran beliau adalah inspirasi bagi seluruh umat.
Imam Ahmad bin Hanbal: Beliau adalah salah satu imam mazhab yang terkenal dengan kesabarannya dalam menghadapi cobaan berat fitnah khalqul Qur'an. Beliau dipenjara, dicambuk, dan disiksa, namun tetap mempertahankan keyakinannya bahwa Al-Qur'an adalah kalamullah yang bukan makhluk. Keteguhan dan kesabarannya menjadi pelajaran berharga bagi umat Islam.
Maryam binti Imran (Bunda Isa AS): Beliau menghadapi cobaan yang sangat berat ketika dituduh berzina setelah mengandung Nabi Isa AS tanpa seorang suami. Dengan kesabaran dan keimanan yang kuat, beliau menyerahkan segala urusannya kepada Allah, dan Allah pun membela beliau melalui mukjizat Nabi Isa yang berbicara saat bayi.
Sabar adalah mutiara berharga dalam kehidupan seorang Muslim. Ia bukan hanya sebuah konsep teoritis, melainkan sebuah praktik nyata yang harus terus dilatih dan diterapkan dalam setiap aspek kehidupan. Dengan sabar, kita tidak hanya akan mampu melewati cobaan, tetapi juga akan menemukan kedamaian, kekuatan, dan keberkahan di dalamnya. Mari kita jadikan sabar sebagai teman setia dalam perjalanan hidup ini, karena sesungguhnya, Allah bersama orang-orang yang sabar.
Sumber : Mbah Sabar
Kalam #1 : Kajian Kitab Al Hikam
"مِنْ عَلاَمَةِ الاِعْتِمَادِ عَلَى الْعَمَلِ نُقْصَانُ الرَّجَاءِ عِنْدَ وجود الزلل"
Terjemah:
"Di antara tanda bergantung pada amal perbuatan adalah kurangnya harapan (putus asa) ketika tergelincir (berbuat dosa/gagal)."
Penjelasan
Kalam hikmah ini adalah fondasi penting dalam memahami konsep tawakal dan keikhlasan dalam beribadah. Imam Ibnu Atha'illah ingin menyampaikan bahwa ketergantungan sejati seorang hamba seharusnya hanya kepada Allah SWT, bukan kepada amal perbuatan yang dilakukannya. Jika seseorang terlalu bergantung pada amalnya, maka ketika ia tergelincir, berbuat dosa, atau mengalami kegagalan, ia akan mudah putus asa. Ini menunjukkan bahwa harapannya bukan pada rahmat Allah, melainkan pada kesempurnaan amalnya sendiri. Padahal, amal kita, sekecil apa pun, tidak akan pernah mampu menandingi luasnya rahmat dan ampunan Allah.
Ayat Al-Qur'an yang Relevan
Surah Az-Zumar (39): Ayat 53
قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَىٰ أَنفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِن رَّحْمَةِ اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا ۚ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
Terjemah:
"Katakanlah (Muhammad), 'Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri (berbuat dosa), janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sungguh, Dialah Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang.'"
Relevansi:
Ayat ini secara langsung menegaskan bahwa putus asa dari rahmat Allah adalah sesuatu yang terlarang, bahkan bagi mereka yang telah banyak berbuat dosa. Ini sangat sejalan dengan kalam hikmah pertama yang melarang ketergantungan pada amal dan menganjurkan untuk selalu berharap kepada rahmat Allah, terlepas dari segala kekurangan dan kegaguran kita.
Hadis yang Sejalan
Hadis Qudsi (Riwayat Muslim):
Dari Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Allah Ta'ala berfirman:
يَا ابْنَ آدَمَ إِنَّكَ مَا دَعَوْتَنِي وَرَجَوْتَنِي غَفَرْتُ لَكَ عَلَى مَا كَانَ مِنْكَ وَلَا أُبَالِي، يَا ابْنَ آدَمَ لَوْ بَلَغَتْ ذُنُوبُكَ عَنَانَ السَّمَاءِ ثُمَّ اسْتَغْفَرْتَنِي غَفَرْتُ لَكَ وَلَا أُبَالِي، يَا ابْنَ آدَمَ إِنَّكَ لَوْ أَتَيْتَنِي بِقُرَابِ الْأَرْضِ خَطَايَا ثُمَّ لَقِيتَنِي لَا تُشْرِكُ بِي شَيْئًا لَغَفَرْتُ لَكَ بِقُرَابِهَا."
