وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِّمَّن دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ

30 Juli 2025

Hukum Ternak Babi dalam Islam: Pandangan Ulama dan Implikasinya



Dalam Islam, babi adalah hewan yang diharamkan secara mutlak. Keharaman ini tidak hanya terbatas pada konsumsinya, tetapi juga meluas ke berbagai aspek yang berkaitan dengannya, termasuk ternak dan segala bentuk interaksi dengannya. Berikut adalah penjelasan mengenai hukum ternak babi menurut para ulama, implikasinya bagi para pekerja, serta hukum penghasilannya.

Dalil Keharaman Babi

Keharaman babi dijelaskan secara tegas dalam Al-Qur'an dan diperkuat oleh Hadits Nabi Muhammad SAW. Beberapa ayat Al-Qur'an yang menjadi dasar hukumnya antara lain:

 * QS. Al-Baqarah (2): 173: "Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan (hewan) yang disembelih dengan (menyebut nama) selain Allah. Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang."

 * QS. Al-Ma'idah (5): 3: "Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah..."

 * QS. An-Nahl (16): 115: "Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan (hewan) yang disembelih dengan (menyebut nama) selain Allah. Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang."

Ayat-ayat ini dengan jelas menyatakan keharaman daging babi, namun para ulama sepakat bahwa keharaman ini meliputi seluruh bagian babi, termasuk kulit, tulang, lemak, dan bahkan rambutnya, karena dianggap najis secara keseluruhan.

Hukum Ternak Babi Menurut Pendapat Para Ulama

Mayoritas ulama dari berbagai mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali) sepakat bahwa beternak babi adalah haram. Dasar pelarangan ini adalah:
 * Diharamkannya Daging Babi: Jika memakan dagingnya saja haram, maka segala aktivitas yang mengarah pada penyediaan atau produksi babi, termasuk beternak, juga menjadi haram. Ini didasarkan pada kaidah fikih: "Segala sesuatu yang mengantar kepada yang haram, maka hukumnya haram."

 * Najisnya Babi: Babi termasuk hewan yang najis mughallazhah (najis berat). Berinteraksi langsung dengan babi dalam aktivitas ternak akan selalu melibatkan sentuhan dengan najisnya, yang menuntut proses pensucian khusus. Meskipun najis bisa disucikan, namun secara syariat, memelihara hewan najis untuk tujuan komersial atau selain kepentingan darurat (misalnya penelitian yang disetujui ulama) tidak dibenarkan.

 * Tidak Ada Manfaat Syar'i: Tujuan utama beternak adalah mengambil manfaat dari hewan tersebut, baik untuk dimakan, diperjualbelikan, atau dimanfaatkan bagian tubuhnya. Karena babi diharamkan untuk dikonsumsi dan bagian tubuhnya dianggap najis, maka tidak ada manfaat syar'i yang bisa diambil dari aktivitas beternak babi.

Para ulama juga menyandarkan pada hadits tentang pelarangan penjualan khamr, bangkai, babi, dan berhala. Dari Jabir bin Abdullah RA, bahwa ia mendengar Rasulullah SAW bersabda pada tahun penaklukan Mekah: "Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya mengharamkan jual beli khamr, bangkai, babi dan berhala." (HR. Bukhari dan Muslim). Meskipun hadits ini berbicara tentang jual beli, namun implikasinya adalah bahwa memelihara atau memproduksinya untuk tujuan jual beli juga haram.

Hukum Penghasilan (Gaji) Bagi Pekerja Ternak Babi

Karena aktivitas beternak babi dihukumi haram, maka secara otomatis penghasilan yang didapat dari pekerjaan tersebut juga dihukumi haram. Ini karena gaji atau upah tersebut berasal dari transaksi atau pekerjaan yang tidak sesuai dengan syariat Islam.

 * Prinsip Umum: Dalam Islam, penghasilan harus diperoleh dari sumber yang halal dan melalui cara yang halal pula. Pekerjaan yang haram akan menghasilkan penghasilan yang haram.

 * Implikasi: Jika seorang Muslim bekerja di peternakan babi, maka ia secara langsung terlibat dalam aktivitas yang diharamkan. Penghasilan yang ia terima dari pekerjaan tersebut, meskipun mungkin digunakan untuk kebutuhan sehari-hari, tetap dikategorikan sebagai penghasilan yang tidak berkah dan wajib untuk dihindari.

 * Nasihat Ulama: Para ulama akan menasihati Muslim yang bekerja di sektor ini untuk segera mencari pekerjaan lain yang halal. Jika terpaksa karena belum menemukan pekerjaan lain, mereka harus berusaha keras mencari alternatif, bertaubat, dan memperbanyak istighfar. Sebagian ulama juga menyarankan agar penghasilan dari pekerjaan haram tersebut tidak dimakan secara langsung, melainkan disalurkan untuk kepentingan umum atau fakir miskin dengan niat membersihkan harta, tanpa berharap pahala dari penyaluran tersebut.

Kesimpulan

Berdasarkan dalil-dalil Al-Qur'an dan Hadits, serta ijma' (konsensus) sebagian besar ulama, hukum ternak babi adalah haram. Konsekuensinya, bekerja di peternakan babi bagi seorang Muslim juga haram, dan penghasilan yang didapatkan dari pekerjaan tersebut adalah penghasilan yang haram. Umat Islam dianjurkan untuk menjauhi segala bentuk transaksi dan pekerjaan yang berkaitan dengan babi demi menjaga kesucian harta dan keberkahan hidup.

Share:

Bagaimana Hukum Rokok ?



Rokok adalah gulungan tembakau yang dibungkus kertas atau daun, yang biasa dihisap dengan membakar salah satu ujungnya. Praktik merokok ini telah menjadi bagian dari kebudayaan di berbagai belahan dunia, namun membawa dampak kesehatan yang serius.

Apakah Ada Rokok di Zaman Nabi?

Tidak ada rokok di zaman Nabi Muhammad SAW. Tembakau, bahan dasar rokok, berasal dari benua Amerika dan baru diperkenalkan ke dunia Barat (Eropa) setelah kedatangan Christopher Columbus pada akhir abad ke-15. Dari Eropa, tembakau kemudian menyebar ke berbagai belahan dunia, termasuk dunia Islam, jauh setelah masa kenabian. Oleh karena itu, tidak ada pembahasan eksplisit mengenai rokok dalam Al-Qur'an dan Hadits.

Kapan Mulai Ada Rokok?

Sejarah penggunaan tembakau dimulai ribuan tahun yang lalu, sekitar 4.000 tahun sebelum Masehi, di Amerika Selatan. Pada awalnya, tembakau digunakan dalam ritual spiritual dan pengobatan, baik dengan cara dihisap maupun dikunyah.
Tembakau baru diperkenalkan ke Eropa pada abad ke-16 oleh penjelajah Eropa. Kemudian, pada abad ke-17, tembakau dibawa ke Indonesia oleh penjajah Portugis dan Belanda. Inovasi pembuatan rokok modern, yaitu tembakau yang dilinting dengan kertas, mulai berkembang pada abad ke-19. Di Indonesia sendiri, rokok kretek mulai dikembangkan sekitar tahun 1870 oleh Haji Djamhari di Kudus.

Dampak Rokok Bagi Kesehatan

Rokok mengandung ribuan zat kimia berbahaya, di antaranya nikotin, tar, dan karbon monoksida, yang sangat merugikan kesehatan. Dampak negatif rokok terbagi menjadi:

 * Dampak pada Perokok Aktif:

   * Penyakit Paru-paru: Kanker paru-paru, emfisema (kerusakan kantung udara paru-paru), bronkitis kronis (peradangan permanen saluran pernapasan), PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronis), TBC, dan pneumonia. Rokok menyebabkan perubahan struktur dan fungsi saluran napas serta jaringan paru-paru.

   * Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah: Penyakit jantung koroner, stroke, tekanan darah tinggi, dan aterosklerosis (pengerasan pembuluh darah). Nikotin dapat mengganggu irama jantung dan menyebabkan penyempitan pembuluh darah. Karbon monoksida mengurangi pasokan oksigen ke jantung.

