وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِّمَّن دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ

01 Agustus 2025

Indahnya Kejujuran, Buruknya Kebohongan

   اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ الَّذِيْ أَنْعَمَنَا بِنِعْمَةِ الْاِيْمَانِ وَالْاِسْلَامِ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلٰى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ خَيْرِ الْأَنَامِ، وَعَلٰى اٰلِهِ وَأَصْحَابِهِ الْكِرَامِ، أَشْهَدُ اَنْ لَا اِلٰهَ اِلَّا اللهُ الْمَلِكُ الْقُدُّوْسُ السَّلَامُ وَأَشْهَدُ اَنَّ سَيِّدَنَا وَحَبِيْبَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ صَاحِبُ الشَّرَفِ وَالْإِحْتِرَام، أَمَّا بَعْدُ: فَيَاعِبَادَ اللهِ، اِتَّقُوا اللّٰهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوْتُنَّ اِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ، قَالَ اللّٰهُ تَعَالَى فِي الْقُرْاٰنِ الْعَظِيْمِ. أَعُوْذُ بِاللّٰهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ إِنَّما يَفتَرِي الكَذِبَ الَّذينَ لا يُؤمِنونَ بِآياتِ اللَّـهِ وَأُولـئِكَ هُمُ الكاذِبون

Hadirin yang dirahmati Allah, Khatib mengajak jamaah sekalian dan diri khatib pribadi, agar kita senantiasa meningkatkan ketakwaan kepada Allah SWT, dengan sebenar-benarnya takwa. Takwa adalah kunci utama bagi keselamatan dunia dan akhirat, dan hanya dengan ketakwaan kita dapat memperoleh ridha Allah SWT. Semoga kita semua termasuk hamba-hamba yang senantiasa berada di jalan yang benar.

Pada kesempatan yang penuh berkah ini, khatib ingin mengajak kita semua untuk merenungi dan memahami salah satu perbuatan yang berujung kepada dosa, yaitu berbohong. Berbohong bukan hanya perbuatan tercela, tetapi juga dapat membawa keburukan yang luas, baik bagi individu maupun masyarakat.   Jamaah sekalian, Islam menempatkan kejujuran sebagai salah satu prinsip utama yang harus dijaga oleh setiap Muslim. Sebaliknya, kebohongan adalah salah satu ciri orang-orang munafik. Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW bersabda:

  آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلَاثٌ، إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ

Artinya, “Tanda-tanda orang munafik ada tiga: jika berbicara ia berdusta, jika berjanji ia ingkar, dan jika diberi amanah ia berkhianat.” (HR Bukhari dan Muslim).

Hadirin yang dirahmati Allah, Berbohong dapat dilakukan dalam berbagai bentuk, baik secara lisan, tulisan, maupun tindakan. Bahkan dalam masa sekarang ini, kita sering menyaksikan kebohongan tersebar luas melalui media sosial. Namun, apa pun bentuknya, berbohong tetaplah perbuatan yang tercela dan harus kita jauhi bersama. Rasulullah SAW pernah bersabda:

  مَا كَانَ خُلُقٌ أبغَضَ إلَى رَسُوْلِ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – مِنَ الكَذِبِ، ولَقَد كَانَ الرَّجُلُ يَكذِبُ عِندَ رَسُوْلِ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – الكَذْبَةَ، فما يزالُ فى نَفْسِهِ عَلَيه حَتَّى يَعَلَمَ أنَّه قَد أحدَثَ مِنْهَا تَوبَةً

Artinya, “Tidak ada akhlak yang lebih dibenci oleh Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- selain kebohongan. Sungguh, apabila seseorang berbohong di hadapan Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, maka hal itu akan terus membekas di hatinya (Rasulullah) hingga dia mengetahui bahwa orang tersebut telah bertobat darinya.” (HR Al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra).