Terjemah:
"Wahai anak Adam, sesungguhnya engkau selama berdoa kepada-Ku dan mengharap kepada-Ku, niscaya Aku akan mengampuni bagimu dosa-dosa yang ada padamu dan Aku tidak peduli. Wahai anak Adam, seandainya dosa-dosamu mencapai puncak langit, kemudian engkau memohon ampun kepada-Ku, niscaya Aku akan mengampunimu dan Aku tidak peduli. Wahai anak Adam, seandainya engkau datang kepada-Ku dengan membawa dosa sepenuh bumi, kemudian engkau bertemu dengan-Ku dalam keadaan tidak menyekutukan-Ku sedikit pun, niscaya Aku akan mengampunimu dosa sepenuh bumi itu."
Relevansi:
Hadis Qudsi ini sangat kuat dalam menekankan luasnya ampunan dan rahmat Allah. Ini menjadi penawar bagi siapa saja yang merasa putus asa karena dosa-dosanya. Hadis ini mengajarkan kita untuk senantiasa berharap kepada Allah dan tidak bergantung pada amal kita yang terbatas, melainkan pada kemurahan-Nya.
Pengalaman Para Anbiya, Ulama, dan Auliya
1. Para Anbiya (Nabi-Nabi)
* Nabi Adam AS: Setelah tergelincir dari surga, Nabi Adam tidak putus asa. Beliau dan Hawa segera memohon ampun kepada Allah dengan penuh penyesalan, "Rabbana zhalamna anfusana wa in lam taghfir lana wa tarhamna lanakunanna minal khāsirīn." (QS. Al-A'raf: 23). Ini menunjukkan bahwa kesalahan tidak boleh menjadi alasan untuk putus asa, melainkan harus menjadi pemicu untuk kembali kepada Allah.
* Nabi Yunus AS: Ketika ditelan ikan, Nabi Yunus tidak putus asa. Beliau menyadari kesalahannya dan berdoa dalam kegelapan, "La ilaha illa anta subhanaka inni kuntu minaz zhalimin." (QS. Al-Anbiya: 87). Doa ini adalah ekspresi tawakal dan harapan penuh pada rahmat Allah, meskipun dalam kondisi yang sangat sulit.
2. Para Ulama
* Imam Abu Hanifah: Beliau dikenal sebagai pribadi yang sangat tawadhu' dan tidak pernah merasa cukup dengan ilmunya atau amalnya. Beliau selalu menekankan pentingnya takut kepada Allah namun juga tidak putus asa dari rahmat-Nya.
* Imam Syafi'i: Dalam banyak doanya, Imam Syafi'i senantiasa merendahkan diri di hadapan Allah dan memohon ampunan-Nya, menyadari bahwa amal yang dilakukannya tidak seberapa dibandingkan dengan karunia Allah. Beliau tidak pernah bergantung pada kesempurnaan ilmunya, melainkan pada pertolongan Allah.
3. Para Auliya (Wali-Wali Allah)
* Rabiah Al-Adawiyah: Beliau adalah contoh nyata seorang yang mencintai Allah dengan cinta yang tulus, tidak mengharapkan surga dan tidak takut neraka, melainkan hanya ingin meraih ridha Allah. Ketika berbuat dosa atau merasa kurang dalam ibadah, beliau segera kembali kepada Allah dengan penyesalan yang tulus dan harapan akan ampunan-Nya, tanpa sedikitpun putus asa.
* Syekh Abdul Qadir Al-Jailani: Beliau mengajarkan murid-muridnya untuk senantiasa berdzikir dan beristighfar, serta tidak pernah putus asa dari rahmat Allah meskipun telah berbuat banyak dosa. Beliau menekankan bahwa pintu taubat Allah selalu terbuka lebar.
Aplikasi di Zaman Sekarang
Kalam hikmah ini sangat relevan dan penting untuk diterapkan di zaman sekarang yang penuh dengan tekanan, kompetisi, dan ekspektasi yang tinggi:
* Menghindari Perfeksionisme yang Merusak: Banyak orang di zaman sekarang terjebak dalam lingkaran perfeksionisme, baik dalam pekerjaan, studi, maupun ibadah. Ketika gagal mencapai standar yang ditetapkan, mereka mudah stres, cemas, bahkan depresi. Kalam hikmah ini mengajarkan kita untuk tidak terlalu bergantung pada hasil (amal), melainkan pada proses dan niat yang tulus. Jika gagal, bangkit dan perbaiki, jangan putus asa.