   * Kanker Lain: Kanker mulut, bibir, kerongkongan, laring, esofagus, pankreas, ginjal, kandung kemih, dan leukemia. Tar dalam rokok dapat merusak sel-sel dan menyebabkan pertumbuhan sel ganas.

   * Masalah Penglihatan: Glaucoma, katarak, dan degenerasi makula terkait usia, yang dapat menyebabkan kebutaan permanen.

   * Masalah pada Sistem Saraf Pusat: Nikotin bersifat adiktif dan dapat menyebabkan ketergantungan serta memengaruhi suasana hati.

   * Gangguan Reproduksi: Impotensi pada pria, penurunan kualitas sperma, dan masalah kesuburan. Pada wanita hamil, merokok dapat menyebabkan bayi lahir dengan berat badan rendah (BBLR) dan risiko keguguran.

   * Dampak Lain: Kerusakan gigi dan gusi, penuaan dini pada kulit, melemahnya sistem kekebalan tubuh, dan peningkatan risiko diabetes.

 * Dampak pada Perokok Pasif:

   Asap rokok yang dihirup oleh orang di sekitar perokok (perokok pasif) bahkan lebih berbahaya dibandingkan asap yang dihisap langsung oleh perokok aktif. Data menunjukkan bahwa sekitar 1,2 juta kematian di seluruh dunia setiap tahun disebabkan oleh paparan asap rokok pasif, termasuk penyakit jantung, kanker paru-paru, dan infeksi saluran pernapasan bawah. Anak-anak dan bayi sangat rentan terhadap dampak perokok pasif.

Apakah Ada Manfaat Rokok?

Secara medis dan ilmiah, tidak ada manfaat rokok bagi kesehatan. Klaim seperti merokok dapat menghilangkan stres, meningkatkan fokus, atau memberikan kenikmatan adalah efek sementara yang disebabkan oleh nikotin yang memicu pelepasan hormon dopamin di otak. Namun, efek ini bersifat adiktif dan justru membuat perokok ketergantungan. Dalam jangka panjang, rokok justru meningkatkan risiko gangguan mood seperti depresi dan kecemasan. Beberapa klaim yang pernah beredar mengenai manfaat rokok (misalnya untuk kolitis ulserativa atau Parkinson) telah dibantah oleh penelitian lebih lanjut atau disertai dengan risiko kesehatan lain yang jauh lebih besar.

Bagaimana Pendapat Para Ulama Tentang Hukum Rokok?

Meskipun rokok tidak ada di zaman Nabi SAW, para ulama melakukan ijtihad (penalaran hukum) dengan merujuk pada prinsip-prinsip syariat Islam. Ada beberapa pandangan di kalangan ulama mengenai hukum rokok, namun mayoritas ulama kontemporer cenderung mengharamkannya:

 * Haram: Ini adalah pendapat mayoritas ulama kontemporer dan menjadi pandangan dominan di banyak lembaga fatwa Islam, termasuk Majelis Ulama Indonesia (MUI).

   * Alasan:
     * Membahayakan Kesehatan (Dharar): Dalil utama adalah kaidah fikih "لا ضرر ولا ضرار" (Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh membahayakan orang lain). Rokok terbukti secara ilmiah membahayakan kesehatan perokok aktif dan perokok pasif, menyebabkan berbagai penyakit mematikan. Allah SWT berfirman: "...dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan..." (QS. Al-Baqarah: 195).

     * Pemborosan Harta (Tabdzir): Merokok dianggap sebagai pemborosan harta pada sesuatu yang tidak memberikan manfaat, bahkan mudarat. Allah SWT berfirman: "...dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan..." (QS. Al-Isra': 26-27).

     * Memabukkan atau Membiuskan (Iskaar): Meskipun rokok tidak memabukkan seperti khamr, nikotin memiliki efek candu yang serupa dengan sifat membius, menyebabkan ketergantungan dan hilangnya kontrol diri dalam arti tertentu.

     * Mempunyai Bau Tidak Sedap: Asap rokok dapat mengganggu orang lain, terutama di tempat ibadah atau perkumpulan.
 * Makruh: Beberapa ulama terdahulu dan sebagian kecil ulama kontemporer berpendapat hukumnya makruh (dianjurkan untuk ditinggalkan).

   * Alasan: Mereka menganggap bahaya rokok relatif kecil atau belum ada bukti ilmiah yang sekuat sekarang pada masa mereka. Mereka berpegang pada kaidah "hukum asal sesuatu adalah mubah (boleh) sampai ada dalil yang mengharamkan". Namun, dengan bukti medis yang semakin kuat, pandangan ini semakin ditinggalkan.

 * Mubah (Boleh): Ini adalah pandangan yang sangat jarang dipegang oleh ulama dan umumnya merupakan pendapat yang sudah tidak relevan lagi mengingat perkembangan ilmu pengetahuan tentang bahaya rokok.

Pendapat Ulama Kontemporer:
Mayoritas ulama kontemporer dari berbagai mazhab dan lembaga fatwa (seperti MUI di Indonesia, ulama-ulama dari Al-Azhar, fatwa Majelis Fiqih Sedunia) cenderung sepakat bahwa rokok hukumnya haram. Mereka mendasarkan fatwa ini pada bukti medis yang tak terbantahkan mengenai dampak buruk rokok terhadap kesehatan.

Contoh Fatwa MUI:
MUI pada tahun 2009 mengeluarkan fatwa yang mengharamkan rokok di tempat umum, bagi anak-anak dan wanita hamil. Meskipun fatwa ini tidak secara mutlak mengharamkan rokok bagi semua, namun sudah menjadi langkah besar untuk melindungi masyarakat dari bahaya rokok. Banyak ulama di Indonesia juga secara personal mengeluarkan fatwa haram mutlak berdasarkan dalil-dalil di atas.

Data Pengaruh Negatif Rokok Terhadap Kesehatan di Indonesia
Indonesia memiliki salah satu prevalensi perokok tertinggi di dunia. Data menunjukkan bahwa:

 * Penyakit Kritis: Rokok adalah faktor risiko utama untuk berbagai penyakit kronis dan mematikan di Indonesia, seperti kanker (terutama kanker paru-paru dan nasofaring), penyakit jantung koroner, stroke, PPOK, dan diabetes

 * Kematian Dini: Jutaan orang Indonesia meninggal setiap tahun akibat penyakit yang berhubungan dengan merokok. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan bahwa tembakau membunuh lebih dari 8 juta orang setiap tahun secara global.

 * Beban Ekonomi: Merokok juga membebani sistem kesehatan negara dengan biaya pengobatan yang tinggi untuk penyakit terkait rokok. Selain itu, hilangnya produktivitas akibat sakit dan kematian dini perokok juga merupakan kerugian ekonomi.

 * Perokok Pasif: Tingginya jumlah perokok aktif di Indonesia juga berarti banyak penduduk yang menjadi perokok pasif, terutama wanita dan anak-anak di rumah, yang meningkatkan risiko mereka terhadap berbagai penyakit.

Kesimpulan

Rokok adalah produk yang mengandung zat-zat adiktif dan sangat berbahaya bagi kesehatan, baik bagi perokok aktif maupun pasif. Ia tidak memiliki manfaat medis yang terbukti. Keberadaannya baru muncul jauh setelah zaman Nabi Muhammad SAW.
Melihat banyaknya dalil dari Al-Qur'an dan Hadits yang melarang segala sesuatu yang membahayakan diri dan orang lain, serta memboroskan harta, mayoritas ulama kontemporer telah sepakat bahwa hukum rokok adalah haram. Pendapat ini didukung kuat oleh data ilmiah dan medis yang tak terbantahkan mengenai dampak negatif rokok terhadap kesehatan. Oleh karena itu, menjauhi rokok adalah pilihan yang bijak dan selaras dengan ajaran Islam untuk menjaga kesehatan diri, keluarga, dan masyarakat.