Berbohong itu bertentangan dengan fitrah manusia yang sebenarnya diciptakan Allah untuk mencintai kebenaran. Ketika seseorang berbohong, dia merusak hati nuraninya sendiri. Selain itu, berbohong juga berdampak buruk pada fisik dan psikologi. Misalnya, saat berbohong, detak jantung bisa meningkat, muncul keringat dingin, atau merasa gugup. Reaksi ini menunjukkan bahwa kebohongan tidak sesuai dengan sistem alami tubuh kita. Lebih dari itu, berbohong dapat menimbulkan efek domino. Seseorang yang terbiasa berbohong akan sulit dipercaya oleh orang lain. Rasulullah SAW bersabda:

  إِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الْفُجُورِ، وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِي إِلَى النَّارِ، وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَكْذِبُ، وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ، حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ كَذَّابًا، وَعَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ، فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى الْبِرِّ، وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِي إِلَى الْجَنَّةِ، وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ، حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ صِدِّيقًا

Artinya, “Hati-hatilah kalian terhadap kebohongan, karena sesungguhnya kebohongan membawa kepada kejahatan, dan kejahatan membawa ke neraka. Seseorang yang terus-menerus berbohong dan berusaha untuk berbohong, akan dicatat di sisi Allah sebagai seorang pembohong. Sebaliknya, berpegang teguhlah pada kejujuran, karena sesungguhnya kejujuran membawa kepada kebajikan, dan kebajikan membawa ke surga. Seseorang yang selalu berkata jujur dan berusaha untuk jujur, akan dicatat di sisi Allah sebagai seorang yang sangat jujur.” (HR. Bukhari).

Syekh Ibnu Ruslan dalam Syarh Sunan Abi Dawud jilid 19 halaman 131 menjelaskan, kebiasaan berbohong ini tidak hanya membuat seseorang dikenal sebagai pembohong di dunia, tetapi juga di hadapan Allah dan para malaikat. Bahkan, jika ia berkata jujur setelah itu, orang-orang tetap sulit mempercayainya. Maka dari itu, sangat penting bagi kita untuk menghindari kebohongan sekecil apa pun, karena dampaknya sangat buruk, baik bagi diri sendiri apalagi bagi orang lain.

Hadirin yang dirahmati Allah, Selain merugikan diri sendiri, kebohongan juga dapat merusak hubungan sosial. Ketika seseorang berbohong untuk menutupi kesalahan, ia sebenarnya sedang menanam benih ketidakpercayaan di tengah-tengah masyarakat. Bahkan dalam banyak kasus, kebohongan bisa menjadi penyebab utama perpecahan dan konflik. Oleh karena itu, Allah SWT mengingatkan kita agar senantiasa menjaga kejujuran dalam segala hal:

  يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَقُوْلُوْا قَوْلًا سَدِيْدًاۙ ۝٧٠

Artinya, “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang benar.” (QS Al-Ahzab: 70).   Kejujuran adalah sifat yang mendekatkan kita kepada ridlo Allah SWT dan menjauhkan kita dari murka-Nya

Dalam hadits yang telah kami sampaikan di awal tadi Rasulullah menjelaskan keutamaan kejujuran. Orang yang selalu berkata jujur dan berusaha menjaga kejujurannya akan dicatat oleh Allah sebagai shiddîq, yakni seseorang yang memiliki derajat tinggi karena kejujurannya.   Kejujuran tidak hanya mencakup ucapan, tetapi juga niat dan tindakan. Dengan berlaku jujur, seseorang akan lebih mudah melakukan amal kebajikan yang murni, terbebas dari niat buruk, sehingga ia termasuk golongan orang yang beruntung. Pada akhirnya, kebajikan itu akan membawanya kepada rahmat Allah dan surga-Nya. Oleh karena itu, menjaga kejujuran adalah kunci utama untuk meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Namun, ada beberapa keadaan di mana Islam memberikan kelonggaran untuk tidak mengatakan kebenaran secara mutlak, selama itu bertujuan untuk kebaikan. Misalnya, dalam upaya mendamaikan dua pihak yang bertikai, menjaga keharmonisan rumah tangga, atau melindungi nyawa seseorang yang tidak bersalah. Rasulullah SAW bersabda:

  لَيْسَ الْكَذَّابُ الَّذِي يُصْلِحُ بَيْنَ النَّاسِ فَيَنْمِي خَيْرًا أَوْ يَقُولُ خَيْرًا

Artinya, “Tidak dianggap berdusta seseorang yang berkata untuk mendamaikan dua pihak yang berselisih, dia berkata sesuatu yang baik atau menyampaikan kebaikan.” (HR Bukhari dan Muslim).   Akan tetapi, kelonggaran ini harus dipahami dengan bijak dan tidak boleh disalahgunakan. Dalam keadaan normal, kejujuran tetaplah menjadi prioritas utama bagi setiap Muslim.