* Membangun Mentalitas "Growth Mindset" dalam Ibadah: Daripada merasa putus asa ketika sholat tidak khusyuk atau hafalan Al-Qur'an sering lupa, fokuslah pada upaya untuk terus memperbaiki dan mendekatkan diri kepada Allah. Sadari bahwa Allah melihat usaha kita, bukan hanya hasil yang sempurna. Ini menumbuhkan mentalitas berkembang dalam beribadah.
* Mengatasi Kegagalan dan Keterpurukan: Dalam dunia yang serba cepat ini, kegagalan adalah hal yang lumrah. Baik itu kegagalan bisnis, putus cinta, atau kegagalan akademis. Jika kita terlalu bergantung pada hasil upaya kita, kegagalan akan mudah membuat kita putus asa. Kalam hikmah ini mengingatkan bahwa harapan sejati harus diletakkan pada Allah, Sang Pemilik segala takdir. Dengan begitu, kita bisa bangkit kembali dengan keyakinan bahwa Allah punya rencana yang lebih baik.
* Menjauhi Sikap Riya' dan Ujub: Ketika seseorang terlalu bergantung pada amalnya, ada kecenderungan untuk memamerkan amal tersebut (riya') atau merasa bangga diri (ujub). Kalam hikmah ini mengingatkan kita untuk selalu merendahkan diri, karena kesempurnaan hanya milik Allah, dan amal kita hanyalah upaya kecil yang membutuhkan rahmat-Nya agar diterima.
* Meningkatkan Rasa Syukur dan Tawakal: Dengan memahami bahwa amal kita tidak ada apa-apanya tanpa rahmat Allah, kita akan lebih bersyukur atas setiap kemudahan dalam beribadah dan setiap keberhasilan yang dicapai. Ini juga akan memperkuat tawakal kita, menyerahkan segala urusan kepada Allah setelah berusaha maksimal.
Kesimpulan
Kalam hikmah pertama dari Kitab Al-Hikam, "Di antara tanda bergantung pada amal perbuatan adalah kurangnya harapan (putus asa) ketika tergelincir," adalah pengingat fundamental bagi setiap Muslim. Ia mengajarkan kita untuk meletakkan harapan sepenuhnya hanya kepada Allah SWT, bukan kepada amal perbuatan kita yang terbatas dan rentan kesalahan.
Dari perspektif Al-Qur'an dan Hadis, kita diperintahkan untuk tidak pernah putus asa dari rahmat Allah yang Maha Luas. Pengalaman para Anbiya, Ulama, dan Auliya juga menunjukkan bagaimana mereka menghadapi kesalahan dan kegagalan dengan kembali kepada Allah, memohon ampunan-Nya, dan terus berharap pada karunia-Nya.
Di zaman sekarang, pemahaman ini krusial untuk membangun mentalitas yang resilient (tahan banting) dalam menghadapi tekanan hidup, mengatasi kegagalan tanpa putus asa, dan menjaga keikhlasan dalam beribadah. Dengan menginternalisasi hikmah ini, kita akan senantiasa merasa dekat dengan Allah, bersandar pada rahmat-Nya, dan tidak mudah menyerah di hadapan ujian dan cobaan. Ini adalah fondasi penting untuk mencapai ketenangan hati dan kebahagiaan sejati, baik di dunia maupun di akhirat.