Share:

Hukum Solat Berjama'ah



Shalat berjamaah merupakan salah satu syiar Islam yang memiliki keutamaan besar. Mengenai hukumnya, terdapat perbedaan pandangan di kalangan ulama, namun mayoritas sepakat akan keutamaannya. Mari kita telaah lebih lanjut:

1. Hukum Shalat Berjamaah Menurut Hadits

Banyak hadits Nabi Muhammad SAW yang menekankan pentingnya shalat berjamaah dan keutamaannya. Beberapa di antaranya adalah:
 * Keutamaan Pahala: Dari Abdullah bin Umar RA, Rasulullah SAW bersabda, "Shalat berjamaah lebih utama dua puluh tujuh derajat dibandingkan shalat sendirian." (HR. Bukhari dan Muslim). Hadits lain menyebutkan, "Manusia yang paling besar pahalanya dalam mengerjakan shalat adalah yang paling jauh jalannya, kemudian yang lebih jauh lagi. Orang yang menunggu pelaksanaan shalat, sehingga dia mengerjakannya bersama imam, adalah lebih besar pahalanya daripada orang yang mengerjakan shalat kemudian tidur." (HR. Muslim).

 * Perintah dan Ancaman: Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda, "Demi jiwaku yang berada di tangan-Nya, sungguh aku bertekad untuk menyuruh pengumpulan kayu bakar, kemudian aku suruh seseorang adzan untuk shalat dan seseorang untuk mengimami manusia, kemudian aku pergi kepada orang-orang yang tidak ikut shalat, kemudian aku bakar rumah mereka." (Muttafaq 'alaih). Hadits ini menunjukkan ketegasan Nabi terhadap orang yang meninggalkan jamaah tanpa udzur.

 * Tidak Sah Shalat Tanpa Udara Syar'i: Dari Ibnu Abbas RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Siapa yang mendengar azan tapi tidak mendatanginya, maka tidak ada lagi shalat untuknya, kecuali karena ada uzur." (HR Ibnu Majah, Ad-Daruquthuny, Ibnu Hibban dan Al-Hakim). Hadits ini sering dijadikan dalil oleh ulama yang berpendapat wajibnya shalat berjamaah.

 * Pandangan Sahabat Terhadap Orang yang Tidak Berjamaah: Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhu mengatakan, "Aku melihat bahwa kami (para sahabat) memandang orang yang tidak shalat berjamaah sebagai orang munafik, atau sedang sakit." (HR. Muslim). Ini menunjukkan betapa pentingnya shalat berjamaah di mata para sahabat.

2. Pendapat Para Ulama Mazhab

Perbedaan pendapat ulama mengenai hukum shalat berjamaah umumnya berkisar antara wajib ('ain/kifayah) atau sunnah muakkadah:

 * Mazhab Hanafi: Berpendapat shalat berjamaah hukumnya wajib (seperti sunnah muakkadah dalam mazhab lain) bagi laki-laki yang berakal, merdeka, dan mampu berjalan ke masjid. Namun, tidak wajib bagi perempuan, anak-anak, orang gila, hamba sahaya, atau orang sakit yang tidak mampu ke masjid.

 * Mazhab Maliki: Berpendapat shalat berjamaah hukumnya sunnah muakkadah (sangat dianjurkan). Mereka berpegang pada hadits-hadits keutamaan shalat berjamaah.

 * Mazhab Syafi'i: Berpendapat shalat berjamaah hukumnya fardhu kifayah bagi muslim laki-laki yang mukim (menetap). Artinya, jika sudah ada sebagian kaum muslimin yang melaksanakannya di masjid sebagai syiar agama, maka gugurlah kewajiban bagi yang lain. Namun, jika tidak ada yang melaksanakannya secara berjamaah di masjid, maka seluruhnya berdosa. Bagi laki-laki, melaksanakan shalat berjamaah di masjid lebih utama daripada di rumah atau di tempat lain.

 * Mazhab Hanbali: Berpendapat shalat berjamaah hukumnya wajib (fardhu 'ain) bagi laki-laki yang telah baligh dan tidak memiliki udzur syar'i. Mereka berpegang pada dalil-dalil keras dari hadits Nabi SAW tentang ancaman bagi yang meninggalkannya. Meskipun demikian, jika seseorang shalat sendirian, shalatnya tetap sah, namun ia berdosa karena meninggalkan kewajiban berjamaah.

3. Kisah Jamaah Nabi dan Sahabat

Kehidupan Nabi Muhammad SAW dan para sahabat adalah teladan nyata tentang pentingnya shalat berjamaah:

 * Nabi Selalu Berjamaah: Rasulullah SAW senantiasa melaksanakan shalat berjamaah, bahkan dalam kondisi sakit sekalipun. Ketika beliau sakit parah menjelang wafat, beliau tetap berusaha untuk hadir di masjid dan shalat berjamaah, bahkan sampai dipapah oleh para sahabat. Ini menunjukkan betapa besar perhatian beliau terhadap shalat berjamaah.

 * Kisah Ibnu Ummi Maktum: Seorang sahabat yang buta, Ibnu Ummi Maktum, pernah meminta izin kepada Nabi untuk tidak shalat berjamaah di masjid karena kondisinya dan tidak ada penuntun. Nabi SAW bertanya, "Apakah engkau mendengar azan?" Ibnu Ummi Maktum menjawab, "Ya." Nabi SAW bersabda, "Kalau begitu penuhilah seruan tersebut (hadiri jamaah shalat)." Kisah ini sering dijadikan dalil kuat bagi wajibnya shalat berjamaah bagi laki-laki.

 * Kasus Mu'adz bin Jabal: Mu'adz bin Jabal pernah mengimami shalat Isya setelah shalat bersama Nabi. Ia membaca surat yang panjang, sehingga ada makmum yang memisahkan diri dari jamaah dan shalat sendiri. Hal ini sampai ke telinga Nabi, dan Nabi menegur Mu'adz agar tidak memanjangkan bacaan shalatnya dan menyusahkan makmum. Kisah ini menunjukkan bahwa dalam kondisi tertentu, seperti imam terlalu memanjangkan bacaan yang memberatkan, makmum memiliki udzur untuk tidak melanjutkan berjamaah.

 * Abdurrahman bin Auf Menjadi Imam Nabi: Dalam suatu kesempatan, Rasulullah SAW terlambat datang ke masjid. Abdurrahman bin Auf pun maju mengimami shalat. Ketika Nabi tiba, beliau bergabung sebagai makmum. Ini adalah salah satu momen langka di mana seorang sahabat menjadi imam bagi Rasulullah, menunjukkan fleksibilitas dalam berjamaah dan keutamaan para sahabat.

4. Pendapat Para Ulama Kekinian (Kontemporer)

Ulama kontemporer umumnya tetap berpegang pada dalil-dalil klasik dan pendapat mazhab yang ada. Mayoritas ulama kekinian cenderung memperkuat pandangan bahwa shalat berjamaah adalah suatu keharusan bagi laki-laki muslim yang mampu, atau minimal sangat ditekankan (sunnah muakkadah) dengan pahala yang berlipat ganda.

 * Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi (dari kalangan ulama yang lebih menekankan pada wajibnya) menyatakan hukum shalat berjamaah adalah fardhu 'ain bagi pria yang telah terkena kewajiban shalat, kecuali ada halangan.

 * Syaikh Wahbah Az-Zuhaili dalam kitabnya Fiqhul Islam wa Adillatuhu menyatakan secara umum hukum shalat berjamaah adalah sunnah muakkadah, namun dengan penekanan yang sangat kuat.

 * Para ulama kontemporer juga menekankan aspek syiar Islam dan persatuan umat yang terkandung dalam shalat berjamaah. Mereka melihat bahwa shalat berjamaah di masjid adalah bentuk nyata dari kekuatan dan persatuan umat Islam.

Kesimpulan

Meskipun ada perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai status hukumnya (wajib 'ain, fardhu kifayah, atau sunnah muakkadah), semua sepakat bahwa shalat berjamaah memiliki keutamaan yang sangat besar dan sangat dianjurkan. Nabi Muhammad SAW dan para sahabat tidak pernah meninggalkannya kecuali karena udzur syar'i. Bagi seorang Muslim, khususnya laki-laki, berusaha keras untuk senantiasa melaksanakan shalat berjamaah di masjid adalah bentuk ketaatan dan kecintaan kepada agama, serta upaya meraih pahala berlipat ganda dari Allah SWT.