Hadirin yang dirahmati Allah, Marilah kita jadikan ini sebagai pengingat untuk senantiasa menjaga kejujuran dalam hidup kita. Mari kita hindari segala bentuk kebohongan, baik yang kecil maupun yang besar. Ingatlah bahwa setiap ucapan dan perbuatan kita akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah SWT.

Semoga Allah SWT memberikan kita kekuatan untuk selalu berkata benar dan menjauhkan kita dari sifat dusta.

  بَارَكَ اللّٰهُ لِيْ وَلَكُمْ فِيْ الْقُرْاٰنِ الْكَرِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَاِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الذِّكْرِ الْحَكِيْمِ. اَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا، وَاَسْتَغْفِرُ اللّٰهَ الْعَظِيْمَ لِيْ وَلَكُمْ، وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ مِنْ كُلِّ ذَنْبٍ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ اِنَّهٗ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ

Khutbah II

  اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللّٰهُ. أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللّٰهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ لَا نَبِيَّ بَعْدَهُ. اَللّٰهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ المُجَاهِدِيْنَ الطَّاهِرِيْنَ.  أَمَّا بَعْدُ، فَيَا آيُّهَا الحَاضِرُوْنَ، أُوْصِيْكُمْ وَإِيَّايَ بِتَقْوَى اللّٰهِ وَطَاعَتِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ. يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ، وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى    فَقَدْ قَالَ اللّٰهُ تَعَالَى فِي كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ أَعُوْذُ بِاللّٰهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ، بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ: وَالْعَصْرِ. إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ. إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْر    إِنَّ اللّٰهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا. اللّٰهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيمَ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيمَ، وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيمَ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيمَ، فِى الْعَالَمِينَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ     اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ. اَللّٰهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا الْغَلَاءَ وَالْوَبَاءَ وَالطَّاعُوْنَ وَالْاَمْرَاضَ وَالْفِتَنَ مَا لَا يَدْفَعُهُ غَيْرُكَ عَنْ بَلَدِنَا هٰذَا اِنْدُوْنِيْسِيَّا خَاصَّةً وَعَنْ سَائِرِ بِلَادِ الْمُسْلِمِيْنَ عَامَّةً يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ. رَبَّنَا اٰتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَ فِي الْاٰخِرَةِ حَسَنَةً وَ قِنَا عَذَابَ النَّارِ   عٍبَادَ اللّٰهِ، إِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُ بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتاءِ ذِي اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشاءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ، وَاذْكُرُوا اللّٰهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ، وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ، وَلَذِكْرُ اللّٰهِ أَكْبَرْ

Sumber : nuonline dengan sedikit editing



Share:

Rebo Wekasan: Tradisi dan Tinjauan Agama



Rebo Wekasan, sebuah tradisi yang masih lestari di beberapa daerah di Indonesia, khususnya di Jawa, seringkali menjadi topik perbincangan, baik dari sudut pandang budaya maupun agama. Tradisi ini dilakukan pada hari Rabu terakhir di bulan Safar, bulan kedua dalam kalender Hijriah. Masyarakat yang melaksanakannya meyakini bahwa pada hari tersebut, Allah menurunkan ribuan bala atau bencana ke dunia. Oleh karena itu, mereka melakukan serangkaian amalan untuk menolak bala tersebut. Artikel ini akan mengupas tuntas mengenai Rebo Wekasan, mulai dari asal-usulnya, amalan yang dilakukan, hingga pandangan para ulama dan kitab-kitab yang menjadi rujukannya.

Asal-Usul Tradisi Rebo Wekasan

Rebo Wekasan tidak dapat ditemukan secara eksplisit dalam Al-Qur'an maupun Hadits. Tradisi ini dipercaya berasal dari para ulama dan kiai terdahulu yang berdakwah di Nusantara. Mereka melihat kondisi masyarakat yang masih dipenuhi dengan kepercayaan animisme dan dinamisme, sehingga mereka menciptakan sebuah amalan yang disesuaikan dengan ajaran Islam untuk menolak bala, namun tetap selaras dengan kearifan lokal. Tradisi ini kemudian berkembang dan diwariskan secara turun-temurun.

Salah satu versi yang paling populer mengenai asal-usul Rebo Wekasan adalah kisah dari seorang ulama besar, Syekh Abdul Hamid Kendal, yang menafsirkan sebuah hadis tentang bulan Safar. Dalam tafsirnya, beliau mengemukakan bahwa pada hari Rabu terakhir di bulan Safar, Allah menurunkan bala yang jumlahnya sangat banyak. Namun, tafsir ini kemudian banyak disalahpahami oleh sebagian masyarakat, yang menganggap bahwa Rebo Wekasan adalah hari sial.

Amalan Rebo Wekasan

Amalan yang dilakukan saat Rebo Wekasan sangat beragam, tergantung dari daerah dan keyakinan masing-masing. Namun, pada umumnya, amalan tersebut bertujuan untuk memohon perlindungan kepada Allah dari segala macam bala dan bencana. Beberapa amalan yang umum dilakukan, antara lain:

  1. Shalat Tolak Bala: Shalat ini bukanlah shalat yang diwajibkan, melainkan shalat sunnah yang dilakukan dengan niat khusus untuk menolak bala. Jumlah rakaatnya bervariasi, ada yang 2 rakaat, 4 rakaat, bahkan lebih. Setelah shalat, biasanya dilanjutkan dengan berdoa dan membaca ayat-ayat suci Al-Qur'an.

  2. Berdoa dan Berdzikir: Masyarakat yang melaksanakannya akan memperbanyak doa dan dzikir, terutama membaca doa-doa yang diyakini dapat menolak bala.

  3. Membaca Doa Sapu Jagat: Doa sapu jagat, yaitu "", seringkali dibaca berulang-ulang.

  4. Mandi atau Mencuci Diri: Di beberapa tempat, ada tradisi untuk mandi atau mencuci diri dengan air yang telah diberi ramuan khusus, seperti air kembang tujuh rupa, yang diyakini dapat membersihkan diri dari segala bala.

  5. Sedekah dan Silaturahmi: Masyarakat juga dianjurkan untuk memperbanyak sedekah dan menjalin silaturahmi, karena dua amalan ini diyakini dapat menolak bala.

Apakah Ada Pada Zaman Nabi?

Secara eksplisit, tidak ada hadits yang menjelaskan mengenai Rebo Wekasan. Nabi Muhammad SAW tidak pernah mengajarkan atau menganjurkan amalan khusus pada hari Rabu terakhir di bulan Safar. Bahkan, ada hadits yang justru menolak kepercayaan terhadap hari sial.

Hadits tersebut berbunyi: 

لَا عَدْوَى وَلَا طِيَرَةَ وَلَا هَامَةَ وَلَا صَفَرَ

"Tidak ada penyakit menular (dengan sendirinya), tidak ada ramalan nasib, tidak ada (anggapan) burung hantu (sebagai pertanda buruk) dan tidak ada (anggapan) kesialan bulan Safar." (HR. Bukhari dan Muslim).

Hadits ini menunjukkan bahwa dalam Islam, tidak ada hari, bulan, atau waktu yang dianggap sial. Semua waktu adalah ciptaan Allah dan memiliki keberkahan. Oleh karena itu, mengkhususkan amalan tertentu pada hari Rebo Wekasan dengan anggapan bahwa hari tersebut adalah hari sial, bertentangan dengan ajaran Nabi SAW.