Shalat Jamaah dan Shalat Jumat : Kajian Kitab Sullamuttaufiq
فَصْلٌ : في الجَماعَةِ والجُمُعَةِالجَماعَةُ على الذُّكُورِ، الأَحْرارِ، المُقِيمِينَ، البالِغِينَ، [العُقَلاءِ]، غَيْرِ المَعْذُورِينَ، فَرْضُ كِفايَةٍ؛ و[الجَماعَةُ] في الجُمُعَةِ فَرْضُ عَيْنٍ عليهم [أي المَذْكُورِينَ]، إذا كانُوا أَرْبَعِينَ، مُكَلَّفِينَ، [مُسْتَوْطِنِينَ]، في أَبْنِيَةٍ [فَلا تَجِبُ على أَهْلِ الخِيامِ]، و[تَجِبُ] على مَنْ نَوَى الإقامَةَ عِنْدَهُمْ أَرْبَعَةَ أيّامٍ صِحاحٍ [أي غَيْرَ يَوْمَيِ الدُّخُولِ والخُرُوجِ]، وعلى مَنْ بَلَغَهُ [بِالقُوَّةِ لا بِالفِعْلِ] نِداءُ صَيِّتٍ مِنْ طَرَفٍ يَلِيهِ مِنْ بَلَدِها؛ وشَرْطُها [أي الجُمُعَةِ]: وَقْتُ الظُّهْرِ، وخُطْبَتانِ قَبْلَها فيه يَسْمَعُهُما الأَرْبَعُونَ [بِالفِعْلِ لو أَصْغَوْا ولم يَكُنْ ضَجَّةٌ ، وأنْ تُصَلَّى جَماعَةً بِهِمْ، وأنْ لا تُقارِنَها [في تَكْبِيرَةِ الإحْرامِ] ولا تَسْبِقَها جُمُعَةٌ بِبَلَدِها [إلّا إذا شَقَّ الاقْتِصارُ على واحِدَةٍ] ،وأَرْكانُ الخُطْبَتَيْنِ: حَمْدُ اللهِ، والصَّلاةُ على النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عليه وسَلَّمَ،والوَصِيَّةُ بَالتَّقْوَى، فيهما [أي أنَّ هٰذه الثّلاثَةَ المُتَقَدِّمَةَ أَرْكانٌ في كُلٍّ مِنَ الخُطْبتَيْنِ]؛ وآيَةٌ مُفْهِمَةٌ، في إحْداهُما؛ والدُّعاءُ لِلْمُؤْمِنِينَ، في الثّانِيَةِ،وشُرُوطُهُما: الطَّهارَةُ عَنِ الحَدَثَيْنِ، وعَنِ النَّجاسَةِ في البَدَنِ والمَكانِ والمَحْمُولِ، وسَتْرُ العَوْرَةِ، والقِيامُ، والجُلُوسُ [قَدْرَ الطُّمَأْنِينَةِ] بَيْنَهُما،والوِلاءُ بَيْنَهُما، [والوِلاءُ بَيْنَ أَرْكانِهِما]، و[الوِلاءُ] بَيْنَهُما وبَيْنَ الصَّلاةِ،وأنْ يَكُونا [أرْكانُهما] بِالعَرَبِيَّةِ.فَصْلٌ : في شُرُوطِ الاقْتِداءِيَجِبُ على مَنْ صَلَّى مُقْتَدِيًا في جُمُعَةٍ أو غَيْرِها: أنْ لا يَتَقَدَّمَ على إمامِهِ في المَوْقِفِ والإحْرامِ، بَلْ تُبْطِلُ المُقارَنَةُ في الإحْرامِ، وتُكْرَهُ في غَيْرِهِ إلّا التَّأْمِينَ، ويَحْرُمُ تَقَدُّمُهُ بِرُكْنٍ فِعْلِيٍّ، وتَبْطُلُ بِرُكْنَيْنِ، وكَذا التَّأَخُّرُ بِهما لِغَيْرِ عُذْرٍ، وبِأَكْثَرَ مِنْ ثَلاثَةِ أَرْكانٍ طَوِيلَةٍ له [أي لِعُذْرٍ]، وأنْ يَعْلَمَ بِانْتِقالاتِ إمامِهِ [بِرُؤْيَتِهِ أو سَماعِ صَوْتِهِ أو رُؤْيَةِ بَعْضِ صَفٍّ يَراهُ أو نَحْوِ ذٰلك]، وأنْ يَجْتَمِعا في مَسْجِدٍ أو ثَلاثِمِائَةِ ذِراعٍ، وأنْ لا يَحُولَ بينهما حائلٌ يَمْنَعُ الاسْتِطْراقَ [أي المُرُورَ العادِيَّ، المُباشِرَ في غَيْرِ مَسْجِدٍ، وغَيْرَ المُباشِرِ في مَسْجِدٍ] ، وأنْ يَتَوافَقَ نَظْمُ صَلاتَيْهِما [فَلا تَصِحُّ صُبْحٌ خَلْفَ جِنازَةٍ مَثَلًا] ، وأنْ لا يَتَخالَفا في سُنَّةٍ تَفْحُشُ المُخالَفَةُ فيها [كَفِعْلِ التَّشَهُّدِ الأَوَّلِ إذا تَرَكَهُ الإمامُ]، وأنْ يَنْوِيَ الاقْتِداءَ مَعَ التَّحَرُّمِ في الجُمُعَةِ [والمُعادَةِ]، و[أنْ يَنْوِيَ الاقْتِداءَ] قَبْلَ المُتابَعَةِ [في فِعْلٍ أو سَلامٍ] وطُولِ الانْتِظارِ [لِأَجْلِ هذه المُتابَعَةِ]، في غَيْرِها [أي الجُمُعَةِ والمُعادَةِ] ، ويَجِبُ على الإمامِ نِيَّةُ الإمامَةِ في الجُمُعَةِ والمُعادَةِ، وتُسَنُّ في غَيْرِهِما.فَصْلٌ : في الجِنازَةِغَسْلُ المَيِّتِ، وتَكْفِينُهُ، والصَّلاةُ عليه، ودَفْنُهُ، فَرْضُ كِفايَةٍ، إذا كانَ مُسْلِمًا وُلِدَ حَيًّا؛ ووَجَبَ لِذِمِّيٍّ تَكْفِينٌ، ودَفْنٌ؛ ولِسِقْطٍ مَيِّتٍ [ظَهَرَ خَلْقُهُ] غَسْلٌ، وكَفْنٌ، ودَفْنٌ؛ ولا يُصَلَّى عليهما [أي الذِّمِّيِّ والسِّقْطِ، فَصَلاةُ الجِنازَةِ على الكافِرِ كُفْرٌ، وعلى السِّقْطِ حَرامٌ]؛ ومَنْ ماتَ في قِتالِ الكُفّارِ بِسَبَبِهِ كُفِّنَ في ثِيابِهِ فَإنْ لم تَكْفِهِ زِيدَ عَلَيْها ودُفِنَ، ولا يُغَسَّلُ ولا يُصَلَّى عليه [أي غَسْلُهُ والصَّلاةُ عليه يَحْرُمانِ]. وأقَلُّ الغَسْلِ: إزالَةُ النَّجاسَةِ، وتَعْمِيمُ جَمِيعِ بَشَرِهِ وشَعَرِهِ وإنْ كَثُفَ مَرَّةً بِالماءِ المُطَهِّرِ. وأقَلُّ الكَفَنِ: ساتِرُ جَمِيعِ البَدَنِ، وثَلاثُ لَفائِفَ لِمَنْ تَرَكَ تَرِكَةً [أي مِيراثًا] زائِدَةً عَنْ دَيْنِهِ ولم يُوصِ بِتَرْكِها [أي بِتَرْكِ الزِّيادَةِ على الواحِدَةِ].وأقَلُّ الصَّلاةِ عليه: أنْ يَنْوِيَ [ذَكَرٌ ولو صَبِيًّا مُمَيِّزًا] فِعْلَ الصَّلاةِ عليه، والفَرْضَ، ويُعَيِّنَ [المَيِّتَ ولو بِالإشارَةِ القَلْبِيَّةِ]، ويَقُولَ: “اللهُ أَكْبَر”، وهو قائمٌ إنْ قَدِرَ، ثُمَّ يَقْرَأَ الفاتِحَةَ، ثُمَّ يَقُولَ: “اللهُ أَكْبَر، اللّٰهُمَّ صَلِّ على مُحَمَّد”، ثُمَّ يَقُولَ: “اللهُ أَكْبَر، اللّٰهُمَّ اغْفِرْ لَهُ وارْحَمْهُ”، ثُمَّ يَقُولَ: “اللهُ أَكْبَر، السَّلامُ عَلَيْكُمْ”، ولا بُدَّ فيها مِنْ شُرُوطِ الصَّلاةِ، وتَرْكِ المُبْطِلاتِ، [وتَقَدُّمِ غُسْلِ المَيِّتِ]. وأقَلُّ الدَّفْنِ: حُفْرَةٌ تَكْتُمُ رائحَتَهُ وتَحْرُسُهُ مِنَ السِّباعِ، ويُسَنُّ أنْ يُعَمَّقَ [القَبْرُ] قَدْرَ قامَةٍ وبَسْطَةٍ، ويُوَسَّعَ، ويَجِبُ تَوْجِيهُهُ [أي المَيِّتِ] إلى القِبْلَةِ.