Share:

Sabar : Kunci Menghadapi Cobaan Hidup

 

Pak Sabar

Hidup ini adalah serangkaian ujian dan cobaan. Suka dan duka silih berganti, kebahagiaan dan kesulitan datang silih berganti. Dalam menghadapi gejolak kehidupan ini, ada satu sikap mulia yang menjadi kunci utama untuk tetap tegar dan bahkan tumbuh lebih kuat: sabar. Sabar bukanlah pasif, menunggu tanpa berbuat apa-apa. Sebaliknya, sabar adalah ketahanan jiwa, keberanian untuk tetap berpegang pada keyakinan di tengah badai, dan kemampuan untuk melihat hikmah di balik setiap kesulitan.

Al-Qur'an dan Hadis banyak sekali menyebutkan keutamaan dan pentingnya sabar. Berikut beberapa di antaranya:

  • Al-Qur'an:

    • Allah SWT berfirman dalam Surah Al-Baqarah ayat 153:

      يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ ۚ إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ

      Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar." Ayat ini secara tegas menunjukkan bahwa sabar adalah salah satu pilar utama bagi seorang mukmin untuk menghadapi tantangan hidup.

    • Dalam Surah Az-Zumar ayat 10, Allah SWT juga berfirman:

      إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُم بِغَيْرِ حِسَابٍ

      Artinya: "Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas." Ini menunjukkan betapa besarnya ganjaran bagi mereka yang sabar, bahkan pahala yang tak terhingga.

    • Dan masih banyak lagi ayat lain seperti dalam Surah Al-Anfal ayat 46, Surah Yunus ayat 109, dan Surah Al-Asr yang secara tidak langsung menekankan pentingnya kesabaran.

  • Hadis:

    • Rasulullah SAW bersabda: "Tidaklah seorang Muslim ditimpa suatu musibah, baik berupa kelelahan, penyakit, kesusahan, kesedihan, gangguan, hingga duri yang menusuknya, melainkan Allah akan menghapuskan dosa-dosanya dengan sebab itu." (HR. Bukhari dan Muslim). Hadis ini mengindikasikan bahwa cobaan adalah sarana penghapus dosa, dan dibutuhkan kesabaran untuk melihatnya demikian.

    • Rasulullah SAW juga bersabda: "Barangsiapa yang berusaha untuk sabar, maka Allah akan menjadikannya sabar. Dan tidaklah seseorang diberi suatu pemberian yang lebih baik dan lebih luas daripada kesabaran." (HR. Bukhari dan Muslim). Hadis ini menunjukkan bahwa sabar adalah sebuah anugerah, dan bisa diupayakan serta dilatih.

Manfaat Sabar bagi Kejiwaan

Kesabaran bukan hanya tentang pahala di akhirat, tetapi juga memberikan dampak positif yang signifikan pada kesehatan mental dan kejiwaan kita di dunia ini:

  • Mengurangi Stres dan Kecemasan: Ketika menghadapi masalah dengan sabar, kita cenderung tidak panik atau terburu-buru. Ini membantu menenangkan pikiran dan mengurangi tingkat stres serta kecemasan yang berlebihan.

  • Meningkatkan Resiliensi: Sabar membangun daya tahan mental. Kita belajar untuk bangkit kembali setelah jatuh, melihat kegagalan sebagai pelajaran, dan tidak mudah menyerah.

  • Mengembangkan Perspektif Positif: Dengan sabar, kita melatih diri untuk melihat sisi positif atau hikmah di balik setiap cobaan. Ini mengubah cara pandang kita dari yang negatif menjadi lebih konstruktif.

  • Meningkatkan Kualitas Hidup: Orang yang sabar cenderung lebih tenang, bahagia, dan mampu menikmati hidup tanpa terus-menerus terbebani oleh masalah. Mereka lebih mudah beradaptasi dengan perubahan.

  • Memperkuat Hubungan Sosial: Kesabaran dalam menghadapi perilaku orang lain, kritik, atau perselisihan dapat membantu menjaga dan bahkan memperkuat hubungan, baik dalam keluarga, pertemanan, maupun pekerjaan.

  • Mencapai Tujuan Jangka Panjang: Banyak tujuan besar dalam hidup membutuhkan proses dan waktu yang panjang. Kesabaran adalah kunci untuk tetap konsisten dan tidak mudah putus asa di tengah jalan.

Teladan Para Nabi dan Ulama dalam Kesabaran

Sejarah Islam penuh dengan kisah-kisah luar biasa tentang kesabaran para nabi dan ulama dalam menghadapi cobaan:

  • Nabi Ayub AS: Beliau adalah teladan utama kesabaran. Setelah kehilangan harta benda, keluarga, dan kesehatannya, Nabi Ayub tetap bersabar dan terus memohon kepada Allah, hingga akhirnya Allah mengembalikan semua yang hilang bahkan melipatgandakannya. Kisahnya menjadi simbol ketahanan yang tak tergoyahkan.

  • Nabi Muhammad SAW: Beliau menghadapi berbagai cobaan berat sepanjang hidupnya, mulai dari penolakan, penganiayaan, fitnah, hingga perang. Namun, beliau tetap teguh dalam dakwahnya, memaafkan musuh-musuhnya, dan tidak pernah goyah dalam keyakinannya. Kesabaran beliau adalah inspirasi bagi seluruh umat.

  • Imam Ahmad bin Hanbal: Beliau adalah salah satu imam mazhab yang terkenal dengan kesabarannya dalam menghadapi cobaan berat fitnah khalqul Qur'an. Beliau dipenjara, dicambuk, dan disiksa, namun tetap mempertahankan keyakinannya bahwa Al-Qur'an adalah kalamullah yang bukan makhluk. Keteguhan dan kesabarannya menjadi pelajaran berharga bagi umat Islam.

  • Maryam binti Imran (Bunda Isa AS): Beliau menghadapi cobaan yang sangat berat ketika dituduh berzina setelah mengandung Nabi Isa AS tanpa seorang suami. Dengan kesabaran dan keimanan yang kuat, beliau menyerahkan segala urusannya kepada Allah, dan Allah pun membela beliau melalui mukjizat Nabi Isa yang berbicara saat bayi.


Sabar adalah mutiara berharga dalam kehidupan seorang Muslim. Ia bukan hanya sebuah konsep teoritis, melainkan sebuah praktik nyata yang harus terus dilatih dan diterapkan dalam setiap aspek kehidupan. Dengan sabar, kita tidak hanya akan mampu melewati cobaan, tetapi juga akan menemukan kedamaian, kekuatan, dan keberkahan di dalamnya. Mari kita jadikan sabar sebagai teman setia dalam perjalanan hidup ini, karena sesungguhnya, Allah bersama orang-orang yang sabar.

Sumber : Mbah Sabar

Share:

Kalam #1 : Kajian Kitab Al Hikam



 Kalam Hikmah Pertama Kitab Al-Hikam:

"مِنْ عَلاَمَةِ الاِعْتِمَادِ عَلَى الْعَمَلِ نُقْصَانُ الرَّجَاءِ عِنْدَ وجود الزلل"


Terjemah:

"Di antara tanda bergantung pada amal perbuatan adalah kurangnya harapan (putus asa) ketika tergelincir (berbuat dosa/gagal)."

Penjelasan

Kalam hikmah ini adalah fondasi penting dalam memahami konsep tawakal dan keikhlasan dalam beribadah. Imam Ibnu Atha'illah ingin menyampaikan bahwa ketergantungan sejati seorang hamba seharusnya hanya kepada Allah SWT, bukan kepada amal perbuatan yang dilakukannya. Jika seseorang terlalu bergantung pada amalnya, maka ketika ia tergelincir, berbuat dosa, atau mengalami kegagalan, ia akan mudah putus asa. Ini menunjukkan bahwa harapannya bukan pada rahmat Allah, melainkan pada kesempurnaan amalnya sendiri. Padahal, amal kita, sekecil apa pun, tidak akan pernah mampu menandingi luasnya rahmat dan ampunan Allah.