Pendapat Para Ulama 

Para ulama memiliki pandangan yang beragam mengenai Rebo Wekasan. Secara umum, mereka dapat dikelompokkan menjadi dua kubu:

  • Ulama yang Kontra: Kelompok ulama ini menganggap Rebo Wekasan sebagai bid'ah, yaitu sesuatu yang tidak ada dasar syar'inya dalam Islam. Mereka berpendapat bahwa mengkhususkan amalan pada hari tersebut dengan keyakinan untuk menolak bala adalah sebuah kesesatan, karena hal tersebut tidak diajarkan oleh Nabi SAW. Mereka juga khawatir, tradisi ini akan menjerumuskan masyarakat ke dalam syirik, jika amalan tersebut dilakukan dengan keyakinan yang keliru.

  • Ulama yang Pro: Kelompok ulama ini tidak secara eksplisit mendukung Rebo Wekasan sebagai tradisi yang harus diikuti. Namun, mereka melihat bahwa amalan yang dilakukan pada Rebo Wekasan, seperti shalat, berdoa, bersedekah, dan berdzikir, adalah amalan yang baik dan dianjurkan dalam Islam. Mereka berpendapat, selama amalan tersebut dilakukan dengan niat yang benar, yaitu memohon perlindungan kepada Allah, dan tidak didasari oleh keyakinan yang salah, maka hal tersebut sah-sah saja. Mereka juga beranggapan bahwa tradisi ini dapat menjadi sarana dakwah, untuk mengajak masyarakat agar lebih mendekatkan diri kepada Allah.

Kajian Kitab

  • Kitab yang Kontra: Banyak kitab-kitab fiqih dan hadits yang tidak menyebutkan secara spesifik mengenai Rebo Wekasan. Namun, secara umum, kitab-kitab tersebut menganjurkan umat Islam untuk menjauhi segala bentuk bid'ah dan khurafat (takhayul). Contohnya, Kitab Fathul Bari karya Ibnu Hajar al-Asqalani, yang menjelaskan tentang hadits-hadits Nabi, tidak menyebutkan amalan khusus pada Rebo Wekasan.

  • Kitab yang Pro: Kitab-kitab yang mendukung tradisi ini seringkali berasal dari ulama-ulama sufi yang berdakwah di Nusantara. Contohnya, Kitab An-Nawadir karya Syekh Abdul Hamid Kendal, yang menafsirkan bulan Safar sebagai bulan turunnya bala. Namun, kitab ini bukanlah kitab fiqih yang menjadi rujukan utama dalam hukum Islam.

Kesimpulan 

Rebo Wekasan adalah sebuah tradisi yang sarat akan nilai-nilai budaya dan religius. Meskipun tidak ada dasar syar'inya yang kuat dari Al-Qur'an dan Hadits, amalan yang dilakukan pada Rebo Wekasan, seperti shalat, berdoa, berdzikir, dan bersedekah, adalah amalan yang baik dan dianjurkan dalam Islam.

Namun, yang perlu digarisbawahi adalah niat dan keyakinan. Tradisi ini hendaknya tidak dilakukan dengan keyakinan bahwa Rebo Wekasan adalah hari sial, melainkan sebagai momentum untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah, memohon perlindungan dari segala macam musibah, dan memperbanyak amalan shalih. Kita harus selalu ingat bahwa segala sesuatu yang terjadi di dunia ini, baik dan buruk, adalah atas kehendak Allah.

Oleh karena itu, mari kita sikapi tradisi Rebo Wekasan dengan bijaksana. Ambil nilai-nilai positifnya, seperti memperbanyak ibadah dan bersedekah, dan hindari keyakinan-keyakinan yang bertentangan dengan ajaran Islam. Dengan demikian, tradisi Rebo Wekasan dapat menjadi sarana untuk mempererat tali silaturahmi, memperkuat iman, dan meningkatkan ketaatan kita kepada Allah SWT.

*Hasil generate dari Gemini ai

Baca juga :

Penjelasan Mengenai Rebo Wekasan

Share:

Postingan Populer