Pasal: Shalat Jamaah dan Shalat Jumat
Shalat berjamaah hukumnya fardhu kifayah bagi laki-laki yang merdeka, mukim (bukan musafir), baligh, berakal sehat, tidak udzur. Shalat berjamaah pada waktu shalat Jumat hukumnya fardhu ain bagi orang yang (a) memenuhi kriteria di atas; (b) berjumlah 40 orang mukalaf; (c) penduduk tetap. Maka tidak wajib Jumat bagi pemukim kemah (yang berpindah-pindah). Wajib Jumat bagi yang berniat mukim selama empat hari penuh yakni selain dua hari masuk dan keluar. Dan wajib bagi orang yang mendengar suara panggilan adzan dengan kekuatan bukan perbuatan dari satu sisi lokasinya. Syarat Jumat adalah: waktu zhuhur, dua khutbah sebelum shalat yang didengar oleh 40 orang dan dilakukan secara berjamaah. Takbirotul ihram-nya tidak boleh bersamaan dengan atau didahului oleh Jumat di lokasi lain kecuali apabila sulit dilaksanakan dalam satu tempat.
Rukun dua khutbah Jumat adalah memuji pada Allah, shalawat pada Nabi, wasiat takwa dalam kedua khutbah yakni bahwa tiga rukun ini merupakan rukun yang wajib ada pada masing-masing dari kedua khutbah, dan satu ayat Al-Quran di salah satu khutbah, doa untuk umat Islam pada khutbah kedua.
Syarat dua khutbah Jumat adalah: suci dari hadas besar dan kecil, suci dari najis di badan, tempat dan barang yang dibawa, menutup aurat, berdiri, duduk secara tumakninah antara kedua khutbah, bersegera antara dua khutbah, bersegera antara rukun kedua khutbah, bersegera antara dua khutbah dan shalat, dan rukun-rukun khutbah harus dalam bahasa Arab.
Pasal: Syarat Makmum
Wajib bagi makmum yang shalat Jumat atau lainnya untuk tidak mendahului imam dalam tempat berdiri dan takbirotul ihrom bahkan batal shalatnya apabila takbirotul ihromnya bersamaan dan makruh bersamaan di lainnya kecuali bacaan amin. Haram makmum mendahului imam dengan satu rukun fi’li (perbuatan) dan batal dengan mendahului dua rukun begitu juga batal mengakhiri dua rukun tanpa rukun dan lebih dari tiga rukun yang panjang karena udzur. Makmum harus tahu pergerakan imam dengan melihatnya atau mendengar suaranya atau melihat sebagian barisan yang dilihatnya, dll. Makmum dan imam harus berkumpul dalam satu masjid atau tigaratus dzira’. Tidak ada penghalang antara makmum dan imam yang mencegah bisa lewat secara langsung di selain masjid dan tidak langsung di satu masjid. Harus sama jenis shalat keduanya, maka tidak sah makmum shalat subuh pada imam yang shalat jenazah. Tidak boleh berbeda dalam sunnah yang berbeda sangat seperti makmum tahiyat awal sedangkan imam tidak melakukannya. Harus niat jadi makum bersamaan takbirotul ihram pada shalat Jumat dan muadat. Harus niat jadi makmum dalam perbuatan atau salam dan selama menunggu untuk mengikuti pada yang selain Jumat dan muadat. Wajib bagi imam niat menjadi imam pada shalat Jumat dan muadat. Sunnah niat jadi imam di selain Jumat.
Pasal: Jenazah
Memandikan mayit, mengkafani, menyolati dan menguburnya adalah fardhu kifayah apabila ia muslim yang lahir dalam keadaan hidup. Wajib bagi kafir dzimmi dikafani dan dikuburkan. Bagi bayi yang mati keguguran dan sudah tampak bentuknya wajib dimandikan, dikafani, dikubur tapi tidak perlu dishalati untuk keduanya yakni kafir dzimmi dan bayi keguguran. Shalat jenazah bagi orang kafir adalah kufur dan bagi bayi keguguran haram. Barangsiapa yang mati dalam memerangi orang kafir maka dikafani dengan bajunya apabila tidak cukup maka ditambah dan dimakamkan tapi tidak perlu dimandikan dan dishalati yakni memandikan dan menyolati hukumnya haram. Memandikan mayit paling sedikit adalah menghilangkan najis, meratakan seluruh kulit, rambut/bulu walaupun tebal satu kali dengan air yang menyucikan. Kafan paling sedikit adalah menutupi seluruh badan. Tiga lapis bagi yang meninggalkan warisan sebagai tambahan dari hutangnya dan tidak berwasiat meninggalkan tiga lapis.