Ayat Al-Qur'an yang Relevan

Surah Az-Zumar (39): Ayat 53

قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَىٰ أَنفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِن رَّحْمَةِ اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا ۚ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ

Terjemah:

"Katakanlah (Muhammad), 'Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri (berbuat dosa), janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sungguh, Dialah Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang.'"

Relevansi:

Ayat ini secara langsung menegaskan bahwa putus asa dari rahmat Allah adalah sesuatu yang terlarang, bahkan bagi mereka yang telah banyak berbuat dosa. Ini sangat sejalan dengan kalam hikmah pertama yang melarang ketergantungan pada amal dan menganjurkan untuk selalu berharap kepada rahmat Allah, terlepas dari segala kekurangan dan kegaguran kita.

Hadis yang Sejalan

Hadis Qudsi (Riwayat Muslim):

Dari Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Allah Ta'ala berfirman:

يَا ابْنَ آدَمَ إِنَّكَ مَا دَعَوْتَنِي وَرَجَوْتَنِي غَفَرْتُ لَكَ عَلَى مَا كَانَ مِنْكَ وَلَا أُبَالِي، يَا ابْنَ آدَمَ لَوْ بَلَغَتْ ذُنُوبُكَ عَنَانَ السَّمَاءِ ثُمَّ اسْتَغْفَرْتَنِي غَفَرْتُ لَكَ وَلَا أُبَالِي، يَا ابْنَ آدَمَ إِنَّكَ لَوْ أَتَيْتَنِي بِقُرَابِ الْأَرْضِ خَطَايَا ثُمَّ لَقِيتَنِي لَا تُشْرِكُ بِي شَيْئًا لَغَفَرْتُ لَكَ بِقُرَابِهَا."

Terjemah:

"Wahai anak Adam, sesungguhnya engkau selama berdoa kepada-Ku dan mengharap kepada-Ku, niscaya Aku akan mengampuni bagimu dosa-dosa yang ada padamu dan Aku tidak peduli. Wahai anak Adam, seandainya dosa-dosamu mencapai puncak langit, kemudian engkau memohon ampun kepada-Ku, niscaya Aku akan mengampunimu dan Aku tidak peduli. Wahai anak Adam, seandainya engkau datang kepada-Ku dengan membawa dosa sepenuh bumi, kemudian engkau bertemu dengan-Ku dalam keadaan tidak menyekutukan-Ku sedikit pun, niscaya Aku akan mengampunimu dosa sepenuh bumi itu."

Relevansi:

Hadis Qudsi ini sangat kuat dalam menekankan luasnya ampunan dan rahmat Allah. Ini menjadi penawar bagi siapa saja yang merasa putus asa karena dosa-dosanya. Hadis ini mengajarkan kita untuk senantiasa berharap kepada Allah dan tidak bergantung pada amal kita yang terbatas, melainkan pada kemurahan-Nya.

Pengalaman Para Anbiya, Ulama, dan Auliya

1. Para Anbiya (Nabi-Nabi)

 * Nabi Adam AS: Setelah tergelincir dari surga, Nabi Adam tidak putus asa. Beliau dan Hawa segera memohon ampun kepada Allah dengan penuh penyesalan, "Rabbana zhalamna anfusana wa in lam taghfir lana wa tarhamna lanakunanna minal khāsirīn." (QS. Al-A'raf: 23). Ini menunjukkan bahwa kesalahan tidak boleh menjadi alasan untuk putus asa, melainkan harus menjadi pemicu untuk kembali kepada Allah.

 * Nabi Yunus AS: Ketika ditelan ikan, Nabi Yunus tidak putus asa. Beliau menyadari kesalahannya dan berdoa dalam kegelapan, "La ilaha illa anta subhanaka inni kuntu minaz zhalimin." (QS. Al-Anbiya: 87). Doa ini adalah ekspresi tawakal dan harapan penuh pada rahmat Allah, meskipun dalam kondisi yang sangat sulit.

2. Para Ulama

 * Imam Abu Hanifah: Beliau dikenal sebagai pribadi yang sangat tawadhu' dan tidak pernah merasa cukup dengan ilmunya atau amalnya. Beliau selalu menekankan pentingnya takut kepada Allah namun juga tidak putus asa dari rahmat-Nya.

 * Imam Syafi'i: Dalam banyak doanya, Imam Syafi'i senantiasa merendahkan diri di hadapan Allah dan memohon ampunan-Nya, menyadari bahwa amal yang dilakukannya tidak seberapa dibandingkan dengan karunia Allah. Beliau tidak pernah bergantung pada kesempurnaan ilmunya, melainkan pada pertolongan Allah.

3. Para Auliya (Wali-Wali Allah)

 * Rabiah Al-Adawiyah: Beliau adalah contoh nyata seorang yang mencintai Allah dengan cinta yang tulus, tidak mengharapkan surga dan tidak takut neraka, melainkan hanya ingin meraih ridha Allah. Ketika berbuat dosa atau merasa kurang dalam ibadah, beliau segera kembali kepada Allah dengan penyesalan yang tulus dan harapan akan ampunan-Nya, tanpa sedikitpun putus asa.

 * Syekh Abdul Qadir Al-Jailani: Beliau mengajarkan murid-muridnya untuk senantiasa berdzikir dan beristighfar, serta tidak pernah putus asa dari rahmat Allah meskipun telah berbuat banyak dosa. Beliau menekankan bahwa pintu taubat Allah selalu terbuka lebar.

Aplikasi di Zaman Sekarang

Kalam hikmah ini sangat relevan dan penting untuk diterapkan di zaman sekarang yang penuh dengan tekanan, kompetisi, dan ekspektasi yang tinggi:

 * Menghindari Perfeksionisme yang Merusak: Banyak orang di zaman sekarang terjebak dalam lingkaran perfeksionisme, baik dalam pekerjaan, studi, maupun ibadah. Ketika gagal mencapai standar yang ditetapkan, mereka mudah stres, cemas, bahkan depresi. Kalam hikmah ini mengajarkan kita untuk tidak terlalu bergantung pada hasil (amal), melainkan pada proses dan niat yang tulus. Jika gagal, bangkit dan perbaiki, jangan putus asa.

 * Membangun Mentalitas "Growth Mindset" dalam Ibadah: Daripada merasa putus asa ketika sholat tidak khusyuk atau hafalan Al-Qur'an sering lupa, fokuslah pada upaya untuk terus memperbaiki dan mendekatkan diri kepada Allah. Sadari bahwa Allah melihat usaha kita, bukan hanya hasil yang sempurna. Ini menumbuhkan mentalitas berkembang dalam beribadah.

 * Mengatasi Kegagalan dan Keterpurukan: Dalam dunia yang serba cepat ini, kegagalan adalah hal yang lumrah. Baik itu kegagalan bisnis, putus cinta, atau kegagalan akademis. Jika kita terlalu bergantung pada hasil upaya kita, kegagalan akan mudah membuat kita putus asa. Kalam hikmah ini mengingatkan bahwa harapan sejati harus diletakkan pada Allah, Sang Pemilik segala takdir. Dengan begitu, kita bisa bangkit kembali dengan keyakinan bahwa Allah punya rencana yang lebih baik.

 * Menjauhi Sikap Riya' dan Ujub: Ketika seseorang terlalu bergantung pada amalnya, ada kecenderungan untuk memamerkan amal tersebut (riya') atau merasa bangga diri (ujub). Kalam hikmah ini mengingatkan kita untuk selalu merendahkan diri, karena kesempurnaan hanya milik Allah, dan amal kita hanyalah upaya kecil yang membutuhkan rahmat-Nya agar diterima.

 * Meningkatkan Rasa Syukur dan Tawakal: Dengan memahami bahwa amal kita tidak ada apa-apanya tanpa rahmat Allah, kita akan lebih bersyukur atas setiap kemudahan dalam beribadah dan setiap keberhasilan yang dicapai. Ini juga akan memperkuat tawakal kita, menyerahkan segala urusan kepada Allah setelah berusaha maksimal.

Kesimpulan

Kalam hikmah pertama dari Kitab Al-Hikam, "Di antara tanda bergantung pada amal perbuatan adalah kurangnya harapan (putus asa) ketika tergelincir," adalah pengingat fundamental bagi setiap Muslim. Ia mengajarkan kita untuk meletakkan harapan sepenuhnya hanya kepada Allah SWT, bukan kepada amal perbuatan kita yang terbatas dan rentan kesalahan.

Dari perspektif Al-Qur'an dan Hadis, kita diperintahkan untuk tidak pernah putus asa dari rahmat Allah yang Maha Luas. Pengalaman para Anbiya, Ulama, dan Auliya juga menunjukkan bagaimana mereka menghadapi kesalahan dan kegagalan dengan kembali kepada Allah, memohon ampunan-Nya, dan terus berharap pada karunia-Nya.

Di zaman sekarang, pemahaman ini krusial untuk membangun mentalitas yang resilient (tahan banting) dalam menghadapi tekanan hidup, mengatasi kegagalan tanpa putus asa, dan menjaga keikhlasan dalam beribadah. Dengan menginternalisasi hikmah ini, kita akan senantiasa merasa dekat dengan Allah, bersandar pada rahmat-Nya, dan tidak mudah menyerah di hadapan ujian dan cobaan. Ini adalah fondasi penting untuk mencapai ketenangan hati dan kebahagiaan sejati, baik di dunia maupun di akhirat.


Share:

Shalat Jamaah dan Shalat Jumat : Kajian Kitab Sullamuttaufiq


فَصْلٌ : في الجَماعَةِ والجُمُعَةِ
الجَماعَةُ على الذُّكُورِ، الأَحْرارِ، المُقِيمِينَ، البالِغِينَ، [العُقَلاءِ]، غَيْرِ المَعْذُورِينَ، فَرْضُ كِفايَةٍ؛ و[الجَماعَةُ] في الجُمُعَةِ فَرْضُ عَيْنٍ عليهم [أي المَذْكُورِينَ]، إذا كانُوا أَرْبَعِينَ، مُكَلَّفِينَ، [مُسْتَوْطِنِينَ]، في أَبْنِيَةٍ [فَلا تَجِبُ على أَهْلِ الخِيامِ]، و[تَجِبُ] على مَنْ نَوَى الإقامَةَ عِنْدَهُمْ أَرْبَعَةَ أيّامٍ صِحاحٍ [أي غَيْرَ يَوْمَيِ الدُّخُولِ والخُرُوجِ]، وعلى مَنْ بَلَغَهُ [بِالقُوَّةِ لا بِالفِعْلِ] نِداءُ صَيِّتٍ مِنْ طَرَفٍ يَلِيهِ مِنْ بَلَدِها؛ وشَرْطُها [أي الجُمُعَةِ]: وَقْتُ الظُّهْرِ، وخُطْبَتانِ قَبْلَها فيه يَسْمَعُهُما الأَرْبَعُونَ [بِالفِعْلِ لو أَصْغَوْا ولم يَكُنْ ضَجَّةٌ ، وأنْ تُصَلَّى جَماعَةً بِهِمْ، وأنْ لا تُقارِنَها [في تَكْبِيرَةِ الإحْرامِ] ولا تَسْبِقَها جُمُعَةٌ بِبَلَدِها [إلّا إذا شَقَّ الاقْتِصارُ على واحِدَةٍ] ،
وأَرْكانُ الخُطْبَتَيْنِ: حَمْدُ اللهِ، والصَّلاةُ على النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عليه وسَلَّمَ،
والوَصِيَّةُ بَالتَّقْوَى، فيهما [أي أنَّ هٰذه الثّلاثَةَ المُتَقَدِّمَةَ أَرْكانٌ في كُلٍّ مِنَ الخُطْبتَيْنِ]؛ وآيَةٌ مُفْهِمَةٌ، في إحْداهُما؛ والدُّعاءُ لِلْمُؤْمِنِينَ، في الثّانِيَةِ،
وشُرُوطُهُما: الطَّهارَةُ عَنِ الحَدَثَيْنِ، وعَنِ النَّجاسَةِ في البَدَنِ والمَكانِ والمَحْمُولِ، وسَتْرُ العَوْرَةِ، والقِيامُ، والجُلُوسُ [قَدْرَ الطُّمَأْنِينَةِ] بَيْنَهُما،
والوِلاءُ بَيْنَهُما، [والوِلاءُ بَيْنَ أَرْكانِهِما]، و[الوِلاءُ] بَيْنَهُما وبَيْنَ الصَّلاةِ،
وأنْ يَكُونا [أرْكانُهما] بِالعَرَبِيَّةِ.
فَصْلٌ : في شُرُوطِ الاقْتِداءِ
يَجِبُ على مَنْ صَلَّى مُقْتَدِيًا في جُمُعَةٍ أو غَيْرِها: أنْ لا يَتَقَدَّمَ على إمامِهِ في المَوْقِفِ والإحْرامِ، بَلْ تُبْطِلُ المُقارَنَةُ في الإحْرامِ، وتُكْرَهُ في غَيْرِهِ إلّا التَّأْمِينَ، ويَحْرُمُ تَقَدُّمُهُ بِرُكْنٍ فِعْلِيٍّ، وتَبْطُلُ بِرُكْنَيْنِ، وكَذا التَّأَخُّرُ بِهما لِغَيْرِ عُذْرٍ، وبِأَكْثَرَ مِنْ ثَلاثَةِ أَرْكانٍ طَوِيلَةٍ له [أي لِعُذْرٍ]، وأنْ يَعْلَمَ بِانْتِقالاتِ إمامِهِ [بِرُؤْيَتِهِ أو سَماعِ صَوْتِهِ أو رُؤْيَةِ بَعْضِ صَفٍّ يَراهُ أو نَحْوِ ذٰلك]، وأنْ يَجْتَمِعا في مَسْجِدٍ أو ثَلاثِمِائَةِ ذِراعٍ، وأنْ لا يَحُولَ بينهما حائلٌ يَمْنَعُ الاسْتِطْراقَ [أي المُرُورَ العادِيَّ، المُباشِرَ في غَيْرِ مَسْجِدٍ، وغَيْرَ المُباشِرِ في مَسْجِدٍ] ، وأنْ يَتَوافَقَ نَظْمُ صَلاتَيْهِما [فَلا تَصِحُّ صُبْحٌ خَلْفَ جِنازَةٍ مَثَلًا] ، وأنْ لا يَتَخالَفا في سُنَّةٍ تَفْحُشُ المُخالَفَةُ فيها [كَفِعْلِ التَّشَهُّدِ الأَوَّلِ إذا تَرَكَهُ الإمامُ]، وأنْ يَنْوِيَ الاقْتِداءَ مَعَ التَّحَرُّمِ في الجُمُعَةِ [والمُعادَةِ]، و[أنْ يَنْوِيَ الاقْتِداءَ] قَبْلَ المُتابَعَةِ [في فِعْلٍ أو سَلامٍ] وطُولِ الانْتِظارِ [لِأَجْلِ هذه المُتابَعَةِ]، في غَيْرِها [أي الجُمُعَةِ والمُعادَةِ] ، ويَجِبُ على الإمامِ نِيَّةُ الإمامَةِ في الجُمُعَةِ والمُعادَةِ، وتُسَنُّ في غَيْرِهِما.
فَصْلٌ : في الجِنازَةِ
غَسْلُ المَيِّتِ، وتَكْفِينُهُ، والصَّلاةُ عليه، ودَفْنُهُ، فَرْضُ كِفايَةٍ، إذا كانَ مُسْلِمًا وُلِدَ حَيًّا؛ ووَجَبَ لِذِمِّيٍّ تَكْفِينٌ، ودَفْنٌ؛ ولِسِقْطٍ مَيِّتٍ [ظَهَرَ خَلْقُهُ] غَسْلٌ، وكَفْنٌ، ودَفْنٌ؛ ولا يُصَلَّى عليهما [أي الذِّمِّيِّ والسِّقْطِ، فَصَلاةُ الجِنازَةِ على الكافِرِ كُفْرٌ، وعلى السِّقْطِ حَرامٌ]؛ ومَنْ ماتَ في قِتالِ الكُفّارِ بِسَبَبِهِ كُفِّنَ في ثِيابِهِ فَإنْ لم تَكْفِهِ زِيدَ عَلَيْها ودُفِنَ، ولا يُغَسَّلُ ولا يُصَلَّى عليه [أي غَسْلُهُ والصَّلاةُ عليه يَحْرُمانِ]. وأقَلُّ الغَسْلِ: إزالَةُ النَّجاسَةِ، وتَعْمِيمُ جَمِيعِ بَشَرِهِ وشَعَرِهِ وإنْ كَثُفَ مَرَّةً بِالماءِ المُطَهِّرِ. وأقَلُّ الكَفَنِ: ساتِرُ جَمِيعِ البَدَنِ، وثَلاثُ لَفائِفَ لِمَنْ تَرَكَ تَرِكَةً [أي مِيراثًا] زائِدَةً عَنْ دَيْنِهِ ولم يُوصِ بِتَرْكِها [أي بِتَرْكِ الزِّيادَةِ على الواحِدَةِ].