Shalat paling sedikit adalah niat, walaupun laki-laki masih kecil yang tamyiz, untuk melakukan shalat, menyebut fardhu, menentukan pada mayit walaupun dengan isyarat hati lalu berkata: “Allahu Akbar”. Harus berdiri apabila mampu, lalu membaca Al Fatihah lalu berkata: “Allahu akbar Allahumma shalli ala Muhammad” lalu berkata “Allahu akbar, allahumma ighfir lahu warhamhu” lalu berkata “Allahu akbar, assalamu alaikum”. Wajib bagi yang shalat jenazah memenuhi syarat-syarat shalat dan meninggalkan yang membatalkan shalat dan mendahulukan memandikan mayit. Memendam mayit paling sedikit: satu galian yang dapat menutup baunya dan menjaganya dari binatang buas. Sunnah diperdalam kuburnya seukurang orang berdiri dan diperluas. Wajib menghadapkan mayit ke arah kiblat.
Sumber: alkhoirot.com
29 Juli 2025
Biografi Imam Ahmad Ibn Hanbal
![]() |
Imam Ahmad bin Hanbal: Sang Pembela Sunnah dan Pendiri Mazhab Hanbali
Imam Ahmad bin Hanbal, yang bernama lengkap Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad bin Idris, adalah salah satu ulama terbesar dalam sejarah Islam, dikenal sebagai pendiri mazhab Hanbali, mazhab fikih Sunni keempat yang diakui. Beliau hidup di masa Kekhalifahan Abbasiyah dan dikenal karena keteguhan, kezuhudan, dan kegigihannya dalam membela akidah Ahlussunnah wal Jama'ah.
Masa Kecil dan Remaja: Yatim Piatu dan Haus Ilmu
Imam Ahmad dilahirkan di Baghdad pada bulan Rabiul Awal tahun 164 Hijriah (sekitar 780 Masehi), pada masa pemerintahan Khalifah al-Mahdi dari Dinasti Abbasiyah. Ayahnya, Muhammad as-Syaibani, adalah seorang perwira tentara Abbasiyah. Namun, beliau sudah yatim sejak kecil, karena ayahnya meninggal dunia saat beliau masih sangat muda. Tanggung jawab pendidikan dan pengasuhannya sepenuhnya berada di pundak sang ibu, Safiyyah binti Maimunah binti Abdul Malik asy-Syaibani.
Meskipun hidup dalam kondisi yang serba terbatas dan merasakan beratnya kehidupan, Imam Ahmad kecil menunjukkan kecerdasan luar biasa dan semangat yang tak tergoyahkan dalam menuntut ilmu. Pada usia 15 tahun, beliau sudah hafal Al-Qur'an secara sempurna dan mahir dalam membaca serta menulis, bahkan dikenal memiliki tulisan yang indah. Sejak usia remaja inilah, beliau mulai memusatkan perhatiannya pada ilmu hadis.
Perjalanan Menjadi Ulama Besar: Pengembaraan Mencari Hadis dan Keteguhan Akidah
Imam Ahmad memiliki keyakinan kuat bahwa ilmu pengetahuan tidak mudah didapatkan, sehingga beliau sangat menghormati para ahli ilmu. Semangatnya dalam menuntut ilmu mendorongnya untuk melakukan perjalanan panjang ke berbagai wilayah Islam, termasuk Syam (Suriah), Hijaz (Mekah dan Madinah), Yaman, dan negara-negara lain, demi mengumpulkan hadis-hadis Nabi Muhammad SAW. Diceritakan bahwa beliau pernah membantu petani di perjalanan ke Yaman untuk mendapatkan makanan ketika bekalnya habis.
Beliau belajar dari ribuan guru (disebutkan tidak kurang dari 100 ulama besar), di antaranya adalah:
- Imam Syafi'i: Imam Ahmad adalah salah satu murid terkemuka Imam Syafi'i, yang kemudian menjadi gurunya dalam ilmu fikih.
- Isma'il bin Ulayyah
- Waki' bin Jarrah
- Sufyan bin Uyainah
- Abdurrazzaq bin Hammam
- Abu Yusuf (murid Imam Abu Hanifah)
Kecintaannya pada hadis sangat mendalam. Beliau diperkirakan telah menghafal setidaknya 750.000 hadis, sebuah pencapaian yang melampaui banyak ahli hadis lainnya. Abu Zur'ah bahkan mengatakan bahwa kitab-kitabnya yang berjumlah 12 buah sudah dihafalnya di luar kepala.