وأقَلُّ الصَّلاةِ عليه: أنْ يَنْوِيَ [ذَكَرٌ ولو صَبِيًّا مُمَيِّزًا] فِعْلَ الصَّلاةِ عليه، والفَرْضَ، ويُعَيِّنَ [المَيِّتَ ولو بِالإشارَةِ القَلْبِيَّةِ]، ويَقُولَ: “اللهُ أَكْبَر”، وهو قائمٌ إنْ قَدِرَ، ثُمَّ يَقْرَأَ الفاتِحَةَ، ثُمَّ يَقُولَ: “اللهُ أَكْبَر، اللّٰهُمَّ صَلِّ على مُحَمَّد”، ثُمَّ يَقُولَ: “اللهُ أَكْبَر، اللّٰهُمَّ اغْفِرْ لَهُ وارْحَمْهُ”، ثُمَّ يَقُولَ: “اللهُ أَكْبَر، السَّلامُ عَلَيْكُمْ”، ولا بُدَّ فيها مِنْ شُرُوطِ الصَّلاةِ، وتَرْكِ المُبْطِلاتِ، [وتَقَدُّمِ غُسْلِ المَيِّتِ]. وأقَلُّ الدَّفْنِ: حُفْرَةٌ تَكْتُمُ رائحَتَهُ وتَحْرُسُهُ مِنَ السِّباعِ، ويُسَنُّ أنْ يُعَمَّقَ [القَبْرُ] قَدْرَ قامَةٍ وبَسْطَةٍ، ويُوَسَّعَ، ويَجِبُ تَوْجِيهُهُ [أي المَيِّتِ] إلى القِبْلَةِ.

Pasal: Shalat Jamaah dan Shalat Jumat

Shalat berjamaah hukumnya fardhu kifayah bagi laki-laki yang merdeka, mukim (bukan musafir), baligh, berakal sehat, tidak udzur. Shalat berjamaah pada waktu shalat Jumat hukumnya fardhu ain bagi orang yang (a) memenuhi kriteria di atas; (b) berjumlah 40 orang mukalaf; (c) penduduk tetap. Maka tidak wajib Jumat bagi pemukim kemah (yang berpindah-pindah). Wajib Jumat bagi yang berniat mukim selama empat hari penuh yakni selain dua hari masuk dan keluar. Dan wajib bagi orang yang mendengar suara panggilan adzan dengan kekuatan bukan perbuatan dari satu sisi lokasinya. Syarat Jumat adalah: waktu zhuhur, dua khutbah sebelum shalat yang didengar oleh 40 orang dan dilakukan secara berjamaah. Takbirotul ihram-nya tidak boleh bersamaan dengan atau didahului oleh Jumat di lokasi lain kecuali apabila sulit dilaksanakan dalam satu tempat.

Rukun dua khutbah Jumat adalah memuji pada Allah, shalawat pada Nabi, wasiat takwa dalam kedua khutbah yakni bahwa tiga rukun ini merupakan rukun yang wajib ada pada masing-masing dari kedua khutbah, dan satu ayat Al-Quran di salah satu khutbah, doa untuk umat Islam pada khutbah kedua.

Syarat dua khutbah Jumat adalah: suci dari hadas besar dan kecil, suci dari najis di badan, tempat dan barang yang dibawa, menutup aurat, berdiri, duduk secara tumakninah antara kedua khutbah, bersegera antara dua khutbah, bersegera antara rukun kedua khutbah, bersegera antara dua khutbah dan shalat, dan rukun-rukun khutbah harus dalam bahasa Arab.

Pasal: Syarat Makmum

Wajib bagi makmum yang shalat Jumat atau lainnya untuk tidak mendahului imam dalam tempat berdiri dan takbirotul ihrom bahkan batal shalatnya apabila takbirotul ihromnya bersamaan dan makruh bersamaan di lainnya kecuali bacaan amin. Haram makmum mendahului imam dengan satu rukun fi’li (perbuatan) dan batal dengan mendahului dua rukun begitu juga batal mengakhiri dua rukun tanpa rukun dan lebih dari tiga rukun yang panjang karena udzur. Makmum harus tahu pergerakan imam dengan melihatnya atau mendengar suaranya atau melihat sebagian barisan yang dilihatnya, dll. Makmum dan imam harus berkumpul dalam satu masjid atau tigaratus dzira’. Tidak ada penghalang antara makmum dan imam yang mencegah bisa lewat secara langsung di selain masjid dan tidak langsung di satu masjid. Harus sama jenis shalat keduanya, maka tidak sah makmum shalat subuh pada imam yang shalat jenazah. Tidak boleh berbeda dalam sunnah yang berbeda sangat seperti makmum tahiyat awal sedangkan imam tidak melakukannya. Harus niat jadi makum bersamaan takbirotul ihram pada shalat Jumat dan muadat. Harus niat jadi makmum dalam perbuatan atau salam dan selama menunggu untuk mengikuti pada yang selain Jumat dan muadat. Wajib bagi imam niat menjadi imam pada shalat Jumat dan muadat. Sunnah niat jadi imam di selain Jumat.

Pasal: Jenazah

Memandikan mayit, mengkafani, menyolati dan menguburnya adalah fardhu kifayah apabila ia muslim yang lahir dalam keadaan hidup. Wajib bagi kafir dzimmi dikafani dan dikuburkan. Bagi bayi yang mati keguguran dan sudah tampak bentuknya wajib dimandikan, dikafani, dikubur tapi tidak perlu dishalati untuk keduanya yakni kafir dzimmi dan bayi keguguran. Shalat jenazah bagi orang kafir adalah kufur dan bagi bayi keguguran haram. Barangsiapa yang mati dalam memerangi orang kafir maka dikafani dengan bajunya apabila tidak cukup maka ditambah dan dimakamkan tapi tidak perlu dimandikan dan dishalati yakni memandikan dan menyolati hukumnya haram. Memandikan mayit paling sedikit adalah menghilangkan najis, meratakan seluruh kulit, rambut/bulu walaupun tebal satu kali dengan air yang menyucikan. Kafan paling sedikit adalah menutupi seluruh badan. Tiga lapis bagi yang meninggalkan warisan sebagai tambahan dari hutangnya dan tidak berwasiat meninggalkan tiga lapis.

Shalat paling sedikit adalah niat, walaupun laki-laki masih kecil yang tamyiz, untuk melakukan shalat, menyebut fardhu, menentukan pada mayit walaupun dengan isyarat hati lalu berkata: “Allahu Akbar”. Harus berdiri apabila mampu, lalu membaca Al Fatihah lalu berkata: “Allahu akbar Allahumma shalli ala Muhammad” lalu berkata “Allahu akbar, allahumma ighfir lahu warhamhu” lalu berkata “Allahu akbar, assalamu alaikum”. Wajib bagi yang shalat jenazah memenuhi syarat-syarat shalat dan meninggalkan yang membatalkan shalat dan mendahulukan memandikan mayit. Memendam mayit paling sedikit: satu galian yang dapat menutup baunya dan menjaganya dari binatang buas. Sunnah diperdalam kuburnya seukurang orang berdiri dan diperluas. Wajib menghadapkan mayit ke arah kiblat.

Sumber: alkhoirot.com

Share:

29 Juli 2025

Biografi Imam Ahmad Ibn Hanbal


Imam Ahmad bin Hanbal: Sang Pembela Sunnah dan Pendiri Mazhab Hanbali

​Imam Ahmad bin Hanbal, yang bernama lengkap Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad bin Idris, adalah salah satu ulama terbesar dalam sejarah Islam, dikenal sebagai pendiri mazhab Hanbali, mazhab fikih Sunni keempat yang diakui. Beliau hidup di masa Kekhalifahan Abbasiyah dan dikenal karena keteguhan, kezuhudan, dan kegigihannya dalam membela akidah Ahlussunnah wal Jama'ah.

Masa Kecil dan Remaja: Yatim Piatu dan Haus Ilmu

​Imam Ahmad dilahirkan di Baghdad pada bulan Rabiul Awal tahun 164 Hijriah (sekitar 780 Masehi), pada masa pemerintahan Khalifah al-Mahdi dari Dinasti Abbasiyah. Ayahnya, Muhammad as-Syaibani, adalah seorang perwira tentara Abbasiyah. Namun, beliau sudah yatim sejak kecil, karena ayahnya meninggal dunia saat beliau masih sangat muda. Tanggung jawab pendidikan dan pengasuhannya sepenuhnya berada di pundak sang ibu, Safiyyah binti Maimunah binti Abdul Malik asy-Syaibani.

​Meskipun hidup dalam kondisi yang serba terbatas dan merasakan beratnya kehidupan, Imam Ahmad kecil menunjukkan kecerdasan luar biasa dan semangat yang tak tergoyahkan dalam menuntut ilmu. Pada usia 15 tahun, beliau sudah hafal Al-Qur'an secara sempurna dan mahir dalam membaca serta menulis, bahkan dikenal memiliki tulisan yang indah. Sejak usia remaja inilah, beliau mulai memusatkan perhatiannya pada ilmu hadis.

Perjalanan Menjadi Ulama Besar: Pengembaraan Mencari Hadis dan Keteguhan Akidah

​Imam Ahmad memiliki keyakinan kuat bahwa ilmu pengetahuan tidak mudah didapatkan, sehingga beliau sangat menghormati para ahli ilmu. Semangatnya dalam menuntut ilmu mendorongnya untuk melakukan perjalanan panjang ke berbagai wilayah Islam, termasuk Syam (Suriah), Hijaz (Mekah dan Madinah), Yaman, dan negara-negara lain, demi mengumpulkan hadis-hadis Nabi Muhammad SAW. Diceritakan bahwa beliau pernah membantu petani di perjalanan ke Yaman untuk mendapatkan makanan ketika bekalnya habis.

​Beliau belajar dari ribuan guru (disebutkan tidak kurang dari 100 ulama besar), di antaranya adalah:

  • Imam Syafi'i: Imam Ahmad adalah salah satu murid terkemuka Imam Syafi'i, yang kemudian menjadi gurunya dalam ilmu fikih.
  • Isma'il bin Ulayyah
  • Waki' bin Jarrah
  • Sufyan bin Uyainah
  • Abdurrazzaq bin Hammam
  • Abu Yusuf (murid Imam Abu Hanifah)

​Kecintaannya pada hadis sangat mendalam. Beliau diperkirakan telah menghafal setidaknya 750.000 hadis, sebuah pencapaian yang melampaui banyak ahli hadis lainnya. Abu Zur'ah bahkan mengatakan bahwa kitab-kitabnya yang berjumlah 12 buah sudah dihafalnya di luar kepala.

​Ketokohan Imam Ahmad bukan hanya terletak pada kedalaman ilmunya, tetapi juga pada keteguhan akidahnya. Pada masa kekhalifahan al-Ma'mun, al-Mu'tashim, dan al-Watsiq, terjadi "fitnah penciptaan Al-Qur'an" (mihnah khalq al-Qur'an), di mana aliran Mu'tazilah, yang didukung oleh khalifah, berpendapat bahwa Al-Qur'an adalah makhluk. Imam Ahmad adalah salah satu ulama yang paling gigih menentang pandangan ini, menegaskan bahwa Al-Qur'an adalah Kalamullah (Firman Allah) yang qadim (tidak diciptakan).

​Akibat keteguhannya, beliau mengalami siksaan berat, dicambuk, dan dipenjara selama bertahun-tahun. Meskipun banyak ulama lain yang terpaksa mengakui pandangan khalifah demi keselamatan, Imam Ahmad tetap teguh pada pendiriannya. Kegigihan beliau dalam mempertahankan akidah ini menjadikannya simbol Ahlussunnah wal Jama'ah dan dijuluki "Imam Ahlussunnah". Setelah Khalifah al-Mutawakkil naik takhta, fitnah ini dihentikan dan Imam Ahmad dibebaskan, bahkan pemerintah mulai bersimpati kepadanya.

Karya-Karya Monumental dan Warisan Abadi

​Meskipun Imam Ahmad dikenal sebagai seorang yang zuhud dan tidak banyak menulis, karya-karya dan pandangan-pandangan beliau didokumentasikan dengan baik oleh murid-muridnya. Karya monumentalnya yang paling terkenal adalah:

  • Musnad Ahmad bin Hanbal (Al-Musnad Al-Kabir): Ini adalah ensiklopedia hadis yang sangat besar, berisi lebih dari 27.000 hingga 40.000 hadis. Kitab ini disusun oleh anaknya, Abdullah, dari ceramah dan pelajaran Imam Ahmad. Keistimewaan Musnad adalah hadis-hadis di dalamnya disusun berdasarkan perawi dari kalangan sahabat Nabi SAW, bukan berdasarkan topik fikih.

​Selain Musnad, beberapa karya lain yang dinisbatkan kepadanya atau yang merupakan kumpulan dari ajaran-ajarannya antara lain:

  • Usul al-Sunnah (Ushul as-Sunnah): Membahas dasar-dasar akidah Ahlussunnah wal Jama'ah.
  • Kitab al-Zuhd: Berisi tentang kezuhudan dan nasihat-nasihat spiritual.
  • Kitab al-Aqidah: Membahas prinsip-prinsip akidah Islam.
  • Kitab al-Iman: Tentang masalah keimanan.
  • Kitab al-Fada'il al-Sahaba: Mengulas keutamaan para sahabat Nabi SAW.
  • Kitab al-Radd 'ala al-Zanadiqah wa al-Jahmiyyah: Kitab bantahan terhadap kaum zindiq dan Jahmiyyah (salah satu kelompok dalam ilmu kalam).
  • Kitab at-Tafsir: Meskipun ada beberapa riwayat yang mengatakan kitab ini hilang.
  • Kitab an-Nasikh wa al-Mansukh: Membahas ayat-ayat Al-Qur'an yang saling menasakh (menghapus hukum).

​Imam Ahmad bin Hanbal meninggal dunia di Baghdad pada hari Jumat, 12 Rabiul Awal 241 Hijriah (sekitar 4 Agustus 855 Masehi) pada usia 77 tahun. Jenazahnya dimakamkan di Baghdad dan dihadiri oleh lautan manusia yang jumlahnya mencapai ratusan ribu, menunjukkan betapa besar penghormatan umat kepadanya.

​Mazhab Hanbali, yang didirikan oleh Imam Ahmad, menjadi salah satu mazhab fikih yang berpengaruh, terutama di Semenanjung Arab (termasuk Arab Saudi), dan merupakan mazhab resmi di Arab Saudi hingga saat ini. Pendekatan mazhab ini cenderung sangat berpegang teguh pada nash (teks) Al-Qur'an dan Sunnah, serta sangat berhati-hati dalam penggunaan akal dan rasionalitas dalam berijtihad, sebagai reaksi terhadap paham-paham yang dianggap menyimpang pada masanya.

Share:

Postingan Populer