Ketokohan Imam Ahmad bukan hanya terletak pada kedalaman ilmunya, tetapi juga pada keteguhan akidahnya. Pada masa kekhalifahan al-Ma'mun, al-Mu'tashim, dan al-Watsiq, terjadi "fitnah penciptaan Al-Qur'an" (mihnah khalq al-Qur'an), di mana aliran Mu'tazilah, yang didukung oleh khalifah, berpendapat bahwa Al-Qur'an adalah makhluk. Imam Ahmad adalah salah satu ulama yang paling gigih menentang pandangan ini, menegaskan bahwa Al-Qur'an adalah Kalamullah (Firman Allah) yang qadim (tidak diciptakan).
Akibat keteguhannya, beliau mengalami siksaan berat, dicambuk, dan dipenjara selama bertahun-tahun. Meskipun banyak ulama lain yang terpaksa mengakui pandangan khalifah demi keselamatan, Imam Ahmad tetap teguh pada pendiriannya. Kegigihan beliau dalam mempertahankan akidah ini menjadikannya simbol Ahlussunnah wal Jama'ah dan dijuluki "Imam Ahlussunnah". Setelah Khalifah al-Mutawakkil naik takhta, fitnah ini dihentikan dan Imam Ahmad dibebaskan, bahkan pemerintah mulai bersimpati kepadanya.
Karya-Karya Monumental dan Warisan Abadi
Meskipun Imam Ahmad dikenal sebagai seorang yang zuhud dan tidak banyak menulis, karya-karya dan pandangan-pandangan beliau didokumentasikan dengan baik oleh murid-muridnya. Karya monumentalnya yang paling terkenal adalah:
- Musnad Ahmad bin Hanbal (Al-Musnad Al-Kabir): Ini adalah ensiklopedia hadis yang sangat besar, berisi lebih dari 27.000 hingga 40.000 hadis. Kitab ini disusun oleh anaknya, Abdullah, dari ceramah dan pelajaran Imam Ahmad. Keistimewaan Musnad adalah hadis-hadis di dalamnya disusun berdasarkan perawi dari kalangan sahabat Nabi SAW, bukan berdasarkan topik fikih.
Selain Musnad, beberapa karya lain yang dinisbatkan kepadanya atau yang merupakan kumpulan dari ajaran-ajarannya antara lain:
- Usul al-Sunnah (Ushul as-Sunnah): Membahas dasar-dasar akidah Ahlussunnah wal Jama'ah.
- Kitab al-Zuhd: Berisi tentang kezuhudan dan nasihat-nasihat spiritual.
- Kitab al-Aqidah: Membahas prinsip-prinsip akidah Islam.
- Kitab al-Iman: Tentang masalah keimanan.
- Kitab al-Fada'il al-Sahaba: Mengulas keutamaan para sahabat Nabi SAW.
- Kitab al-Radd 'ala al-Zanadiqah wa al-Jahmiyyah: Kitab bantahan terhadap kaum zindiq dan Jahmiyyah (salah satu kelompok dalam ilmu kalam).
- Kitab at-Tafsir: Meskipun ada beberapa riwayat yang mengatakan kitab ini hilang.
- Kitab an-Nasikh wa al-Mansukh: Membahas ayat-ayat Al-Qur'an yang saling menasakh (menghapus hukum).
Imam Ahmad bin Hanbal meninggal dunia di Baghdad pada hari Jumat, 12 Rabiul Awal 241 Hijriah (sekitar 4 Agustus 855 Masehi) pada usia 77 tahun. Jenazahnya dimakamkan di Baghdad dan dihadiri oleh lautan manusia yang jumlahnya mencapai ratusan ribu, menunjukkan betapa besar penghormatan umat kepadanya.
Mazhab Hanbali, yang didirikan oleh Imam Ahmad, menjadi salah satu mazhab fikih yang berpengaruh, terutama di Semenanjung Arab (termasuk Arab Saudi), dan merupakan mazhab resmi di Arab Saudi hingga saat ini. Pendekatan mazhab ini cenderung sangat berpegang teguh pada nash (teks) Al-Qur'an dan Sunnah, serta sangat berhati-hati dalam penggunaan akal dan rasionalitas dalam berijtihad, sebagai reaksi terhadap paham-paham yang dianggap menyimpang pada masanya.